Minggu, 28 Desember 2014

conto resensi buku


A.    PENDAHULUAN
Pada bagain ini dipaparkan menganai: (1) identitas buku, dan (2) garis besar isi buku. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pengetahuan awal menganai hal-hal menganai buku yang akan dilaporkan. Lebih jelas, berikut akan dipaparkan mengenai hal-hal yang akan dikemuakan:
1.      Identitas Buku
Judul Buku                              : Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
Pengarang                               : Hasan Alwi, Soejono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono.
Penerbit                                   : Balai Pustaka
ISBN                                       : 979-407-177-3
Tahun Terbit                            : 2003
Cetakan                                   : Cetakkan Keenam
Edisi                                        : Ketiga
Tebal buku                              : 23 Cm
Kota Penerbit                          : Jakarta
Lembaga Penerbit                   : Departemen Pendidikan Nasional
Tebal Buku                              : 468 Halaman
Warna Sampul                         : Biru
2.      Garis Besar Isi Buku   :
Secara umum buku ini membahas bahasa baku bahasa Indonesia yang menjelas beberapa bab yaitu: Bab 1 membahas tentang “Pendahuluan” yan membahas mengenai konsep dasar bahasa Indonesia seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam bahasa, cirri situasi diglosia, pembakuan bahasa, bahasa baku, fungsi bahasa baku, bahasa yang baik dan benar, dan hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Bab II yang dibahas “Berbagai Pengertian Dasar” terdiri beberapa subbab, yakni beberapa pengertian di pelbagai bagian yang berisi mengenai tata bunyi, dan pembentukan kata, kemudian mejelaskan mengenai pengertian mengenai kalimat dan pengertian mengenai wacana. Bab III yang dibahas mengenai “Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi” yang  membahas mengenai pengertian tentang bunyi bahasa, jenis bunyi bahasa dan tata bunyi bahasa Indonesia. Bab IV yang dibahas mengenai “ Verba” yang membahas mengenai batasan dan ciri verba, verba dari segi perilaku semantisnya, verba dari segi perilaku sintaktisnya, verba dari segi bentuknya, morfologi dan semantik verba transitif, morfologi dan semantik verba taktransitif, verba majemuk, hubungan ketransitifan dengan afiksasi, frasa verbal dan fungsinya, daftar contoh dasar verba dan verba. Bab V yang dibahas mengenai “Adjektiva” yang membahas mengenai batasan dan ciri adjektiva, adjektiva dari segi perilaku semantisnya, adjektiva dari segi perilaku sintaktisnya, pertarafan adjektiva, adjektiva dari segi bentuknya, dan adjektiva dan kelas kata lain. Bab VI yang dibahas mengenai “Adverbia” yang membahas mengenai batasan dan ciri adverbia, adverbia dari segi bentuknya, adverbia dari segi perilaku sintaktisnya, adverbia dari segi perilaku semantisnya, adverbia konjungtif, adverbia pembuka wacana, adverbia dan kelas kata lain, dan daftar adverbia. Bab VII yang dibahas mengenai “ Nomina, pronominal, dan Numeralia” yang membahas mengenai  nomina, pronomina, dan numeralia termasuk bagian-bagiannya. bab VIII yang dibahas mengenenai “Kata Tugas” yang membahas mengenai batasan dan ciri kata tugas, klasifikasi kata tugas, interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Bab IX yang dibahas mengenai “Kalimat” yang membahas mengenai batasan dan ciri kalimat, bagian-bagian kalimat, struktur kalimat dasar, fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat, peran semantik unsur kalimat, jenis kalimat, perluasan kalimat tunggal, dan pengingkaran. Bab X yang dibahas mengenai “Hubungan Antarklausa” yang membahas mengenai pendahuluan, hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri hubungan koordinasi, hubungan semantis antarklausa dalam kalimat majemuk setara, hubungan semantis antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat, dan pelesapan. Baab XI yang dibahas mengenai “Wacana” yang mempunyai sub-sub bab seperti, pendahuluan, konteks wacana, kohesi dan koherensi, topik, tema, dan judul, referensi dan inferensi kewacanaan, dan skemata: representasi pengetahuan.
