A.
PENDAHULUAN
Pada
bagain ini dipaparkan menganai: (1) identitas buku, dan (2) garis besar isi
buku. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pengetahuan awal menganai hal-hal
menganai buku yang akan dilaporkan. Lebih jelas, berikut akan dipaparkan
mengenai hal-hal yang akan dikemuakan:
1.
Identitas
Buku
Judul Buku : Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
Pengarang : Hasan Alwi, Soejono Dardjowidjojo,
Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono.
Penerbit :
Balai Pustaka
ISBN : 979-407-177-3
Tahun Terbit : 2003
Cetakan : Cetakkan Keenam
Edisi : Ketiga
Tebal buku :
23 Cm
Kota Penerbit : Jakarta
Lembaga Penerbit : Departemen
Pendidikan Nasional
Tebal Buku : 468
Halaman
Warna Sampul : Biru
2. Garis
Besar Isi Buku :
Secara
umum buku ini membahas bahasa baku bahasa Indonesia yang menjelas beberapa bab
yaitu: Bab 1 membahas tentang “Pendahuluan” yan membahas mengenai konsep dasar
bahasa Indonesia seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam bahasa, cirri
situasi diglosia, pembakuan bahasa, bahasa baku, fungsi bahasa baku, bahasa
yang baik dan benar, dan hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan
bahasa asing. Bab II yang dibahas “Berbagai Pengertian Dasar” terdiri beberapa
subbab, yakni beberapa pengertian di pelbagai bagian yang berisi mengenai tata
bunyi, dan pembentukan kata, kemudian mejelaskan mengenai pengertian mengenai
kalimat dan pengertian mengenai wacana. Bab III yang dibahas mengenai “Bunyi
Bahasa dan Tata Bunyi” yang membahas
mengenai pengertian tentang bunyi bahasa, jenis bunyi bahasa dan tata bunyi
bahasa Indonesia. Bab IV yang dibahas mengenai “ Verba” yang membahas mengenai
batasan dan ciri verba, verba dari segi perilaku semantisnya, verba dari segi perilaku
sintaktisnya, verba dari segi bentuknya, morfologi dan semantik verba
transitif, morfologi dan semantik verba taktransitif, verba majemuk, hubungan
ketransitifan dengan afiksasi, frasa verbal dan fungsinya, daftar contoh dasar
verba dan verba. Bab V yang dibahas mengenai “Adjektiva” yang membahas mengenai
batasan dan ciri adjektiva, adjektiva dari segi perilaku semantisnya, adjektiva
dari segi perilaku sintaktisnya, pertarafan adjektiva, adjektiva dari segi
bentuknya, dan adjektiva dan kelas kata lain. Bab VI yang dibahas mengenai
“Adverbia” yang membahas mengenai batasan dan ciri adverbia, adverbia dari segi
bentuknya, adverbia dari segi perilaku sintaktisnya, adverbia dari segi
perilaku semantisnya, adverbia konjungtif, adverbia pembuka wacana, adverbia
dan kelas kata lain, dan daftar adverbia. Bab VII yang dibahas mengenai “
Nomina, pronominal, dan Numeralia” yang membahas mengenai nomina, pronomina, dan numeralia termasuk
bagian-bagiannya. bab VIII yang dibahas mengenenai “Kata Tugas” yang membahas
mengenai batasan dan ciri kata tugas, klasifikasi kata tugas, interjeksi,
artikula, dan partikel penegas. Bab IX yang dibahas mengenai “Kalimat” yang
membahas mengenai batasan dan ciri kalimat, bagian-bagian kalimat, struktur
kalimat dasar, fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat, peran semantik unsur
kalimat, jenis kalimat, perluasan kalimat tunggal, dan pengingkaran. Bab X yang
dibahas mengenai “Hubungan Antarklausa” yang membahas mengenai pendahuluan,
hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri hubungan koordinasi, hubungan
semantis antarklausa dalam kalimat majemuk setara, hubungan semantis
antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat, dan pelesapan. Baab XI yang
dibahas mengenai “Wacana” yang mempunyai sub-sub bab seperti, pendahuluan,
konteks wacana, kohesi dan koherensi, topik, tema, dan judul, referensi dan
inferensi kewacanaan, dan skemata: representasi pengetahuan.
B.
LAPORAN
BAGIAN BUKU
Pada
bagian ini disampaikan intisari buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dengan
judul “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia”. Hal-hal yang disampaikan disesuaikan
dengan bab dan subbab yang ada dalam buku. Lebih jelas, berikut akan dipaparkan
mengenai beberapa hal tersebut.
Bab I Pendahuluan
1.
Kedudukan
Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa Negara republik Indonesia
sebagaimana tercantum pada ikrar ketiga sumpah pemuda 1928. Dengan hal ini
masih banyak alasan-alasan mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang
termuka dari beratus-ratus bahasa di nusantara ini. Bahasa Indonesia juga bahasa
yang penting, hal ini didasari beberapa patokan seperti jumlah penutur, luas
penebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap
budaya.
2.
Ragam
Bahasa
Bahasa
Indonesia mempunyai ragam bahasa, ragam bahasa Indonesia ini timbul karena
dipengaruhi oleh faktor seperti faktor sejarah dan perkembangan masyarakat.
Sebutan ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Ragam
bahasa juga bermacam-macam seperti ragam menurut jenis pemakaiannya yaitu ragam
dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan, ragam menurut sarananya, dan ragam
yang mengalami pencampuran. Ragam bahasa dari sudut pandang bidang atau pokok
persoalan yaitu orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang
ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus
memilih salah satu ragam yang dikuasinya dan yang cocok dengan bidang atau
pokok itu.
Ragam bahasa menurut sarananya lazim
dibagi atas ragam lisan, atau ujaran, dan ragam tulisan. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara raga lisan dan ragam tulisan,
yaitu berhubungan dengan suasana peristiwanya dan berkaitan dengan beberapa
upaya yang kita gunakan dalam ujaran misalnya, tinggi rendahnya dan panjang
pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan
tata tulis yang kita miliki. Ragam lisan dan tulisan masih mengenal kendala
atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih mudah
dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain.
Ragam bahasa juga mengalami gangguan
pencampuran atau interferensi, yaitu dengan ditandai dengan pemasukan unsur
bahasa daerah nusantara atau bahasa asing, misalnya bahasa belanda dan inggris,
kedalam bahasa Indonesia mengisi kekosongan atau memperkaya kesinoniman dalam
kosakata atau bangun kalimat, maka gejala itu dianggap wajar. Tetapi, kalau
unsur bahasa yang bersangkutan itu mengganggu keefektifan penyampaian informasi
kita, maka ragam bahasa yang dicampuri unsur masukan itu hendaknya kita
hindari.
3.
Ciri
Situasi Diglosia
Situasi
diglosia dapat dilihat dalam masyarakat, jika dua ragam pokok bahasa yang
masing-masing mungkin memiliki subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk
fungsi kemasyarakatan yang berbeda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap
dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana perpustakaan dan
kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakat bahasa seperti halnya dengan
bahasa melayu untuk Indonesia dan Malaysia, hal ini juga disebut dengan ragam
tinggi. Ragam pokok kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek, hal ini disebut
juga dengan ragam rendah. Ragam yang rendah yang tidak mengenal kodifikasi itu
menunjukkan perkembangan kearah keanekaan ejaan, variasi yang luas di dalam
lafal, tata bahasa, dan kosa kata.
4.
Pembakuan
Bahasa
Ada
anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau,
perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu
tidak monosentris lagi. Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan
patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan.
Secara tentatif dapat dikemukan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat
norma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu norma yang dikodifikasi dalam buku
bahasa sekolah yang diajarkan kepada siswanya dan norma yang berdasarkan adat
pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain
dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Kesimpulam yang dapat
diambil di antara kedua pasang norma itu dapat dicontohkan dengan bentuk
pengerusak.
5.
Bahasa
Baku
Dalam
bahasa Indonesia mempunyai bahasa yang baku, bahasa baku ini ditandai dengan
adanya ciri-ciri yaitu memiliki sifat kemantapan dinamis, yaitu berupa kaidah
dan aturan tetap, dan sifat kecendikiaaan-nya yang wujudnya dalam kalimat,
paragraf dan satuan bahasa lain yang besar mengungkapkan penalaran atau
pemikiran, logis, dan masuk akal. Proses pencedikiaan bahasa itu amat penting
karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber
pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Buku
atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai teraf tertentu berarti
proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman
variasi bahasa, inilah ciri lain bahasa baku.
6.
Fungsi
Bahasa Baku
Bahasa
baku ini mempunyai beberapa fungsi yaitu pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa
kewibawaan, dan sebagai kerangka acuan. Fungsi pemersatu artinya bahasa baku
mempersatukan mereka menjadi masyarakat bahasa dan meningkatkan proses
identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Fungsi pemberi
kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa
lain, oleh sebab itu bahasa baku memperkuat perasaan keperibadian nasional
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan
usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradapan lain yang dikagumi lewat
pemerolehan bahasa baku sendiri. Adapun fungsi sebagai kerangka acuan bagi
pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah yang jelas, norma maupun kaidah
menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya pemaikan bahasa orang, seorang atau
golongan.
7.
Bahasa
yang Baik dan Benar
Dalam
bahasa Indonesia ada cara berbahasa yang baik dan benar, bahasa yang baik dan
benar ini memberi pengertian bahwa bahasa yang komunikatif atau bahasa yang
mudah dipahami dan benar strukturnya sesuai dengan tata bahasa baku bahasa
Indonesia. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai
sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis
pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
8.
Hubungan
Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
Bahasa Indonesia juga mempunyai
hubungan dengan bahasa daerah maupun bahasa asing, sebagian masyarkat Indonesia
ada yang benar-benar berbahasa Indonesia utuh tetapi ada juga yang menggunakan
bahasa daerah seperti bahasa jawa, papua, sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dan sebagian lagi ada masyarakat berbahasa asing seperti inggris, arab, cina,
jepang, dan belanda. Dari beberapa golongan bahasa itu masing-masing
menjalankan fungsi masyarakat yang khusus seperti fungsi bahasa resmi pada
taraf Negara atau daerah, fungsi bahasa perhubungan luas, fungsi bahasa
pendidikan formal, fungsi bahasa kesenian, dan fungsi bahasa keilmuan dan
keteknologian.
Bab II Beberapa Pengertian Dasar
1.
Pendahuluan
Bahasa
indonesia mempunyai konsep dan istilah yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dan yang umum dipakai oleh
para ahli di bidang bahasa indonesia. Konsep dan istilah itu biasanya terasa
asing bagi mereka yang ada diluar bidang itu. Karena pengertian dan istilah
tertentu marupakan bagian integral suatu ilmu, pemakaiannya paling tidak untuk
sebagiannya tidak dapat terhindari.
2.
Beberapa
Pengertian Di Pelbagai Bagian
Dalam
tata bahasa baku bahasa Indonesia mempunyai beberapa pengerian dasar seperti
beberapa pengertian di pelbagai bagian, beberapa pengertian mengenai kalimat,
dan beberapa pengertian mengenai wacana. Beberapa pengertian di pelbagai bagian
terdapat dua bagian yaitu pengertian tata bunyi dan pengertian pembentukan
kata. Tata bunyi mempunyai beberapa pengertian dan istilah secara umum
berkenaan tentang fonem, alofon, grafem, gugus, diftong, dan fonotaktik. Fonem
adalah satuan bahasa terkecil yang dapat membedakan bentuk dan makna kata
(misalnya huruf). Alofon adalah variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti
kata. Grafem adalah pembahasan yang membahas tentang huruf dan ditulis antara
dua kurung sudut (<…>) (misalnya kata sore mempunya grafem <e>).
Gugus adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam suku kata
yang sama (misalnya kata klinik, gugusnya adalah kl). Diftong adalah gabungan
dua huruf vokal atau lebih dalam satu suku kata yang sama (misalnya kata
daerah, diftongnya adalah ea). Fonotaktik adalah kaidah yang mengatur
penjejeran fonem dalam suatu morfem (misalnya fonotaktik rs dari kata bersih).
Pembentukan mempunyai beberapa pengertian dan istilah secara umum berkenaan
tentang morfem, alomorf, kata dasar, analogi, afiks, prefix, infiks, konfiks,
afiks homofon, verba transitif, verba taktransitif dan keanggotaan ganda.
3.
Beberapa
Pengertian Mengenai Kalimat
Tiap
kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasar kategori
sintaktis, fungsi sintaktis, dan peran semantisnya. Kategori sintaktis juga
disebut dengan kategori atau kelas kata. Dalam bahasa Indonesia memiliki
kategori sintaktis utama yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda,
adjektiva atau kata sifat, adverbia atau kata keterangan. Fungsi sintaktis
artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaktis
utama bahasa Indonesia adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan.
4.
Beberapa
Pengertian Mengenai Wacana
Wacana
adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi
di antara kalimat-kalimat itu. Dalam wacana terdapat istilah kohesi, koherensi,
deiksis, anafora, kata fora, pengacuan atau referensi, konstruksi endosentrik
dan eksosentrik. Kohesi merupakan hubungan berkaitan antarproposisi yang
dinyatakan secara ekspilisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam
kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Sedangkan koherensi juga merupakan
perkaitan antarproposisi, tetapi kaitan tersebut tidak secara ekspilit atau
hanya dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya. Kohesi dan koherensi
adalah dua unsur yang menyebabkan sekolompok kalimat membentuk kesatuan makna.
Deiksis merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang
hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan.
Adapun anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan
hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Sedangkan katafora kebalikan
dari anafora, yakni rujuk silang terhadap anteseden yang ada dibelakangnya.
Pengajuan atau referensi ialah hubungan antara satuan bahasa atau maujud yang
meliputi benda atau halyang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa
itu. Konstruksi endosentrik merupakan frasa yang salah satu konstituennnya
dapat dianggap yang paling penting. Sedangkan konstruksi eksosentrik adalah
frasa yang tidak mempunyai konstituen inti karena tidak ada konstituen yang
dapa mewakili seluruh konstruksi itu.
Bab III Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi
1.
Berbagai
Pengertian Tentang Bunyi Bahasa
Berbagai pengertian tentang
pengertian tentang bunyi bahasa yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia, vokal dan konsonan, diftong, fonem dan grafem, fonem segmental dan
suprasegmental, dan suku kata. Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor
utama yang terlibat, yaitu sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran,
dan rongga pengubah getaran.proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan
memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Adapun pengertian tentang
vokal dan konsonan, vokal adalah bunyi bahasa yang arusnya tidak mengalami
rintangan atau hambatan dan kualitasnya oleh tiga faktor yaitu,
tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir
pada pembentukkan vokal itu. Sedangkan konsonan adalah bunyi pembentuk bahasa.
Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya pada saat pengucapannya. Fonem
adalah satuan bahasa terkecil yang dapat membedakan makna. Grafem adalah
merujuk kehuruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem
ejaan.
2.
Bunyi
Bahasa dan Tata Bunyi Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia mengikuti kaidah kebahasaan pada umumnya. Namun, kaidah bahasa yang
satu tidak sama dengan kaidah bahasa yang lain. Bunyi bahasa dan tata bunyi
bahasa Indonesia seperti vokal dalam bahasa Indonesia. Vokal juga terbagi beberapa
jenis seperti, alofon vokal, diftong, cara penulisan vokal bahasa Indonesia. Konsonan
dalam bahasa Indonesia terdapat pemenggalan kata, ciri suprasegmental bahasa
Indonesia. Dalam ciri suprasegmental ini terdapat peranan ciri suprasegmental,
intonasi dan ritme.
Dalam bahasa Indonesia terdapat enam
fonem vokal, yaitu /a/, /e/, /i/, /o/, /u/, dan /ɘ/. bahasa Indonesia memiliki
dua vokal tinggi, tiga vokal sedang, dan satu vokal rendah. Fonem /i/ adalah
vokal tinggi depan dengan kedua bibir agak terentang kesamping. Fonem /u/
merupakan vokal tinggi, tetapi meninggi adalah belakang lidah. Fonem /e/ dibuat
dengan dengan daun lidah dinaikkan, tetapi agak lebih rendah daripada untuk /i/.
Vokal sedang-depan itu diiringi dengan bentuk bibir yang netral, artinya, tidak
terentang dan tidak juga tidak membundar. Perbedaan antara /e/ dan /i/ dalam
hal ketinggian lidah mirip dengan perbedaan /o/ dan /u/ kecuali bahwa /o/ dan
/u/ adalah vokal belakang. Bentuk bibir untuk /o/ kurang bundar dibandingkan
/u/. Lain halnya dengan /e/ dan /o/, fonem /ɘ/ adalah vokal sedang-tengah.
Setiap vokal mempunyai alofon atau
variasi. Pada dasarnya alofon setiap fonem mengikuti sebuah pola, yaitu lidah
yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau ke bawah sehingga
posisinya hampir berhimpitan dengan posisi untuk vokal yang ada diatas atau
dibawahnya. Fonem a hanya mempunya satu alofon, yaitu a. Fonem i mempunyai dua
alofon, yaitu i dan I. Fonem e mempunyai dua alofon, yaitu e dan ɘ. Fonem o
mempunyai dua alofon, yaitu o dan É”. Fonem u mempunyai dua alofon, yaitu u dan
U.
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga
buah diftong, yakni /ay/, /aw/, dan /oy/ yang masing-masing dapat ditulis: ai,
au, dan oi. Ketiga diftong ini bersifat fonemis dalam bahasa Indonesia. Kedua
huruf vokal pada diftong melambangkan satu bunyi vokal yang tidak dapat
dipisahkan. Contoh diftong ialah, pandai, harimau, amboi, daerah, dan suatu.
Cara penulisan vokal bahasa
Indonesia, pada umumnya fonem vokal bahasa Indonesia mempunyai hubungan satu
lawan satu dengan huruf yang mewakilinya. Oleh sebab itu, fonem vokal /a/, /i/,
dan /u/, misalnya, dinyatakan dengan huruf É‘,
i, u. hubungan antara fonem dan grafem tidak selalu satu-lawan satu
seperti, fonem /a/ dengan alofon
tunggalnya ditulis dengan huruf É‘ pula sehingga /a/ selalu ditulis dengan huruf
itu, contonya /adik/ ditulis /adik/. Ada pula hubungannya tidak satu lawan satu
seperti, huruf e mewakili dua fonem,
yaitu /e/ dan /ɘ/, beserta alofonnya, contohnya, seperti /bɘsar/ ditulid
/besar/. Huruf i dan u masing-masing dipakai untuk menuliskan
fonem /i/ dan /u/ tanpa memperhitungkan alofon, contohnya /bantiɳ/ ditulis
/banting/. Huruf o dipakai untuk
menuliskan fonem /o/ dengan alofonnya, contohnya /potoɳ/ ditulis /potong/.
Adapun diftong /ay/, /aw/, dan /oy/ masing-masing ditulis dengn huruf É‘i, É‘u, dan oi. Karena deretan vokal /ai/, /au/, dan /oi/ juga ditulis dengan
huruf yang sama, dalam tulisan diftong dan deretan itu tidak dapat dibedakan,
contohnya /pantay/ ditulis /pantai/, /kalaw/ ditulis /kalau/, dan /amboy/
ditulis /amboi/.
Sesuai dengan artikulasinya,
konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasar tiga faktor yaitu
keadaan pita suara, daerah artikulasi, dan cara artikulasinya. Konsonan dalam
bahasa Indonesia dapat dibagi beberapa bagian yaitu (1) konsonan hambat
bilabial /p/ dan /b/ dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup
rapat sehingga udara dari pari-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum
katupan itu dilepaskan, contohnya /pola/ dibaca pola dan /kapar/ dibaca kapar.
(2) konsonan hambat alveolar /t/ dan /d/ umumnya dilafalkan dengan ujung lidah
ditempelkan pada ujung gusi, contohnya
/tari/ dibaca tari dan /pantay/ dibaca pantai. (3) konsonan hambatan
velar /k/ dan /g/ dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada
langit-langit lunak, contohnya /kalah/ dibaca kalah dan /galah/ dibaca galah.
(4) konsonan frikatif alveolar /s/ dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah
pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan
bunyi desis, contohnya /saya/ dibaca saya.
(5) konsonan frikatif alveolar /z/
dibentuk dengan cara pembentukan /s/ tetapi dengan pita suara yang bergetar,
contohnya /zɘni/ dibaca zeni dan /lazim/ dibaca lazim. (6) konsonan frikatif
palatal tak bersuara /Å¡/ dibentuk dengan menempelkan lidah pada langit-langit
keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah ke langit-langit keras, tetapi
udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis, contohnya /Å¡ak/
dibaca syak. (7) konsonan frikatif velar /x/ dibentuk dengan mendekatkan
punggung lidah kelangit-langit lunak yang dinaikkan agar udara tidak keluar
melalui hidung, contohnya /xas/ dibaca khas. (8) konsonan frikatif glottal /h/
dibentuk dengan melewatkan arus udara diantara pita suara yang menyempit
sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain, contohnya
/habis/ dibaca habis.
(9) konsonan afrikat palatal /c/
dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras kemudian
dilepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan tanpa
desis (contohnya /mancur/ dibaca mancur), sedangkan konsonan afrikat palatal
/j/ dibentuk dengan cara yang sama dengan /c/, tetapi pita suara dalam keadaan
bergetar (contohnya /manjur/ dibaca manjur). (10) konsonan nasal bilabial /m/
dibuat dengan kedua bibir dikatupkan kemudian udara lepas melalui rongga
hidung, contohnya /makan/ dibaca makan. (11) konsonan nasal alveolar /n/
dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara
dari paru-paru, kemudian dikeluarkan dirongga hidung, contohnya /kantin/ dibaca
kantin. (12) konsonan nasal palatal /Å„/ dibentuk dengan menempelkan depan lidah
pada langit-langit keras menahan udara dari paru-paru, contohnya /pɘńyu/ dibaca
penyu.
(13) konsonan nasal velar /ɳ/
dibentuk dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara
kemudian dilepas melalui hidung, contohnya /ɳaray/ dibaca narai. (14) konsonan
getar alveolar /r/ dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian
menghembuskan udara sehingga lidah tersebut secar berulang-ulang menempel pada
dan lepas dari gusi, sementara itu, pita suara keadaan bergetar, contohnya
/raja/ dibaca raja. (15) konsonan lateral alveoral /l/ dihasilkan dengan
menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah,
dan pita suara keadaan bergetar, contohnya /lama/ dibaca lama. (16) semivokal
bilabial /w/ dilafalkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara
yang dihembuskan dari paru-paru, contohnya /waktu/ dibaca waktu. (17) semivokal
palatl /y/ dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras,
tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluarkan dari paru, contohnya
/yatim/ dibaca yatim.