B.     LAPORAN BAGIAN BUKU
Pada bagian ini disampaikan intisari buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dengan judul “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia”. Hal-hal yang disampaikan disesuaikan dengan bab dan subbab yang ada dalam buku. Lebih jelas, berikut akan dipaparkan mengenai beberapa hal tersebut.
Bab I Pendahuluan
1.      Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa Negara republik Indonesia sebagaimana tercantum pada ikrar ketiga sumpah pemuda 1928. Dengan hal ini masih banyak alasan-alasan mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang termuka dari beratus-ratus bahasa di nusantara ini. Bahasa Indonesia juga bahasa yang penting, hal ini didasari beberapa patokan seperti jumlah penutur, luas penebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
2.      Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia mempunyai ragam bahasa, ragam bahasa Indonesia ini timbul karena dipengaruhi oleh faktor seperti faktor sejarah dan perkembangan masyarakat. Sebutan ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Ragam bahasa juga bermacam-macam seperti ragam menurut jenis pemakaiannya yaitu ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan, ragam menurut sarananya, dan ragam yang mengalami pencampuran. Ragam bahasa dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan yaitu orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasinya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.
            Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan, atau ujaran, dan ragam tulisan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara raga lisan dan ragam tulisan, yaitu berhubungan dengan suasana peristiwanya dan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran misalnya, tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Ragam lisan dan tulisan masih mengenal kendala atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih mudah dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain.
            Ragam bahasa juga mengalami gangguan pencampuran atau interferensi, yaitu dengan ditandai dengan pemasukan unsur bahasa daerah nusantara atau bahasa asing, misalnya bahasa belanda dan inggris, kedalam bahasa Indonesia mengisi kekosongan atau memperkaya kesinoniman dalam kosakata atau bangun kalimat, maka gejala itu dianggap wajar. Tetapi, kalau unsur bahasa yang bersangkutan itu mengganggu keefektifan penyampaian informasi kita, maka ragam bahasa yang dicampuri unsur masukan itu hendaknya kita hindari.
3.      Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat dilihat dalam masyarakat, jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin memiliki subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana perpustakaan dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakat bahasa seperti halnya dengan bahasa melayu untuk Indonesia dan Malaysia, hal ini juga disebut dengan ragam tinggi. Ragam pokok kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek, hal ini disebut juga dengan ragam rendah. Ragam yang rendah yang tidak mengenal kodifikasi itu menunjukkan perkembangan kearah keanekaan ejaan, variasi yang luas di dalam lafal, tata bahasa, dan kosa kata.
4.      Pembakuan Bahasa
Ada anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau, perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu tidak monosentris lagi. Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Secara tentatif dapat dikemukan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu norma yang dikodifikasi dalam buku bahasa sekolah yang diajarkan kepada siswanya dan norma yang berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Kesimpulam yang dapat diambil di antara kedua pasang norma itu dapat dicontohkan dengan bentuk pengerusak.
5.      Bahasa Baku
Dalam bahasa Indonesia mempunyai bahasa yang baku, bahasa baku ini ditandai dengan adanya ciri-ciri yaitu memiliki sifat kemantapan dinamis, yaitu berupa kaidah dan aturan tetap, dan sifat kecendikiaaan-nya yang wujudnya dalam kalimat, paragraf dan satuan bahasa lain yang besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran, logis, dan masuk akal. Proses pencedikiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Buku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses  pembakuan sampai teraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa, inilah ciri lain bahasa baku.
6.      Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku ini mempunyai beberapa fungsi yaitu pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa kewibawaan, dan sebagai kerangka acuan. Fungsi pemersatu artinya bahasa baku mempersatukan mereka menjadi masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa lain, oleh sebab itu bahasa baku memperkuat perasaan keperibadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradapan lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Adapun fungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah yang jelas, norma maupun kaidah menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya pemaikan bahasa orang, seorang atau golongan.
7.      Bahasa yang Baik dan Benar
Dalam bahasa Indonesia ada cara berbahasa yang baik dan benar, bahasa yang baik dan benar ini memberi pengertian bahwa bahasa yang komunikatif atau bahasa yang mudah dipahami dan benar strukturnya sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
8.      Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
            Bahasa Indonesia juga mempunyai hubungan dengan bahasa daerah maupun bahasa asing, sebagian masyarkat Indonesia ada yang benar-benar berbahasa Indonesia utuh tetapi ada juga yang menggunakan bahasa daerah seperti bahasa jawa, papua, sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dan sebagian lagi ada masyarakat berbahasa asing seperti inggris, arab, cina, jepang, dan belanda. Dari beberapa golongan bahasa itu masing-masing menjalankan fungsi masyarakat yang khusus seperti fungsi bahasa resmi pada taraf Negara atau daerah, fungsi bahasa perhubungan luas, fungsi bahasa pendidikan formal, fungsi bahasa kesenian, dan fungsi bahasa keilmuan dan keteknologian.
Bab II Beberapa Pengertian Dasar
1.      Pendahuluan
Bahasa indonesia mempunyai konsep dan istilah yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dan yang umum dipakai oleh para ahli di bidang bahasa indonesia. Konsep dan istilah itu biasanya terasa asing bagi mereka yang ada diluar bidang itu. Karena pengertian dan istilah tertentu marupakan bagian integral suatu ilmu, pemakaiannya paling tidak untuk sebagiannya tidak dapat terhindari.
2.      Beberapa Pengertian Di Pelbagai Bagian
Dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia mempunyai beberapa pengerian dasar seperti beberapa pengertian di pelbagai bagian, beberapa pengertian mengenai kalimat, dan beberapa pengertian mengenai wacana. Beberapa pengertian di pelbagai bagian terdapat dua bagian yaitu pengertian tata bunyi dan pengertian pembentukan kata. Tata bunyi mempunyai beberapa pengertian dan istilah secara umum berkenaan tentang fonem, alofon, grafem, gugus, diftong, dan fonotaktik. Fonem adalah satuan bahasa terkecil yang dapat membedakan bentuk dan makna kata (misalnya huruf). Alofon adalah variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti kata. Grafem adalah pembahasan yang membahas tentang huruf dan ditulis antara dua kurung sudut (<…>) (misalnya kata sore mempunya grafem <e>). Gugus adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam suku kata yang sama (misalnya kata klinik, gugusnya adalah kl). Diftong adalah gabungan dua huruf vokal atau lebih dalam satu suku kata yang sama (misalnya kata daerah, diftongnya adalah ea). Fonotaktik adalah kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam suatu morfem (misalnya fonotaktik rs dari kata bersih). Pembentukan mempunyai beberapa pengertian dan istilah secara umum berkenaan tentang morfem, alomorf, kata dasar, analogi, afiks, prefix, infiks, konfiks, afiks homofon, verba transitif, verba taktransitif dan keanggotaan ganda.


3.      Beberapa Pengertian Mengenai Kalimat
Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasar kategori sintaktis, fungsi sintaktis, dan peran semantisnya. Kategori sintaktis juga disebut dengan kategori atau kelas kata. Dalam bahasa Indonesia memiliki kategori sintaktis utama yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, adverbia atau kata keterangan. Fungsi sintaktis artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaktis utama bahasa Indonesia adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
4.      Beberapa Pengertian Mengenai Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Dalam wacana terdapat istilah kohesi, koherensi, deiksis, anafora, kata fora, pengacuan atau referensi, konstruksi endosentrik dan eksosentrik. Kohesi merupakan hubungan berkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara ekspilisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Sedangkan koherensi juga merupakan perkaitan antarproposisi, tetapi kaitan tersebut tidak secara ekspilit atau hanya dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya. Kohesi dan koherensi adalah dua unsur yang menyebabkan sekolompok kalimat membentuk kesatuan makna. Deiksis merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Adapun anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Sedangkan katafora kebalikan dari anafora, yakni rujuk silang terhadap anteseden yang ada dibelakangnya. Pengajuan atau referensi ialah hubungan antara satuan bahasa atau maujud yang meliputi benda atau halyang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu. Konstruksi endosentrik merupakan frasa yang salah satu konstituennnya dapat dianggap yang paling penting. Sedangkan konstruksi eksosentrik adalah frasa yang tidak mempunyai konstituen inti karena tidak ada konstituen yang dapa mewakili seluruh konstruksi itu.