Dalam bahasa Indonesia terdapat suku
kata, kata, dan gugus konsonan. Wujud suku kata yang membentuknya mempunyai
struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. Suku kata dalam bahasa
Indonesia terdiri atas (1) satu vokal (V), misalnya a-mal. (2) satu Vokal dan satu konsonan (VK), misalnya ar-ti. (3) satu konsonan dan satu vokal
(KV), misalnya pa-sar. (4) satu
konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK), misalnya pak-sa. (5) dua konsonan dan
satu vokal (KKV), misalnya slo-gan.
(6) dua konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKVK), misalnya trak-tor. (7) satu konsonan, satu vokal,
dan dua konsonan (KVKK), misalnya teks-til.
(8) tiga konsonan dan satu vokal (KKKV), misalnya stra-te-gi. (9) tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan
(KKKVK), misalnya struk-tur. (10) dua
konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KKVKK), misalnya kom-pleks. (11) satu konsonan, satu vokal,
dan tiga konsonan (KVKKK), misalnya korps.
Kata dalam bahasa indonesi dibentuk dari gabungan bermacam-macam suku kata seperti
struktur suku kata, contoh ter-se-nyum. Gugus konsonan adalah konsonan yang
rangakap atau dua huruf konsonan, misalnya kh-, -ng, kr-, pr-, kl-, dan
lain-lain. Contohnya yaitu khusus, perang, klinik, krisis, pribadi, dan
lain-lain.
Dalam bahasa Indonesia terdapa
proses pemenggalan kata. Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai suatu
tulisan, sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi
bahasa. Pemenggalan tidak selalu perdoman pada lafal kata. Faktor lain
pemenggalan kata adalah kesatuan pernapasan pada kata tersebut. Misalnya kata
berani dapat dipenggal menjadi be-rani
atau bera-ni.
Fonem segmental bahasa Indonesia
mempunyai ciri suprasegmental yaitu tekanan, panjang bunyi, dan nada. Dan ciri
suprasegmental yang lain yaitu intonasi dan ritme. Ciri suprasegmental juga
mempunyai peranan, seperti tanda baca yang mempunyai peran sangat penting.
Karena suatu klausa terdiri dari atas kata yang sama dan dalam urutan yang sama
dapat mempunyai arti yang berbeda, bergantung pada tanda baca yang diberikan.
Contohnya “dia dapat pergi”, kalimat
menandakan member informasi bahwa seseorang tersebut bisa pergi. Jika kalimat
tersebut diberi tanda baca Tanya (?) “dia
dapat pergi?”, maka akan mempunyai artinya berbeda, yaitu kalimat ini
menandakan bahwa sesorang menayakan apakah
“dia” tersebut bisa pergi.
Bab IV Verba
1.
Batasan
dan Ciri Verba
Ciri-ciri verba dapat kita ketahui
dengan cara mengamati prilaku semantisnya, prilaku sintaktis dan morfologisnya.
Verba mempunyai ciri- ciri yaitu, memiliki
fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun
dapat juga mempunyai fungsi lain (contohnya pencuri itu lari), mengandung makna inheren perbuatan, proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas, mempunyai kekhususan yaitu bermakna keadaan
yang tidak dapat diberi prefiks ter-, dan pada umunya verba tidak dapat
bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.
2.
Verba
Dari Segi Perilaku Semantisnya
Verba
dari segi perilaku semantisnya mempunyai makna inheren perbuatan. Semua verba
perbuatan dapat dipakai dalam kalimat perintah. Makna inheren suatu verba tidak
terkait dengan wujud verba tersebut. Artinya, apakah suatu verba berwujud kata
dasar, kata yang tanpa afiks, atau menggunakan afiks, hal itu tidak
mempengaruhi makna inheren yang terkandung didalamnya. Makna inheren juga tidak
selalu berkaitan dengan status ketransitifan suatu verba. Suatu verba
taktransitif dapat memiliki makna inheren perbuatan (misalnya, pergi) atau
proses (misalnya, menguning).
3.
Verba
Dari Segi Perilaku Sintaksisnya
Adapun
verba dari segi perilaku sintaktisnya berkaitan erat dengan makna dan sifat
ketransitifan verba. Dari segi sintaktisnya, ketransitifan verba ditentukan
oleh dua faktor, yaitu adanya nomina yang berdiri dibelakang verba yang
berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan kemungkinan objek itu berfungsi
sebagai subjek dalam kalimat pasif. Pada dasarnya terdiri dari verba transitif
dan verba taktransitif. Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina
sebagai objek dalam kalimat aktif dan dapat berfungsi sebagai subjek dalam
kalimat pasif. Verba transitif dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, verba
ekatransitif, verba dwitransitif dan verba semi transitif. Macam-macam verba
yang lainnya yaitu verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina
di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif, dan
verba berpreposisi adalah verba taktransitif yang selalu diikuti oleh preposisi
tertentu.
4.
Verba
Dari Segi Bentuknya
Adapun
verba dari segi bentuknya seperti verba asal dan verba turunan. Verba asal
adalah verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaktis,
sedangkan verba turunan adalah verba yang harus atau dapa memakai afiks,
bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan pada posisi sintaktisnya. Dalam
verba turunan terdapat proses penurunan verba, penggabungan prefiks dan sufiks.
Verba turunan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) verba yang dasarnya adalah
dasar bebas (misalnya, darat), tetapi memerlukan afiks supaya dapat berfungsi
sebagai verba (mendarat), (b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya,
baca) yang dapat pula memiliki afiks (membaca), dan (3) verba yang dasarnya
adalah dasar terikat (misalnya, temu) yang memelukan afiks (bertemu).
5.
Morfologi
dan Semantik Verba Transitif
Ciri
yang lainnya yaitu morfologi dan semantik verba transitif, terdapat penurunan
verba transitif dan penurunan melalui afiksasi. Verba transitif dapat
diturunkan melalui transposisi, afiksasi, dan reduplikasi. Transposisi adalah
pemindahan dari satu kelas kata ke kelas kata yang lain tanpa perubahan bentuk.
Penurunan melalui transposisi yaitu dengan cara nomina yang ditransposisikan
menjadi verba diberi afiks, tetapi afiks ini tidak mengubah makna hanya sekedar
sebagai penanda keformalan belaka, contoh nomina jalan menjadi verba berjalan. Adapun
afiksasi adalah penambahan prefiks, infiks, atau sufiks pada dasar kata.
Reduplikasi adalah perulangan suatu kata, baik dengan tambahan afiks maupun
tidak. Penurunan melalui afiksasi terdiri atas (1) penurunan verba transitif
dengan meng-, misalnya dari kata
ambil menjadi mengambil, (2) penurunan verba transitif dengan –kan,
yang dapat berkombinasi dengan prefiks meng- sehingga menghasilkan meng-kan,
misalnya kata ke muka menjadi mengemukakan, (3) penurunan verba transitif
dengan -i, dapat berkombinasi dengan
prefiks meng-, misalnya kata hendak
menjadi menghendaki, (4) penurunan verba transitif dengan per- dan –kan/-i, misalnya
memperbudak, (5) penurunan verba transitif dengan di- dan ter-, contohnya
dipakai (pakai) dan termasuk (masuk). Selain penurun verba melalui transposisi
dan afiksasi ada juga penurunan melalui reduplikasi, contohnya halaman itu dia bolak-balik.
6.
Morfologi
dan Semantik Verba Tatktransitif
Proses
penurunan verba taktransitif tidak berbeda dengan yang transitif. Yang
membedakan hanya prefiks dan sufiks yang dipakai. Makna verba taktransitif juga
di pengaruhi oleh tiga hal, yaitu dasar kata yang digunakan, wajib-tidaknya
afiks dan ciri khusus semantik dari dasar kata. Morfologi dan semantik verba
taktransitif terdapat penurunan verba taktransitif dengan afiksasi, penurunan
verba taktransitif dengan reduplikasi. Penurunan verba taktransitif dengan
afiksasi ini akan dikemukan berdasarkan jenis afiks yang digunakan seperti,
afiks meng-, ber-, ber-kan, ber-an, ter-, dan ke-an. Adapun
penurunan verba taktransitif dengan reduplikasi atau perulangan mempunyai enam
macam bentuk yaitu dasar + dasar (misalnya, makan-makan), dasar + (prefiks +
dasar) (misalnya, pukul-memukul), dasar (prefiks + dasar + sufiks) (misalnya,
cinta-mencintai), (prefiks + dasar) + dasar (misalnya, berjalan-jalan), prefiks
+ (dasar + dasar) + sufiks (misalnya, bersalam-salaman), dan perulangan dengan
salin bunyi (misalnya, lalu-lalang).
7.
Verba
Majemuk
Verba
majemuk adalah verba yang berbentuk melalui proses penggabungan satu kata
dengan kata yang lain. Jenis verba majemuk mempunyai verba majemuk dasar, verba
majemuk berafiks dan verba majemuk berulang. Verba majemuk dasar adalah verba
majemuk yang tidak berafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat
berdiri sendiri dalam frasa, klausa, atau kalimat, misalnya maju mundur. Verba
majemuk berafiks adalah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu, misalnya
berdiri sendiri. Verba majemuk reduplikasi adalah jika kemajemukkannya
bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan
pula.
8.
Hubungan
Ketransitifan Dengan Afiksasi
Hubungan
ketransitifan dengan afiksasi terdapat kaidah mengenai hubungan tersebut
seperti verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat
transitif dan taktransitif, verba yang berprefiks ber- bersifat transitif. Bersufiks
-i dan -kan bersifat transitif . jika bentuk men- + dasar membentuk verba taktransitif, maka pasangannya dengan
sufiks -kan, -i, merupakan verba ekatransitif. Jika bentuk meng- + dasar membentuk verba ekatransitif maka pasangannya dengan
sufik -kan tergolong verba dwitransitif. Jika bentuk meng- + dasar adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan
akhiran -i umumnya tetap
ekatransitif.
9.
Frasa
Verbal dan Fungsinya
Frasa
verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba
sebagai intinya tetapi bentuk ini merupakan klausa. Jenis-jenis frasa verba
seperti frasa endosentrik atributif, frasa endosentrik koordinatif. Frasa
endosentrik atributif terdiri dari inti verba dan pewata (modifier) yang
ditempatkan di muka atau di belakang verba inti. Frasa endosentrik koordinatif ialah dua verba
yang di gabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Fungsi verba
dan frasa verba yaitu verba dan frasa verba sebagai predikat, verba dan frasa
verba sebagai subjek, verba dan frasa verbal sebagai objek, verba dan frasa
verbal sebagai pelengkap, verba dan frasa verbal sebagai keterangan, verba yang
bersifat atributif, dan verba yang bersifat apositif.
10. Daftar Contoh Dasar Verba dan Verba
Disini
dapat diuraikan contoh dasar verba yang telah dijelaskan sebelumnya. Contoh
dasar verba dan verba yaitu dasar terikat (misalnya, acu, ajar, dan lain-lain),
verba asal (misalnya, ada, bangkit, dan lain-lain), verba turunan. Karena verba
turunan dapat diturunkan dari pelbagai dasar sesuai dengan prefiks atau sufiks
yang dipakai (misalnya, berdasarkan, berjalan, berjualan, dan lain-lain).
Bab V Adjektiva
1.
Batasan
dan Ciri Adjektiva
Adjektiva memiliki batasan dan ciri,
adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina
dalam kalimat. Adjektiva ini berfungsi sebagai predikat dan adverbial kalimat.