Bab III Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi
1.      Berbagai Pengertian Tentang Bunyi Bahasa
            Berbagai pengertian tentang pengertian tentang bunyi bahasa yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, vokal dan konsonan, diftong, fonem dan grafem, fonem segmental dan suprasegmental, dan suku kata. Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yaitu sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran.proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Adapun pengertian tentang vokal dan konsonan, vokal adalah bunyi bahasa yang arusnya tidak mengalami rintangan atau hambatan dan kualitasnya oleh tiga faktor yaitu, tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukkan vokal itu. Sedangkan konsonan adalah bunyi pembentuk bahasa. Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya pada saat pengucapannya. Fonem adalah satuan bahasa terkecil yang dapat membedakan makna. Grafem adalah merujuk kehuruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan.
2.      Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mengikuti kaidah kebahasaan pada umumnya. Namun, kaidah bahasa yang satu tidak sama dengan kaidah bahasa yang lain. Bunyi bahasa dan tata bunyi bahasa Indonesia seperti vokal dalam bahasa Indonesia. Vokal juga terbagi beberapa jenis seperti, alofon vokal, diftong, cara penulisan vokal bahasa Indonesia. Konsonan dalam bahasa Indonesia terdapat pemenggalan kata, ciri suprasegmental bahasa Indonesia. Dalam ciri suprasegmental ini terdapat peranan ciri suprasegmental, intonasi dan ritme.
            Dalam bahasa Indonesia terdapat enam fonem vokal, yaitu /a/, /e/, /i/, /o/, /u/, dan /ɘ/. bahasa Indonesia memiliki dua vokal tinggi, tiga vokal sedang, dan satu vokal rendah. Fonem /i/ adalah vokal tinggi depan dengan kedua bibir agak terentang kesamping. Fonem /u/ merupakan vokal tinggi, tetapi meninggi adalah belakang lidah. Fonem /e/ dibuat dengan dengan daun lidah dinaikkan, tetapi agak lebih rendah daripada untuk /i/. Vokal sedang-depan itu diiringi dengan bentuk bibir yang netral, artinya, tidak terentang dan tidak juga tidak membundar. Perbedaan antara /e/ dan /i/ dalam hal ketinggian lidah mirip dengan perbedaan /o/ dan /u/ kecuali bahwa /o/ dan /u/ adalah vokal belakang. Bentuk bibir untuk /o/ kurang bundar dibandingkan /u/. Lain halnya dengan /e/ dan /o/, fonem /ɘ/ adalah vokal sedang-tengah.
            Setiap vokal mempunyai alofon atau variasi. Pada dasarnya alofon setiap fonem mengikuti sebuah pola, yaitu lidah yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau ke bawah sehingga posisinya hampir berhimpitan dengan posisi untuk vokal yang ada diatas atau dibawahnya. Fonem a hanya mempunya satu alofon, yaitu a. Fonem i mempunyai dua alofon, yaitu i dan I. Fonem e mempunyai dua alofon, yaitu e dan ɘ. Fonem o mempunyai dua alofon, yaitu o dan É”. Fonem u mempunyai dua alofon, yaitu u dan U.
            Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong, yakni /ay/, /aw/, dan /oy/ yang masing-masing dapat ditulis: ai, au, dan oi. Ketiga diftong ini bersifat fonemis dalam bahasa Indonesia. Kedua huruf vokal pada diftong melambangkan satu bunyi vokal yang tidak dapat dipisahkan. Contoh diftong ialah, pandai, harimau, amboi, daerah, dan suatu.
            Cara penulisan vokal bahasa Indonesia, pada umumnya fonem vokal bahasa Indonesia mempunyai hubungan satu lawan satu dengan huruf yang mewakilinya. Oleh sebab itu, fonem vokal /a/, /i/, dan /u/, misalnya, dinyatakan dengan huruf É‘, i, u. hubungan antara fonem dan grafem tidak selalu satu-lawan satu seperti, fonem /a/ dengan alofon tunggalnya ditulis dengan huruf É‘ pula sehingga /a/ selalu ditulis dengan huruf itu, contonya /adik/ ditulis /adik/. Ada pula hubungannya tidak satu lawan satu seperti, huruf e mewakili dua fonem, yaitu /e/ dan /ɘ/, beserta alofonnya, contohnya, seperti /bɘsar/ ditulid /besar/. Huruf i dan u masing-masing dipakai untuk menuliskan fonem /i/ dan /u/ tanpa memperhitungkan alofon, contohnya /bantiɳ/ ditulis /banting/.  Huruf o dipakai untuk menuliskan fonem /o/ dengan alofonnya, contohnya /potoɳ/ ditulis /potong/. Adapun diftong /ay/, /aw/, dan /oy/ masing-masing ditulis dengn huruf É‘i, É‘u, dan oi. Karena deretan vokal /ai/, /au/, dan /oi/ juga ditulis dengan huruf yang sama, dalam tulisan diftong dan deretan itu tidak dapat dibedakan, contohnya /pantay/ ditulis /pantai/, /kalaw/ ditulis /kalau/, dan /amboy/ ditulis /amboi/.
            Sesuai dengan artikulasinya, konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasar tiga faktor yaitu keadaan pita suara, daerah artikulasi, dan cara artikulasinya. Konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi beberapa bagian yaitu (1) konsonan hambat bilabial /p/ dan /b/ dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga udara dari pari-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum katupan itu dilepaskan, contohnya /pola/ dibaca pola dan /kapar/ dibaca kapar. (2) konsonan hambat alveolar /t/ dan /d/ umumnya dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada ujung gusi, contohnya  /tari/ dibaca tari dan /pantay/ dibaca pantai. (3) konsonan hambatan velar /k/ dan /g/ dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak, contohnya /kalah/ dibaca kalah dan /galah/ dibaca galah. (4) konsonan frikatif alveolar /s/ dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis, contohnya /saya/ dibaca saya.
            (5) konsonan frikatif alveolar /z/ dibentuk dengan cara pembentukan /s/ tetapi dengan pita suara yang bergetar, contohnya /zɘni/ dibaca zeni dan /lazim/ dibaca lazim. (6) konsonan frikatif palatal tak bersuara /Å¡/ dibentuk dengan menempelkan lidah pada langit-langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah ke langit-langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis, contohnya /Å¡ak/ dibaca syak. (7) konsonan frikatif velar /x/ dibentuk dengan mendekatkan punggung lidah kelangit-langit lunak yang dinaikkan agar udara tidak keluar melalui hidung, contohnya /xas/ dibaca khas. (8) konsonan frikatif glottal /h/ dibentuk dengan melewatkan arus udara diantara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain, contohnya /habis/ dibaca habis.
            (9) konsonan afrikat palatal /c/ dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras kemudian dilepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan tanpa desis (contohnya /mancur/ dibaca mancur), sedangkan konsonan afrikat palatal /j/ dibentuk dengan cara yang sama dengan /c/, tetapi pita suara dalam keadaan bergetar (contohnya /manjur/ dibaca manjur). (10) konsonan nasal bilabial /m/ dibuat dengan kedua bibir dikatupkan kemudian udara lepas melalui rongga hidung, contohnya /makan/ dibaca makan. (11) konsonan nasal alveolar /n/ dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru, kemudian dikeluarkan dirongga hidung, contohnya /kantin/ dibaca kantin. (12) konsonan nasal palatal /Å„/ dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras menahan udara dari paru-paru, contohnya /pɘńyu/ dibaca penyu.
            (13) konsonan nasal velar /ɳ/ dibentuk dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung, contohnya /ɳaray/ dibaca narai. (14) konsonan getar alveolar /r/ dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian menghembuskan udara sehingga lidah tersebut secar berulang-ulang menempel pada dan lepas dari gusi, sementara itu, pita suara keadaan bergetar, contohnya /raja/ dibaca raja. (15) konsonan lateral alveoral /l/ dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah, dan pita suara keadaan bergetar, contohnya /lama/ dibaca lama. (16) semivokal bilabial /w/ dilafalkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara yang dihembuskan dari paru-paru, contohnya /waktu/ dibaca waktu. (17) semivokal palatl /y/ dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluarkan dari paru, contohnya /yatim/ dibaca yatim.