Fungsi predikat dan adverbial itu dapat mengacu ke suatu keadaan (misalnya,
mabuk, sakit, basah, baik, dan sadar).
2.
Adjektiva
Dari Segi Perilaku Semantisnya
Adjektiva
dilihat dari segi perilaku semantisnya, dari segi ini adjektiva menunjukkan dua
tipe pokok yaitu adjektiva bertaraf dan adjektiva tidak bertaraf. Adjektiva bertaraf terdiri dari, adjektiva
pemeri sifat, adjektiva ukuran, adjektiva warna, adjektiva waktu, adjektiva
jarak, adjektiva sikap batin, dan adjektiva cerapan. Adjektiva tak bertaraf
menempatkan acuan nomina yang diwatisinya di dalam kelompok atau golongan
tertentu.
3.
Adjektiva
Dari Segi Perilaku Sintaktisnya
Akjektiva
dilihat dari segi perilaku sintaktisnya yaitu mempunyai fungsi, seperti fungsi
atributif, fungsi predikat, dan fungsi adverbial atau keterangan. Fungsi
atributif merupakan adjektiva yang merupakan pewatas dalam frasa nominal yang
nominanya menjadi subjek, objek, atau pelengkap. Sedangkan fungsi predikat
adalah adjektiva yang menjalankan fungsi predikat atau pelengkap dalam klausa.
Sedangkan fungsi adverbial atau keterangan merupakan adjektiva yang mewatasi
verba (atau adjektiva) yang menjadi predikat atau klausa.
4.
Pertarafan
Adjektiva
Adjektiva
mempunyai pertarafan adjektiva yang
menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas dan berbagai tingkat
bandingan. Berbagai tingkat kualitas secara relatif menunjukkan tingkat
intensitas yang lebih tinggi atau rendah. Ada beberapa bagian tingkat kualitas
atau intensitas terdiri dari (1) Tingkat positif memberikan kualitas atau
intensitas maujud yang diterangkan, dinyatakan oleh adjektiva tanpa pewatas,
contohnya Indonesia kaya akan hutan. (2)
Tingkat intensif yang menekankan kadar kualitas atau intensitas, dinyatakan
dengan memakai pewatas benar, betul, atau
sungguh, contohnya pask asep setia benar dalam pekerjaannya. (3) Tingkat
elatif yang menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi,
dinyatakan dengan memakai pewatas amat,
sangat, atau sekali, contohnya
sikapnya sangat angkuh ketika
menerima kami. (4) Tingkat eksesif yang mengacu ke kadar kualitas atau intensitas
yang berlebih, atau yang melampaui batas kewajaran, dinyatakan dengan memakai
pewatas terlalu, terlampau, dan kelewat, contohnya mobil itu terlalu mahal. (5) Tingkat augmentatif
yang menggambarkan naiknya atau pertambahan tingakat kualitas atau intensitas,
dinyatakan dengan memakai pewatas makim…..makin…,
atau semakin…, contohnya sutarno
menjadi semakin kaya. (6) Tingkat atenuatif
yang memberikan penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas, dinyatakan
dengan memakai pewatas agak dan sedikit, contohnya gadis yang agak malu itu diterima jadi pegawai.
Adapun tingkat bandingan yang
terdiri dari tiga yaitu, (1) tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau
intensitas yang sama atau hampir sama, dengan peranti bahasa yang digunakan
ialah bentuk klitik se- yang
ditempatkan di depan adjektiva, contohnya tuti secantik ibunya. (2) tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas
atau intensitas yang lebih atau kurang, pewatas yang digunakan adalah lebih….dari(pada)…., kurang…dari(pada)….,
dan kalah ….dengan/dari(pada), contohnya restoran itu kurang bersih dari(pada) restoran itu. (3) tingkat superlative
mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tinggi di antara semua acuan adjektiva yang
dibandingkan, dengan pemakaian afiks ter-
dan pewatas paling dimuka
adjektiva yang bersangkutan, juga diikuti dengan frasa yang berpreposisi dari, antara, di antara, dari antara beserta
nomina yang dibandingkan, contohnya kamar ini yang termahal dari antara yang pernah saya sewa.
5.
Adjektiva
Dari Segi Bentuknya
Ciri
Adjektiva dilihat dari segi bentuknya terdiri atas adjektiva dasar yang selalu
monomorfermis dan adjektiva turunan yang selalu polimorfermisa. Sebagian besar
adjektiva dasar merupakan bentuk yang monomorfermis, meskipun ada yang
berbentuk perulangan semu. Adjektiva turunan (polimorfermis) dapat merupakan
tingkat ekuatif dengan prefiks se-, dan pada tingkat superlatif dengan prefiks
ter-.
6.
Adjektiva
dan Kelas Kata Lain
Adjektiva
dan kelas kata lain mempunyai proses seperti adjektiva deverbal dan adjektiva
denominal. Verba deverbal ini pada mulanya diturunkan dari kata dasar yang
dibubuhi dengan afiks-afiks tertentu. Dalam adjektiva denominal ada dua proses
morfplogis yang dapa dikemukan, yaitu nomina yang berprefiks pe(r)- atau peng
seperti pemalas, dan nomina berkonfiks ke-an yang mengalami reduplikasi.
Bab VI Adverbia
1.
Batasan
dan Ciri Adverbia
Batasan adverbial adalah kata yang
menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. Ciri adverbial ini yaitu
berfungsi sebagai predikat. Selain itu adverbia juga menerangkan kata atau
bagian kalimat yang tidak berfungsi sebagai predikat. Oleh sebab itu ada
beberapa adverbia yang selaindapat menerangkan verba, adjektiva, dan adverbial
lain, juga dapat menerangkan nomina dan frasa proposisional.
2.
Adverbia
Dari Segi Bentuknya
Macam
adverbia dari segi bentuknya yaitu adverbia tunggal dan adverbia gabungan.
Adverbia tunggal dapa dibagi dari advebia yang berupa kata dasar, yang berupa
kata berafiks, serta berupa kata ulang. Sedangkan adverbia gabungan terbagi
atas dua adverbia yang berdampingan dan adverbia yang tidak berdampingan.
3.
Adverbia
Dari Segi Perilaku Sintaktisnya
Macam
adverbial dari segi perilaku sintaktisnya mempunyai posisi-posisi, seperti
adverbia yang mendahului kata yang diterangkan, adverbia yang mengikuti kata
yang diterangkan, adverbia yang mendahului atau mengikuti kata yang
diterangkan, dan adverbia yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan.
Berdasarkan lingkup strukturnya, terdapat perbedaan dari bentuk yang mengacu pada
tataran frasa disebut juga adverbia intraklausal dan bentuk yang mengacu pada
tataran kalimat disebut juga dengan adverbia ekstraklausal.
4.
Adverbia
Dari Segi Perilaku Semantisnya
Jenis
adverbia dari segi perilaku semantisnya
yaitu adverbia kualitatif, adverbia kuantitatif, adverbia limitatif, adverbia
kuantitatif, adverbia kewaktuan, adverbia kecaraan, adverbial konstrantif dan
adverbia keniscayaan. Adverbia kualitatif adalah adverbia yang menggambarkan
makna yang berhubungan dekat tingkat, derajat, atau mutu. Adverbia kuntitatif
yaitu menggambarkan makna yang berhubungan dengan jumlah. Adverbia limitif
adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan pembatasan.
Adverbia frekuentatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan
dengan saat terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbia tersebut.
Adverbia kecaraan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan
dengan bagaimana peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu berlangsung atau
terjadi. Adverbia konstrastif adalah adverbia yang menggambarkan pertentangan
dengan makna kata atau hal yang dinyatakan sebelumnya. Adverbial keniscayaan
adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan kepastian
tentang berlangsung atau terjadinya hal atau peristiwa yang dijelaskan
adverbial itu.
5.
Adverbia
Konjungtif
Macam
adverbia sebagai konjugatif adalah adverbia yang menghubungkan satu klausa atau
kalimat dengan klausa atau kalimat lainnya. Posisinya dalam kalimat berstatus
bebas. Tetapi biasanya, adverbia konjungtif digunakan pada awal kalimat. Adapun
contoh adverbia yaitu “biarpun demikian/
begitu” merupakan menyatakan pertentangan dengan yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya. “Kemudian, setelah
itu, sesudah itu, selanjutnya”,merupakan kelanjutan dari peristiwa atau
keadaan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. “Tambahan
pula, lagi pula, selain itu”, merupakan menyatakan hal, peristiwa, atau
keadaan di samping hal, peristiwa, atau keadaan yang telah disebutkan
sebelumnya. “Sebaliknya”, adverbia ini
mengacu ke kebalikan dari yang telah dinyatakan sebelumnya. “Sesungguhnya dan bahwasannya”, adverbia ini menyatakan bahwa yang digambarkan oleh
prediksi kalimat adalah benar. “Malahan dan bahkan”, adverbia yang menyatakan
penguatan terhadap peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya. “(Akan) tetapi dan namun), adverbia yang menyatakan pertentangan dengan peristiwa,
hal, atau keadaan yang dinyataka sebelumnya. “Kecuali itu”, adverbia yang menyatakan keeksklusifan dan
keinklusifan. “Dengan demikian”, adverbia
yang menyatakan konsekuensi. “Oleh karena
itu/sebab itu”, adverbia yang menyatakan akibat. ”Sebelum itu”, adverbia yang menyatakan kejadian yang mendahului
peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya.
6.
Adverbia
pembuka Wacana
Macam
adverbia sebagai pembuka wacana yaitu mengawali suatu wacana. Hubungannya
dengan paragraf sebelumnya didasarkan pada makna yang terkandung pada paragraf
sebelumnya itu. Adapun pembuka wacana seperti adapun, akan hal, masih sering
dipakai. Sedangkan pembuka paragraf seperti alkisah, seberluma, syahdan,
umumnya terdapat pada naskah sastra lama.
7.
Adverbia
dan Kelas Kata Lain
Ciri
adverbia dan kelas kata lain dapat
dikategori dasarnya dibagi atas beberapa adverbia deverbal, adverbia deadajektival, adverbia denominal, dan
adverbia denumeral. Adverbia deverbal adalah bentuk dari dasar yang berkategori
verba, misalnya kira-kira, sekiranya, terlalu dan tahu-tahu. Adverbia
deadjektival adalah adverbia diturunkan dari adjektiva, baik melalui
reduplikasi maupun afiksasi. Adverbia denominal adalah adverbia yang dibentuk
dari dasar berkategori nomina. Dan adverbia denumeral adalah adverbia yang
terbentuk dari numeralia.
8.
Daftar
Adverbia
Daftar
adverbia terbagi atas adverbia tunggal, adverbia gabungan, adverbia konjugatif,
dan konjungtor wacana. Macam-macam adverbia tunggal seperti adverbial dasar (contohnya
yaitu amat, bahkan, barang), dan lain-lain, adverbia berafiks (contohnya agaknya,
sebaiknya, sebenarnya), dan adverbia kata ulang (contohnya, diam-diam, malam-malam,
gelap-gelapan, setinggi-tinggi). Macam-macam adverbia gabungan seperti
berdampingan (contohnya, belum pernah, belum lagi, dan lain-lain), dan yang
tidak berdampingan (contohnya, belum…lagi, belum…kembali, dan lain-lain).
Contoh adverbia konjungtif akan tetapi, bahkan, dengan demikian, dan lain-lain.contoh
konjungtor pembuka wacana adapun, alkisah, syahdan, dan lain-lain.
Bab VII Nomina, Pronominal, dan
Numeralia
1.