            Dalam bahasa Indonesia terdapat suku kata, kata, dan gugus konsonan. Wujud suku kata yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. Suku kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas (1) satu vokal (V), misalnya a-mal. (2) satu Vokal dan satu konsonan (VK), misalnya ar-ti. (3) satu konsonan dan satu vokal (KV), misalnya pa-sar. (4) satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK), misalnya pak-sa. (5) dua konsonan dan  satu vokal (KKV), misalnya slo-gan. (6) dua konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKVK), misalnya trak-tor. (7) satu konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KVKK), misalnya teks-til. (8) tiga konsonan dan satu vokal (KKKV), misalnya stra-te-gi. (9) tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKKVK), misalnya struk-tur. (10) dua konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KKVKK), misalnya kom-pleks. (11) satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan (KVKKK), misalnya korps. Kata dalam bahasa indonesi dibentuk dari gabungan bermacam-macam suku kata seperti struktur suku kata, contoh ter-se-nyum. Gugus konsonan adalah konsonan yang rangakap atau dua huruf konsonan, misalnya kh-, -ng, kr-, pr-, kl-, dan lain-lain. Contohnya yaitu khusus, perang, klinik, krisis, pribadi, dan lain-lain.
            Dalam bahasa Indonesia terdapa proses pemenggalan kata. Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai suatu tulisan, sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu perdoman pada lafal kata. Faktor lain pemenggalan kata adalah kesatuan pernapasan pada kata tersebut. Misalnya kata berani dapat dipenggal menjadi be-rani atau bera-ni.
            Fonem segmental bahasa Indonesia mempunyai ciri suprasegmental yaitu tekanan, panjang bunyi, dan nada. Dan ciri suprasegmental yang lain yaitu intonasi dan ritme. Ciri suprasegmental juga mempunyai peranan, seperti tanda baca yang mempunyai peran sangat penting. Karena suatu klausa terdiri dari atas kata yang sama dan dalam urutan yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda, bergantung pada tanda baca yang diberikan. Contohnya “dia dapat pergi”, kalimat menandakan member informasi bahwa seseorang tersebut bisa pergi. Jika kalimat tersebut diberi tanda baca Tanya (?) “dia dapat pergi?”, maka akan mempunyai artinya berbeda, yaitu kalimat ini menandakan bahwa sesorang menayakan apakah  “dia” tersebut bisa pergi.
Bab IV Verba
1.      Batasan dan Ciri Verba
            Ciri-ciri verba dapat kita ketahui dengan cara mengamati prilaku semantisnya, prilaku sintaktis dan morfologisnya. Verba mempunyai ciri- ciri  yaitu, memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain (contohnya pencuri itu lari), mengandung makna inheren perbuatan, proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, mempunyai kekhususan yaitu bermakna keadaan yang tidak dapat diberi prefiks ter-, dan pada umunya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.
2.      Verba Dari Segi Perilaku Semantisnya
Verba dari segi perilaku semantisnya mempunyai makna inheren perbuatan. Semua verba perbuatan dapat dipakai dalam kalimat perintah. Makna inheren suatu verba tidak terkait dengan wujud verba tersebut. Artinya, apakah suatu verba berwujud kata dasar, kata yang tanpa afiks, atau menggunakan afiks, hal itu tidak mempengaruhi makna inheren yang terkandung didalamnya. Makna inheren juga tidak selalu berkaitan dengan status ketransitifan suatu verba. Suatu verba taktransitif dapat memiliki makna inheren perbuatan (misalnya, pergi) atau proses (misalnya, menguning).
3.      Verba Dari Segi Perilaku Sintaksisnya
Adapun verba dari segi perilaku sintaktisnya berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitifan verba. Dari segi sintaktisnya, ketransitifan verba ditentukan oleh dua faktor, yaitu adanya nomina yang berdiri dibelakang verba yang berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan kemungkinan objek itu berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Pada dasarnya terdiri dari verba transitif dan verba taktransitif. Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif dan dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Verba transitif dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, verba ekatransitif, verba dwitransitif dan verba semi transitif. Macam-macam verba yang lainnya yaitu verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif, dan verba berpreposisi adalah verba taktransitif yang selalu diikuti oleh preposisi tertentu.
4.      Verba Dari Segi Bentuknya
Adapun verba dari segi bentuknya seperti verba asal dan verba turunan. Verba asal adalah verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaktis, sedangkan verba turunan adalah verba yang harus atau dapa memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan pada posisi sintaktisnya. Dalam verba turunan terdapat proses penurunan verba, penggabungan prefiks dan sufiks. Verba turunan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya, darat), tetapi memerlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba (mendarat), (b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas (misalnya, baca) yang dapat pula memiliki afiks (membaca), dan (3) verba yang dasarnya adalah dasar terikat (misalnya, temu) yang memelukan afiks (bertemu).