Nomina
Nomina sering disebut juga kata
benda. Nomina dapat dilihat dari tiga segi
yaitu segi semantis, segi sintaksis dan segi bentuk. Dari segi semantis , nomina adalah kata yang mengacu
pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Nomina dari segi
perilaku sintaksisnya, ini akan memukakan berdasarkan posisi atau pemakaiannya pada tataran frasa.
Sedangkan dari segi bentuknya nomina
terdiri dari dua macam yaitu nomina yang berbentuk kata dasar dan nomina
turunan. Nomina dasar terbagi atas nomina dasar umum dan nomina dasar khusus.
Sedang nomina turunan terbagi atas afiks
dalam penurunan nomina, morfofonemik afiks nomina. Morfologi dan semantik
nomina penurunan yang menyatakan penurunan nomina dengan ke-, pel-, per-, pe-, peng-, -an, peng-an, per-an, ke-an, kontras
antarnomina, nomina dengan dasar polimorfermis, penurunan nomina dengan -el-, -er-, -em-, -in-, -wan, -wati,
perulangan nomina, pemajemukan nomina dan idiom. Frasa nominal adalah sebuah
kata yang dapat diperluas dari kanan maupun kiri.
2.
Pronomina
Pronomina adalah kata yang dipakai
untuk mengacu kepada nomina lain. Pronomina mempunyai ciri yaitu bahwa acuannya
dapat berpindah-pindah karena tergantung kepada siapa menjadi pembicara/
penulis, siapa yang menjadi pendengar/ pembaca, atau siapa/ apa yang
dibicarakan. Pronomina terdiri dari tiga macam yaitu pronomina persona, pronomina petunjuk, dan pronomina
penanya. Gambaran pernomina persona ada tiga yaitu pertama persona petama
seperti saya, aku, dan daku. Yang kedua persona kedua seperti engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan -mu. Sedangkan yang ketiga yaitu
mempunyai dua macam persona ketiga tunggal yaitu (1) ia, dia, atau -nya, dan (2) beliau.
Pronomina pentunjuk terbagi tiga macam yaitu pronominal petunjuk umum, pronomina
petunjuk tempat, dan pronomina penanya.
3.
Numeralia
Numeralia atau kata bilangan adalah
kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, atau
barang) dan konsep. Dalam bahasa Indonesia pada dasarny numeralia ada dua macam
yaitu numeralia pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok adalah bilangan
dasar yang menjadi sumber dari bilangan yang lain. Numeralia tingkat adalah
numeralia yang diubah dengan cara dengan menambahkan ke- di muka bilangan yang bersangkutan. Selain itu terdapat macam
numeralia pecahan yaitu tiap bilangan
pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yaitu dengan cara memakai per- di antara bilangan pembagi dan
penyebut. Numeralia terdapat frasa, yaitu frasa yang dibentuk dengan
menambahkan kata penggolongan.
4.
Penggolongan
Nomina: Orang, Buah, dan Ekor
Bahasa Indonesia memiliki sekelompok
kata yang membagi-bagi nomina maujud dalam kategori tertentu. Manusia,
misalnya, disertai oleh penggolongan orang, binatang oleh penggolong ekor, dan
surat oleh penggolong pucuk. Manusia dan binatang mendapat kedudukan khusus
dengan adanya penggolongan orang dan ekor. Selain itu buah, misalnya untuk
buah-buahan.
5.
Konsep
Tunggal, Jamak, dan Generik
Dalam
bahasa Indonesia konsep tunggal itu ditandai oleh pemakaian kata seperti satu, suatu atau esa, se-. Pengolongan
yang menyatakan ketunggalan seperti sebuah,
seekor, dan seorang dalam konteks
tertentu dapat dihilangkan tanpa berbedaan arti. Pada konteks yang lain,
penghilangan penggolong itu mengubah arti kalimat. Sedangkan jamak umumnya dinyatakan dengan pengulangan. Misalnya
dalam sebuah kalimat “murid-murid sedang membaca buku-buku”, konsep jamaknya
terdapat pada kata murid-murid dan buku-buku. Sedangkan konsep generiknya yaitu
kata baca dalam membaca. Pengertian mengenail ketunggalan, kejamakan, dan
kegenerikan tersebut di pengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk jenis verba
yang digunakan dalam kalimat. Pada umumnya pengertian kejamakan dan ketunggalan
dinyatakan dalam wujud yang berbeda, dalam hubungannya dengan verba tertentu
perwujudan itu tidak dpegang teguh. Adapun untuk menyatakan konsep kegenerikan,
bentuk reduplikasi tidak dipakai.
Bab VIII Kata Tugas
1.
Batasan
dan Ciri Kata Tugas
Kata
tugas mempunyai ciri yaitu hampir semuanya tidak dapat menjadi dasar untuk
membentuk kata lain. Kata seperti dan,
ke, karena, dan dari termasuk
dalam kata tugas. Kata tugas mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti
leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan dengan kaitannya dengan kata lain
dalam frasa atau kalimat. Berlaiman dengan kelas kata lain, kata tugas
merupakan kelas kata yang tertutup.
2.
Klasifikasi
Kata Tugas
Kata
tugas dapat diklasifikasi menurut peranannya menjadi lima kelompok yaitu
preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula dan partikel penegas. Ditinjau dari
segi bentuknya terbagi menjadi dua macam yaitu proposisi tunggal yang juga
berbentuk kata dasar dan kata berafiks, dan preposisi preposisi gabungan yang
terdiri atas dua preposisi yang berdampingan dan dua proposisi yang
berkolerasi. Preposisi mempunyai peran semantis yaitu sebagai penanda hubungan
seperti: tempat, peruntukan, sebab, kesertaan atau cara, pelaku, waktu, ihwal
(peristiwa) dan milik.
Klasifikasi
kata tugas konjungtor, konjungtor ini juga dinamakan dengan kata sambung,
adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat. Dilihat
dari perilaku sintaktisnya dalam kalimat, konjugtor terbagi menjadi empat
kelompok yaitu, konjungtor koordinatif, konjugtor korelatif, konjungtor
subordinatif, dan konjungtor antar kalimat yang berfungsi pada tataran wacana.
Konjungtor koordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua unsur atau
lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama.konjungtor relatif
adalah konjungtor yang menghubungkan dua
kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaktis yang sama. Konjungtor
subordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua klausa, atau lebih, dan
klausa itu tidak memiliki status sintaktis yang sama. Konjungtor antarkalimat
adalah konjungtor yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain.
3.
Interjeksi
Klasifikasi kata tugas interjeksi,
interjeksi juga dinamakan dengan kata seru, adalah kata tugas yang
mengungkapkan rasa hati pembicara. Secara truktural interjeksi tidak bertalian
dengan unsure kalimat yang lain. Menurut bentuknya, ada yang berupa bentuk
dasar dan bentuk turunan. Berbagai jenis interjeksi dapat dikelompokkan menurut
persaan yang diungkapkan seperti interjeksi kejijikan (misalnya, bah, cih, cis, ih dan idih), interjeksi
kekesalan (misalnya, brengsek, sialan, buset dan keparat), interjeksi
kekaguman atau kepuasan (misalnya,
aduhai, amboi, dan asyik), interjeksi kesyukuran (misalnya, syukur dan Alhamdulillah), interjeksi
harapan (misalnya, insya Allah),
interjeksi keheranan (misalnya, aduh,
aih, ai, lo, duilah, eh, oh dan ah), interjeksi kekagetan (misalnya, astaga, astagfirullah, masyaallah),
interjeksi ajakan (misalnya, ayo dan mari),
interjeksi panggilan (misalnya, hai, he,
eh, dan halo), dan interjeksi simpulan (misalnya, nah).
4.
Artikula
Klasifikasi kata tugas artikula
yaitu kata tugas yang membatasi makna nomina. Dalam bahasa Indonesia terdapat
kelompok artikula yaitu, artikula yang bersifat gelar, artikula yang mengacu ke
makna kelompok dan artikula yang menominalkan. Artikula yang bersifat gelar pada
umumnya bertalian dengan orang atau hal yang dianggap bermartabat. Artikula
yang mengacu ke makna kelompok atau makna kolektif adalah artikula yang
mengisyaratkan ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak dinyatakan
dalam bentuk kata ulang. Artikula ini menggunakan kata para. Artikula yang
menominalkan, artikula ini adalah artikula yang menominalkan dapat mengacu ke
makna tunggal atau generik. Artikula ini menggunakan kata si.
5.
Partikel
Penegas
Klasifikasi kata tugas partikel
penegas adalah kategori partikel penegas meliputi yang tidak tertakluk pada
peubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diringinya. Ada
empat macam partikel penegas yaitu -kah,
-lah, -tah, dan pun. Tiga yang
pertama berupa klitika, sedangkan yang keempat tidak. Macam partikel penegas -kah adalah
partikel yang berbentuk klitika dan bersifat manasuka dapat menegaskan kalimat
interogatif. Macam partikel -lah
adalah partikel yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat imperative
atau kalimat deklaratif. Macam partikel -tah
adalah pertikel yang juga termasuk berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat
interogatif. Sedangkan macam partikel pun
adalah partikel yang hanya dipakai dalam kalimat deklaratif dan dalam bentuk
tulisan dipisahkan dari kata mukanya.
Bab IX Kalimat
1.
Batasan
dan Ciri-Ciri Kalimat
Kalimat
adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan maupun tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Ciri-ciri kalimat pada wujud lisan, kalimat
diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri
dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadi
perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun preoses fonologis lainnya. Ciri
kalimat dalam bentuk tulisan adalah kalimat dimulai dengan huruf capital dan
akhiri dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru. Sementara itu, di
dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti, koma, titik dua, tanda
pisah dan spasi.
2.
Bagian-Bagian
Kalimat
Kalimat mempunya beberapa bagian
yaitu kalimat dan klausa, konstituen kalimat, unsur wajib dan unsur tak
wajib, dan keserasian unsur-unsur
kalimat. Bagian kalimat dan klausa tidak banyak hal yang membedakan antara
keduanya. Kalimat maupun klausa merupakan konstruksi sintaktis yang mengandung
unsur prediksi. Dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa keduanya
terdiri atas unsure predikat dan subjek dengan atau tanpa objek, pelengkap,
atau keterangan. Bagian unsur wajib dan tidak wajib adalah unsur wajib maupun
tidak kehadirannya dalam sebuah kalimat, kadang-kadang ada kata atau kelompok
kata yang dihilangkan. Bagian keserasian unsur-unsur kalimat dapat dikemukan
dari kedua segi, yaitu keserasian makna dan keserasian bentuk.
3.
Struktur
Kalimat Dasar
Kalimat
dasar adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa, unsur-unsurnya lengkap,
susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan tidak mengandung
pertanyaan atau pengingkaran. Kaliamat dapat dibedakan dalam kategori
sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran semantis unsur-unsur kalimat. Setiap
bentuk kata, atau frasa, yang menjadi konstituen kalimat termasuk dalam
kategori kata atau frasa tertentu dan masing-masing mempunyai fungsi sintaksis
serta peran semantis tertentu pula.
4.
Fungsi
Sintaksis Unsur-Unsur Kalimat
Beberapa
fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat yaitu fungsi predikat, subjek, objek,
pelengkap, dan keterangan. Adapun penjelasanya yaitu, fungsi predikat merupakan
konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri, dan jika ada,
konstituen objek, pelengkap, atau keterangan wajib di sebelah kanan. Fungsi
subjek umumnya berupa nomina, frasa nominal, atau klausa. Adapun fungsi objek,
objek artinya konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang
berupa verba transitif pada kalimat aktif, objek ini berupa nomina atau frasa
nominal. Fungsi pelengkap mempunyai kesamaan dengan fungsi objek karena
terdapat kemiripan, tetapi terdapa berbedaan yaitu objek berwujud frasa nominal
(klausa), sedangkan pelengkap berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa
adjektival, frasa preposisional, atau klausa. Fungsi keterangan merupakan
fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya, yaitu
dapat berada di akhir , di awal, dan bisa diletakkan di tengah kalimat.
5.
Peran
Semantis Unsur Kalimat
Sebuah
kalimat mengandung subjek menyatakan pelaku, predikat yang menyatakan
perbuatan, objek yang menyatakan peserta sasaran perbuatan, dan pelengka yang
menyatakan peserta peruntung yang memperoleh manfaat dalam peristiwa tersebut.
Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dinyatakan oleh verba predikat.
Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba
predikat. Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa yang
dinyatakan predikat. Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang
memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan
perdikat. Selain itu kalimat terdapa peran semantis keterangan seperti
keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan alat, dan keterangan sumber.
6.
Jenis
Kalimat
Jenis
kalimat dapat dikelompokan berdasarkan jumlah klausanya, bentuk sintaksisnya,
kelengkapan unsurnya, dan susunan subjek dan predikatnya. Berdasarkan jumlah
klausanya kalimat terbagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat
tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat mejemuk
adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih.
Berdasarkan
bentuk sintaksisnya kalimat terbagi atas kalimat deklaratif, kalimat
introgatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Kaliamat deklaratif umumnya digunakan pembicara/penulis untuk
membuat pernyataan sehingga isinya merupakan berita bagi pendengar atau
pembaca. Jenis kalima imperatif yaitu suatu kalimat perintah atau suruhan dan
permintaan. Sedangkan kalimat introgatif yaitu kalimat yang akhiran dengan
tanda Tanya atau dinamakan kalimat Tanya dengan ditandai dengan adanya kata
Tanya yaitu, apa, siapa, berapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Adapun kalimat
eksklamatif yaitu kalimat yang ditandai dengan adanya tanda seru atau secara
formal ditandai oleh kata alangkah, betapa, atau bukan main pada kalimat
predikat adjektivalnya.
Selain itu terdapat jenis kalimat
taklengkap, yaitu kalimat yang tidak ada subjek dan predikatnya. Kalimat
taklengkap juga dinamakan dengan kalimat minor. Hal itu biasanya terjadi di
dalam wacana karena unsur yang tidak muncul itu sudah diketahui atau disebutkan
sebelumnya. Contoh kalimat taklengkap yaitu “kita merdeka atau kita mati”.
Kalimat inversi adalah kalimat yang
urutannya terbalik, umumnya mensyaratkan subjek yang takdefinif. Urutan
P-S adalah kalimat mensyaratkan pula
subjek yang takdefinif. Kalimat inversi di sini dapat dibedakan dari kalimat
permutasi. Kalimat mengharuskan urutan P-S, sedang permutasi hanyalah merupakan
salah satu gaya yang dapat dipilih dari urutan yang baku.
7.
Perluasan
Kalimat Tunggal
Dari
segi struktur, kehadiran unsur takwajib itu memperluas kalimat dan dari segi
makna takwajib itu membuat informasi yang terkandung dalam kalimat lebih
lengkap. Perluasan kalimat tunggal itu dapat dilakukan dengan penambahan
seperti unsur keterangan, unsur vokatif, dan konstruksi aposisi. Katerangan
dalam kalimat tunggal digunakan untuk member keterangan sebuah kalimat itu
seperti member keterangan waktu, tempat terjadinya sebuah kalimat maupun
alatnya yang digunakan. Dalam bahasa Indonesia keterangan terdiri dari Sembilan
keterangan yaitu, keterangan waktu, tempat, tujuan, penyerta, alat, pembanding
atau kemiripan, sebab, dan kesalingan.
Jenis-jenis keterangan di atas dapat
diurai sebagai berikut, keterangan waktu adalah keterangan yang member
informasi kapan terjadinya sebuah kejadian dalam suatu kalimat. Pada umumnya
keterang waktu diletakkan dibelakang kalimat, tetapi dapat pula diletakkan
dibagian tengah mapun di depan kalimat. Fingsi keterangan itu diisi berbagai
bentuk yaitu kata tunggal, frasa nominal, dan frasa preposisional. Keterangan
waktu yang berbentuk tunggal mencakupi kata seperti pernah, sering, selalau, kadang-kadang, biasanya, kemarin, sekarng,
besok, lusa, tadi, dan nanti.
Keterangan yang berbentuk frasa nominal dapat berupa pengulangan kata seperti pagi-pagi, malam-malam, siang-siang, dan sore-sore, atau macam gabungan seperti sebentar lagi, kemarin dulu, dan tidak lama
kemudian. Keterangan yang berbentuk preposisional yaitu di, dari, sampai, pada sesudah, sebelum,
ketika, sejak, buat, dan untuk,
setelah kata-kata ini di ikuti dengan kata keterangan frasa nominal seperti pukul, tanggal, tahun, minggu, zaman, hari,
bulan, masa, permulaan, akhir pertunjukkan, subuh, dan hari raya mapun Natal. Selain itu ada keterangan tempat, yaitu
keterangan yang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa atau keadaan yang
terjadi. Keterangan ini disi dengan frarasa preposisional yaitu ke, dari, sampai, dan pada atau kata yang mempunyai cirri
tempat yaitu di sini, di sana, di situ,
dari sana, dari sini, ke mana, dari situ, dan sebagainya. Adapun keterangan
tujuan adalah keterangan yang menyatakan arah, jurusan, atau maksud perbuatan
atau kejadian, kata yang digunakan yaitu demi,
bagi, guna, untuk dan buat.
Keterangan cara adalah keterangan yang menyatakan jalannya suatu peristiwa
berlangsung, menggunakan kata seperti seenaknya,
semaumu, secepatnya, dan sebaliknya. Keterangan
penyerta adalah keterangan yang menyatakan ada tidaknya orang yang menyertai
orang lain dalam melakukan suatu perbuatan. Keterangan alat adalah keterangan
yang dinyatakan ada tidaknya alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan.
Keterangan pembandingan (kemiripan) adalah keterangan yang dinyatakan kesertaan
atau kemiripan antara suatu kejadian, atau perbuatan dengan keadaan, kejadian,
atau perbuatan yang lain. Keterangan sebab adalah keterangan yang menyatakan
sebab atau alasan terjadinya suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan.
Keterangan kesalingan adalah keterangan yang menyatakan bahwa suatu perbuatan
dilakukan secara berbalas-balasan.
Adapun bentuk perluasan kalimat
tunggal nomina vokatif, yaitu konstituen tambahan dalam ujaran berupa nomina
atau frasa nomina yang menyatakan orang yang disapa. Cirri intonasi yang paling
lazim bagi unsur vokatif adalah intonasi naik. Vokatif awal sering juga
mempunyai intonasi turun-naik. Fungsi utama nomina vokatif adalah minta
perhatian orang yang disapa, terutama jika ada pendengar lain.
Kalimat tunggal dapat juga diperluas
dengan cara menambahkan unsur tertentu yang beraposisi dengan salah satu unsur
kalimat yaitu nomina. ”Presiden Indonesia adalah pertama adalah tokoh pendiri
gerakan nonblok” adalah jenis kontruksi aposisi yaitu aposisi penuh. Pada
umumnya frasa nominal yang terdiri atas gelar, pangkat, atau jabatan yang
diikuti nama diri tergolong aposisi mewatasi atau aposisi restriktif. Dan jika
kalimat berfungsi hanya sebagai penjelasan atau keterangan tambahan pada unsur
pertama, pernyataan ini dinamakan dengan aposis takmewatasi atau aposisi takrestriktif.
8.
Pengingkaran
Pengingkaran
(negasi) adalah proses atau konstruksi yang mengungkapkan pertentangan isi
makna suatu kalimat, dilakukan dengan penambahan kata ingkar pada kalimat.
Adapun pengingkaran kalimat dilakukan dengan cara penambahan kata ingkar yang
sesuai dengan frasa predikatnya, misalnya kata tidak pada kalimat “tuti tidak akan datang nanti”. Salah satu
jenis pengingkaran unsur kalimat adalah pengingkaran pengontrasan. Kata ingkar
yang digunakan untuk pengingkaran bagian
kalimat ini adalah bukan, bukan …. melainkan
…, tidak … tetapi …. Contohnya seperti “dia
tiba bukan kemarin melainkan tadi pagi”.
BAB X Hubungan Antarklausa
1.
Pendahuluan
Dalam
penjelasan ini menyangkut berbagai hubungan yang terdapat antara satu klausa
dengan klausa yang lain di dalam kalimat setara atau bertingkat. Hubungan
antarklausa yang disebut di atas dapat ditandai dengan kehadiran konjungor (kata
hubung) pada awal salah satu klausa tersebut. Hubungan antarklausa dapat
dilihat dengan adanya pelesapan bagian dari klausa, khususnya subjek.
2.
Hubungan
Koordinasi dan Subordinasi
Hubungan
antar klausa ditandai dengan kehadiran konjungtor (kata hubung) pada awal salah
satu klausa tersebut. Contohnya: pardi tinggal di daerah kumuh dan kakaknya
tidak bisa mambantunya. Pada kalimat ini, klausa Pardi tinggal di daerah kumuh
di hubungkan dengan klausa kakaknya tidak bisa membantunya dengan mempergunakan
konjungtor. Hubungan antara klausa juga dapat dilihat dengan adanya pelepasan
bagian dari klausa khususnya subjek. Contoh: Engkau harus menjadi orang pintar,
harus tetap beribadat supaya mendapat rejeki yang bersih dan halal.kalimat ini
terdiri dari tiga klausa, yaitu (I) engkau harus menjadi orang pintar. (II)
(engkau) harus tetap beribadat, dan (III) (engkau) mendapatkan rejeki yang
bersih dan halal. Subjek ketiga klusa itu sama yaitu engkau. Engkau di hubungkan konjuktor supaya.
Ada
dua cara untuk menghubungkan klausa dalam sebuah kalimat majemuk yaitu dengan
koordinasi dan subordinasi. Hubungan koordinasi menggabungkan dua klausa atau
lebih yang masing masing mempunyai kedudukan yang setara dalaam struktur
konstituen kalimat. Hasilnya adalah satuan yang sama kedudukannya. Secara
diagramatik bahwa konjungtor tidak
termasuk dalm klausa mana pun,tetapi merupakn konstituen tersendiri. Hubungan
subordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih sehingga terbukti kalimat
majemuk yang salah satu klausa menjadi bagian dari klausa yang lain. Jadi
klausa klausa dalam kalimat majemuk yang disusun dengan cara subordinasi ini
tidak mempunyai kedudukan yang setara. Dengan kata lain, dalam kalimat majemukyang
disusun secara subordinatif ,terdapat klausa yang berfungsi sebagai konstituen
klausa yang lain.
3.
Ciri-Ciri
Hubungan Koordinasi dan Subordinasi
Ciri-ciri
hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri sintaksik hubungan koordinasi yaitu hubungan koordinasi menggabungkan dua
klausa atau lebih ,salah satu klausa yang dihubungkan oleh konjungtor koordinatif
dapat berupa kalimat majemuk, pada umumnya posisi klausa yang diawali oleh
coordinator dan,atau, dan tetapi tidak dapat diubah.apabila
posisinya diubah,perubahan itu mengakibatkaan munculnya kalimat majemuk setara
yang tidak berterima, urutan klausa yang tetap dalam hubungan koordinasi yang
telah dibicarakan erhubungan erat dengan pronominalisasi. Acuan kataforis (
pronominal yang mendahului nomina yang di acunya) tidak dproleh dalam hubungan
koordinatif, dan sebuah koordinator dapat didahului oleh koordinator lain untuk
memperjelas atau mempertegas antara kedua klausa yang di gabungkan. Sedangkan ciri-ciri
sintaksis hubungan subordinasi yaitu subordinasi menghubungkan dua klausa dan
salah satu diantaranya merupakan bagian dari klausa yang lain. Salah satu
klausa yang dihubungkan oleh konjungtor subordinatif dapat pula berupa kalimat
majemuk, pada umumnya posisi klausa yang
diawaali oleh subordinator dapat berubah, dan hubungan subordinatif
memungkinkan adanya acuan kataforis. Adapun ciri-ciri semantis hubungan koordinasi
yaitu ciri semantis dalam hubungan koordinasi ditentukan oleh makna dari macam
koordinator yang kita pakai dan makna lesikal ataupun gramatikal dari kata dan
klausa yang kita bentuk. Sedangkan ciri-ciri semantis hubungan subordinasi
Yaitu dalam hubungan subordinasi, klausa yang mengikuti subordinator memuat
informasi atau pernyataan yang di anggap sekunder oleh pemakai bahasa,
sedangkan klausa yang lain memuat pesan utama kalimat tersebut.
4.
Hubungan
Semantis Antarklausa dalam Kalimat Majemuk Setara
Antarklausa
dalam kalimat majemuk setara mempunyai beberapa hubungan semantis yaitu
hubungan penjumlahan, hubungan perlawanan,
dan hubungan pemilihan. Hubungan penjumlahan adalah hubungan yang
menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa, atau proses.
Hubungan penjumlahan dapat menyatakan sebab-akibat, urutan waktu, pertentangan,
dan perluasan. Sedangkan hubungan perlwanan adalah hubungan yang menyatakan
bahwa apa yang dinyatakan dalam klausa pertama berlawanan, atau tidak sama, dengan
apa yang dinyatakan dalam klausa kedua. Hubungan perlawanan ini dapat
menyatakan penguatan, implikasi, dan perluasan. Adapun hubungan pemilihan
adalah hubungan yang menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan atau lebih
yang dinyatakan oleh klausa-klausa yang dihubungkan.
5.
Hubungan
Semantis Antarklausa dalam Kalimat Majemuk Bertingkat
Hubungan
semantis antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat antara lain hubungan
waktu, hubungan syarat, hubungan pengandaian, hubungan tujuan, hubungan
pembandingan, hubungan penyebab, hubungan hasil, hubungan cara, hubungan alat,
hubungan komplementasi, hubungan atributif, hubungan perbandingan, dan hubungan
optatif. Hubungan waktu adalah klausa subordinatif yang menyatakan waktu
terjadinya peristiwa keadaan yang dinyatakan dalam klausa utama. Hubungan pengandaian yang terdapat dalam kalimat majemuk yang klausa subordinatifnya menyatakan andaian
terlaksananya apa yang dinyatakan klausa utama. Hubungan tujuan yang terdapat
dalam kalimat yang klausa subordinatif menyatakan suatu tujuan atau harapan
dari apa yang disebut dalam klausa utama. Hubungan konsesif terdapat dalam
kalimat yang klausa subordinatifnya mengandung pernyataan yang tidak akan
mengubah apa yang dinyatakan dalam klausa utama. Hubungan perbandingan terdapa
dalam kalimat majemuk yang klausa subordinatifnya menyatakan perbandingan,
kemiripan, atau preferensi antara apa yang dinyatakan pada klausa utama dengan
dinyatakan pada klausa subordinatif itu. Hubungan penyebab terdapat dalam
kalimat yang klausa subordinatifnya menyatakan sebab atau alasan terjadinya apa
yang dinyatakan dalam klausa utama. Hubungan hasil
Bab XI Wacana
1.
Pendahuluan
Pada
bab–bab yang terdahulu,kita telah melihat bahasa berdasarkan tata bunyi
(fonologi),b entuk kata (morfologi), struktur kalimaat (sintaksis), bahkan
berdasarkan kandungan maknanya (semantik)
sehingga seolah-olah mengangap bahasa merupakan suatu yang dapat kita
pisah-pisahkan berdasarkan komponennya
merupakan satu kesatuanyang saling berhubungan di dalaam konteks pemakaiannya.dalam
kenyataannya bahasa kita gunakan sebagai alat komunikasi . Dengan demikian,
bahasa tidak lagi dipandang sebagai alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk
bunyi, frasa ataupun kalimatnya secara terpisah-pisah.
2.
Konteks
Wacana
Konteks
wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar,
waktu, tempat, adegan, topik, peritiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.tiga
unsur dari wacana tersebut perlu mendapat penjelasa. Bentuk amanat berupa
surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam
bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat
daerah, atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat terwujud
pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat, dan televisi.
3.
Kohesi
dan Koherensi
Kohesi
adalah keserasian hubungan antar unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam
wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren, serta kepaduan
bentuk yang ditandai keterkaitan dari kalimat satu dengan kalimat yang lain
dalam suatu kalimat. Kohesi merupakan hubungan berkaitan antarproposisi yang
dinyatakan secara ekspilisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam
kalimat-kalimat yang membentuk wacana atau kepaduan makna dalam wacana.
Sedangkan koherensi juga merupakan perkaitan antarproposisi, tetapi kaitan
tersebut tidak secara ekspilit atau hanya dilihat pada kalimat-kalimat yang
mengungkapkannya. Kohesi dapat pula dilihat
berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur kalimat itu
dihubungkan melalui penggunaan sebuah konjungtor.
4.
Topik,
Tema, dan Judul
Sebuah
wacana yang baik pasti mempunyai topik, topik adalah proposisi yang berwujud
frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Tema adalah ide
pokok suatu wacana, biasanya tema tidak jauh berbeda dengan judul. Sedangkan
judul adalah permulaan dalam suatu wacana yang memberikan informasi tentang apa
wacana tersebut, sehingga orang yang membacanya tidak bertanya-tanya tentang
apa wacana itu ditulis oleh penulis. Topik, tema, dan judul adalah hal yang
penting dalam sebuah wacana, karena dari ketiga hal tersebut dapat memberi
informasi tentang hal yang dibahas dalam wacana tersebut tanpa terlebih dahulu
membacanya.
5.
Referensi
dan Inferensi Kewacanaan
Ada
beberapa unsur yang terdapat dalam wacana seperti pelaku perbuatan, penderita,
perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan
tempat perbuatan. Unsur itu sering kali harus diulang-ulang untuk mengacu
kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh sebab itu, pemilihan kata serta
penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga
coheren. Berbeda dengan pengacuan, Inferensi adalah proses yang harus dilakukan
oleh pendengar atau pembaca untuk memeahami makna yang secara harfiah tidak
terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
6.
Skemata:
Representasi Pengetahuan
Skemata
adalah teori tentang pengetahuan, bagaimana pengetahuan disajikan, dan tentang
bagaimana sajian itu memberikan kemudahan dalam memahami pengetahuan itu. Suatu
skema merupakan struktur data yang mewakili konsep-konsep generik yang
tersimpan dalam ingatan. Skemata juga berfungsi sebagai pentas struktur intern
suatu skema pada dasarnya sesuai dengan naskah suatu pentas. Pentas kecil itu
menyerupai skema yang mendasari pemahaman tentang konsep “membeli” atau juga
“menjual”. Terdapat variable-variabel yang sesuai dengan isi pementasan yaitu
pembeli, penjual, uang, dagangan, dan tawar menawar. Adapun struktur
pengendalian skemata yaitu bagaimana memperoleh kofigurasi skemata yang memadai
dan bagaimana menilai kecocokan atau kesesuaian. Suatu peristiwa terjadi pada
panca indra. Terjadinya persitiwa itu secara otomatis akan mengaktifkan skmata
tertentu. Skemata bawahan itu, pada gilirannya, akan mengaktifkan berdasarkan
data skemata atasan tertentu, yang merangkum skema tersebut sebagai bagiannya. Skemata
sebagai sarana pemahan wacana ialah proses menemukan konfigurasi schemata yang
menawarkan uraian yang memadai tentang bacaan yang bersangkutan. Dalam
mempelajari wacana kita berkenalan dengan berbagai model mental sebagai sarana
memahami bacaan.
C. KOMENTAR PENULIS TENTANG LAPORAN
BUKU
Pada
bagian ini di paparkan mengenai isi buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2010)
dengan judul “Tata Bahasa Baku Bahasa Indoneisa” dan memandingkan dengan
beberapa isi buku lainnya. Buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) membahas
tata bahasa baku. Buku ini berisi sebelas bab dan dilengkapi dengan beberapa
subbab. Bab 1 membahas tentang “Pendahuluan” yan membahas mengenai konsep dasar
bahasa Indonesia seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam bahasa, cirri
situasi diglosia, pembakuan bahasa, bahasa baku, fungsi bahasa baku, bahasa
yang baik dan benar, dan hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan
bahasa asing. Bab II yang dibahas “Berbagai Pengertian Dasar” yang membahas
mengenai beberapa pengertian di pelbagai bagian yang berisi mengenai tata
bunyi, dan pembentukan kata, kemudian mejelaskan mengenai pengertian mengenai
kalimat dan pengertian mengenai wacana. Bab III yang dibahas mengenai “Bunyi
Bahasa dan Tata Bunyi” yang membahas
mengenai pengertian tentang bunyi bahasa, jenis bunyi bahasa dan tata bunyi
bahasa Indonesia. Bab IV yang dibahas mengenai “ Verba” yang membahas mengenai
batasan dan ciri verba, verba dari segi perilaku semantisnya, verba dari segi
perilaku sintaktisnya, verba dari segi bentuknya, morfologi dan semantik verba
transitif, morfologi dan semantik verba taktransitif, verba majemuk, hubungan
ketransitifan dengan afiksasi, frasa verbal dan fungsinya, daftar contoh dasar
verba dan verba. Bab V yang dibahas mengenai “Adjektiva” yang membahas mengenai
batasan dan ciri adjektiva, adjektiva dari segi perilaku semantisnya, adjektiva
dari segi perilaku sintaktisnya, pertarafan adjektiva, adjektiva dari segi
bentuknya, dan adjektiva dan kelas kata lain. Bab VI yang dibahas mengenai
“Adverbia” yang membahas mengenai batasan dan ciri adverbia, adverbia dari segi
bentuknya, adverbia dari segi perilaku sintaktisnya, adverbia dari segi
perilaku semantisnya, adverbia konjungtif, adverbia pembuka wacana, adverbia
dan kelas kata lain, dan daftar adverbia. Bab VII yang dibahas mengenai “
Nomina, pronominal, dan Numeralia” yang membahas mengenai nomina, pronomina, dan numeralia termasuk
bagian-bagiannya. bab VIII yang dibahas mengenenai “Kata Tugas” yang membahas
mengenai batasan dan ciri kata tugas, klasifikasi kata tugas, interjeksi,
artikula, dan partikel penegas. Bab IX yang dibahas mengenai “Kalimat” yang
membahas mengenai batasan dan ciri kalimat, bagian-bagian kalimat, struktur
kalimat dasar, fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat, peran semantik unsur
kalimat, jenis kalimat, perluasan kalimat tunggal, dan pengingkaran. Bab X yang
dibahas mengenai “Hubungan Antarklausa” yang membahas mengenai pendahuluan,
hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri hubungan koordinasi, hubungan
semantis antarklausa dalam kalimat majemuk setara, hubungan semantis
antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat, dan pelesapan. Bab XI yang
dibahas mengenai “Wacana” yang mempunyai sub-subbab seperti, pendahuluan,
konteks wacana, kohesi dan koherensi, topik, tema, dan judul, referensi dan
inferensi kewacanaan, dan skemata: representasi pengetahuan.
Selanjutnya,
akan dibandingkan isi buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dengan sebuah
isi buku yang bertopik sama. Sebuah isi buku yang dimaksud tersebut adalah buku
yang ditulis Muslich, Masnur. 2010. Tata
Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta
Timur: PT Bumi Aksara. Yang bandingannya yaitu, Buku yang ditulis Masnur
Muslich (2010) membahas tata bentuk bahasa indonesia secara mendasar. Namun ada
beberapa perbedaan pada buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003). Hasan Alwi,
dkk (2003) memberikan pemahaman konsep secara umum mengenai tata bahasa baku
bahasa indonesia. Selain itu juga, pembahasannya dilaukan secara terperinci,
dan bahkan disertai dengan contoh yang lengkap. Dengan adanya contoh-contoh
yang dibuat memberikan penekanan bahwa konsep yang dinyatakan benar-benar
diterima oleh pembaca. Kemudian buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dapat
memberikan pemahaman yang konsep terhadap seseorang yang ingin melakukan
penelaahan secara mendalam mengenai tata bahasa baku, dan bagaimana cara
menerapkan atau menggunakan bahasa baku, serta bagaiamana menguji kita untuk
menulis tulisan yang berkategori sudah baku.
Selanjutnya,
lebih jelas lagi kita paparkan perbandingan antara buku Hasan Alwi, dkk (2003)
dengan buku Masnur Muslich (2010) yaitu
Buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) membahas mengenai tata bentuk bahasa
indonesia secara mendasar. Namun ada beberapa perbedaan pada buku Hasan Alwi,
dkk (2003). Hasan Alwi (2003) memberikan pemahaman konsep secara umum mengenai
tata bahasa baku bahasa Indonesia. Selain itu juga, pembahasannya dilakukan
secara terperinci, lengkap, dan bahkan diserta dengan contoh-contoh disetiap
pembahasannya yang dapat memberikan pemahaman lebih kepada pembaca. Dengan
adanya contoh-contoh yang diberikan maka pembaca tidak bertanya-tanya bagaimana
bentuknya. Kemudian buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dapat memberikan
pemahaman yang konsep terhadap seseorang yang ingin melakukan penelaahan secara
mendalam mengenai tata bahasa baku bahasa indonesia, dan bagaimana cara menerapkan
dalam menulis.
Hal
ini berbeda dengan buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) yang hanya membahas
dan membicarakan tata bentuk bahasa indonesia secara sempit. Pada buku ini
tidak dibahas apakah konsep tata bentuk bahasa indonesia. Secara umum buku yang
ditulis Masnur Muslich (2010) berisi dua belas bab dengan disertainya dengan
berbagai subbab, yaitu Bab 1 membahas tentang mengenal bentuk linguistis berisi
tentang konsep dasar bentuk linguistik, morfem, morf, alomorf, kata, prosedur
dan prinsip pengenalan morfem, wujud morfem, dan unsur. Pada Bab 2 membahas
tentang “Jenis Morfem Bahasa Indonesia”, yaitu membahas mengenai jenis morfem berdasarkan
kemampuan berdistribusi, produktivitasnya, relasi antarunsurnya, sumbernya,
jumlah fonem yang menjadi unsurnya, keterbukaannya bergabung dengan morfem
lain, dan berdasarkan bermakna tidaknya suatu morfem.
Pada Bab 3 menjelaskan tentang “Distribusi
Morfem Bahasa Indonesia”, yaitu membahas distribusi morfem imbuhan, ulang, dan
dalam bentuk majemuk. Pada Bab 4 Bab ini menjelaskan tentang “Konsep Dasar
Proses Morfologis”, yaitu membahas tentang pengertian morfologis, ciri suatu
kata yang mengalami proses morfologis, macam proses morfologis, dan pembentukan
kata di luar proses morfologis. Pada Bab 5 membahas mengenai “Proses Pembubuhan
Afiks” yang di bahas mengenai pengertian proses pembubuhan afiks, pengertian
afiks, dan perubahan fonem akibat proses pembubuhan afiks. Pada Bab 6
menjelaskan mengenai “Proses Pengulangan (Reduplikasi)”, yang dijelaskan adalah
pengertian proses pengulangan, ciri bentuk dasar kata ulang, dan jenis
pengulangan.
Pada Bab 7 yang dibahas mengenai
“Proses Pemajemukan (Komposisi)”, yaitu membahas mengenai pengertian proses
pemajemukan, ciri kata yang mengalami proses pemajemukan, dan jenis pemajemukan
dalam bahasa Indonesia. Pada Bab 8 yang dijelaskan mengenai “Arti Morfem
Imbuhan, Morfem Ulang, dan Morfem Konstruksi Majemuk”, menjelaskan mengenai arti
morfem imbuhan, arti morfem ulang, dan arti morfem konstruksi majemuk. Pada Bab
9 yang dijelaskan tentang “Fungsi Morfem Imbuhan, Morfem Ulang, dan Morfem
Konstruksi Majemuk” yang menjelaskan fungsi masing-masing dari ketiganya.
Pada
Bab 10 yang dibahas mengenai “Perubahan Bentuk Kata” yang membahas mengenai
anologi, adaptasi, kontaminasi, hiperkorek, varian, asimilasi, disimilasi,
adisi, reduksi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis, haplologi,
dan kontraksi. Pada Bab 11 yang dijelaskan tentang “Penjenisan Kata” yang
menjelaskan mengenai berbagai versi tentang jenis kata dan pengujian jenis
kata. Pada Bab 12 yang dibahas mengenai “Problema Morfologis dalam Bahasa
Indonesia” yang membahas mengenai problema akibat bentukan baru, problema akibat
kontaminasi, problema akibat unsur serapan, problema akibat analogi, problema
akibat perlakuan kluster, problema akibat proses morfologis unsur serapan, dan
problema akibat perlakuan bentuk majemuk.
D.
PENUTUP
Pada bagian ini dikemukakan mengenai: (1) pandangan
penulis tentang buku yang dilaporkan, serta (2) manfaat dan kritik dari hasil
buku yang dilaporkan. Lebih jelas berikut akan dikemukakan hal-hal yang
dimaksud.
1.
Pandangan
Penulis tentang Buku yang Dilaporkan
Penulis
memandang mengenai buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) merupakan buku yang dapat digunakan
dalam melakukan pemahaman konsep mengenai tata bahasa baku bahasa Indonesia,
serta bagaimana cara membuat/menulis kata, kalimat maupun wacana sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia. Buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) memberikan
pengetahun pengantar atau pendahuluan bagi pembaca untuk melakukan pemahaman
awal mengenai tata bahasa baku bahasa Indonesia. Oleh sebab itu sebelum kita
mengetahui tata bahasa baku tersebut, kita telah mengetahui bagaimana konsep
dasar bahasa Indonesia itu sendiri, seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam
bahasa apa itu bahasa baku dan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, buku ini
memudahkan kita untuk memahami informasi karena pembahasan dijelaskan dengan ciri
dari bab ke sub-subbabnya. Setelah mempelajari buku ini, kita akan tahu
bagaimana cara berbahasa yang sesuai kaidah, unsur, dan struktur dalam bahasa
Indonesia yang sebenarnya. Pembahasan disajikan dengan lengkap, seperti
pemahaman melalui contoh. Oleh sebab itu kita bisa lebih paham apa yang
dijelaskannya.
Selain
itu, buku yang dikemukan oleh Hasan Alwi, dkk (2003) mempunyai beberapa
kelemahan yaitu tidak disebutkannya tentang apa sub-sub bab tersebut, apakah
itu cirinya, bentuknya, jenis atau macam-macamnya. Oleh karena itu pembaca
kesulitan mengambil informasi yang sebenarnya. Selain itu buku ini menjelaskan
pembahasan terlalu banyak sub-sub dalam sub-subbab, sehingga sulit untuk
meringkas atau meresensi buku ini.
Berbeda dengan buku yang ditulis Masnur
Muslich (2010) dengan judul “tata bentuk
bahasa Indonesia: ke arah tata bahasa deskriptif” menjelaskan pembahasan
secara terpisah tidak memakai sub-sub bab terlalu banyak oleh sebab itu pembaca
mudah untuk memahami pembahasan yang dipaparkannya. Menurut saya lebih mudah
meresensi buku Masnur Muslich (2010) ini. Dan buku ini dilengkapi dengan bahan
diskusi, sehingga kita mengetahui lebih dalam yang dijelaskannya.
2.
Manfaat
dan Kritik
Berdasarkan
manfaatnya, buku yang ditulis Hasan Alwi,
dkk (2003) merupakan salah satu buku yang dapat dijadikan sebagai referensi
terhadap penelaahan tata bahasa baku bahasa Indonesia dan bagaimana mempelajari
serta mendalami bagaimana pembahasan ini. Adanya buku ini memberikan pemahaman kepada pembaca bagaimana bentuk
atau tata bahasa baku bahasa Indonesia tersebut, sehingga pembaca dapat
menerapkan memalui bahasa sehari-hari ataupun dalam kegiatan menulis. Setelah
membaca dan mempelajari buku ini kita mengetahui pembahasan yang dijelaskan
seperti, apa itu verba, adjektiva, nomina, kalimat, wacana, dan lainya. Buku
yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) memberikan pengetahuan pengantar maupun
penjelasan lanjut bagi pembaca untuk melakukan penelaahan terhadap tata bahasa baku yang dijelaskan pada buku
ini. Buku ini menuntut kita untuk mengetahui bagaimana cara membuat kata,
kalimat, atau wacana dengan baik dan benar artinya sesuai dengan struktur dan
bentuk sesuai dengan kaidah dan unsur dalam bahasa Indonesia. Penjelasan dalam
buku ini juga disertai dengan contoh sehingga para pembaca bisa mengerti maksud
dari apa yang dijelaskan. Jika ditinjau dari penggunaan bahasa buku sudah
dikategorikan sudah memenuhi unsur bahasa Indonesia.
Selain
itu, buku ini dapat bermanfaat secara praktis dan teoretis. Berdasarkan manfaat praktisnya, buku ini
diharapkan dapat memberikan masukan, pertimbangan, dan pemahaman dalam memahami
tata bahasa baku bahasa indonesia dan bagaiamana melakukan
pengaplikasian pengetahuan dan menguji sebuah pengetahuan menjadi suatu ilmu. Adapun manfaat secara teoretis buku ini
mampu menimbulkan konsep tentang tata
bahasa baku secara umum, memperkaya teori-teori pembaca mengenai bahasa baku
dan bagaimana menguji bagaimana seseorang dalam membuat kata, kalimat dan
wacana secara baik dan benar. Selain hal tersebut, buku ini jika ditinjau dari cara penyusunan
sub-sub babnya sulit dipahami karena hal yang dibahas tidak ditentukan apakah
sub-subbab tersebut adalah jenis, macam, bentuk ataupun ciri-cirinya.
E.
DAFTAR
RUJUKAN
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Ke Arah
Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta Timur: PT Bumi Aksara