5.      Morfologi dan Semantik Verba Transitif
Ciri yang lainnya yaitu morfologi dan semantik verba transitif, terdapat penurunan verba transitif dan penurunan melalui afiksasi. Verba transitif dapat diturunkan melalui transposisi, afiksasi, dan reduplikasi. Transposisi adalah pemindahan dari satu kelas kata ke kelas kata yang lain tanpa perubahan bentuk. Penurunan melalui transposisi yaitu dengan cara nomina yang ditransposisikan menjadi verba diberi afiks, tetapi afiks ini tidak mengubah makna hanya sekedar sebagai penanda keformalan belaka, contoh nomina jalan menjadi verba berjalan. Adapun afiksasi adalah penambahan prefiks, infiks, atau sufiks pada dasar kata. Reduplikasi adalah perulangan suatu kata, baik dengan tambahan afiks maupun tidak. Penurunan melalui afiksasi terdiri atas (1) penurunan verba transitif dengan meng-, misalnya dari kata ambil menjadi mengambil, (2) penurunan verba transitif dengan –kan,  yang dapat berkombinasi dengan prefiks meng- sehingga menghasilkan meng-kan, misalnya kata ke muka menjadi mengemukakan, (3) penurunan verba transitif dengan -i, dapat berkombinasi dengan prefiks meng-, misalnya kata hendak menjadi menghendaki, (4) penurunan verba transitif dengan per- dan ­–kan/­-i, misalnya memperbudak, (5) penurunan verba transitif dengan di- dan ter-, contohnya dipakai (pakai) dan termasuk (masuk). Selain penurun verba melalui transposisi dan afiksasi ada juga penurunan melalui reduplikasi, contohnya halaman itu dia bolak-balik.
6.      Morfologi dan Semantik Verba Tatktransitif
Proses penurunan verba taktransitif tidak berbeda dengan yang transitif. Yang membedakan hanya prefiks dan sufiks yang dipakai. Makna verba taktransitif juga di pengaruhi oleh tiga hal, yaitu dasar kata yang digunakan, wajib-tidaknya afiks dan ciri khusus semantik dari dasar kata. Morfologi dan semantik verba taktransitif terdapat penurunan verba taktransitif dengan afiksasi, penurunan verba taktransitif dengan reduplikasi. Penurunan verba taktransitif dengan afiksasi ini akan dikemukan berdasarkan jenis afiks yang digunakan seperti, afiks meng-, ber-, ber-kan, ber-an, ter-, dan ke-an. Adapun penurunan verba taktransitif dengan reduplikasi atau perulangan mempunyai enam macam bentuk yaitu dasar + dasar (misalnya, makan-makan), dasar + (prefiks + dasar) (misalnya, pukul-memukul), dasar (prefiks + dasar + sufiks) (misalnya, cinta-mencintai), (prefiks + dasar) + dasar (misalnya, berjalan-jalan), prefiks + (dasar + dasar) + sufiks (misalnya, bersalam-salaman), dan perulangan dengan salin bunyi (misalnya, lalu-lalang).
7.      Verba Majemuk
Verba majemuk adalah verba yang berbentuk melalui proses penggabungan satu kata dengan kata yang lain. Jenis verba majemuk mempunyai verba majemuk dasar, verba majemuk berafiks dan verba majemuk berulang. Verba majemuk dasar adalah verba majemuk yang tidak berafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat berdiri sendiri dalam frasa, klausa, atau kalimat, misalnya maju mundur. Verba majemuk berafiks adalah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu, misalnya berdiri sendiri. Verba majemuk reduplikasi adalah jika kemajemukkannya bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan pula.
8.      Hubungan Ketransitifan Dengan Afiksasi
Hubungan ketransitifan dengan afiksasi terdapat kaidah mengenai hubungan tersebut seperti verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat transitif dan taktransitif, verba yang berprefiks ber- bersifat transitif. Bersufiks  -i dan -kan bersifat transitif . jika bentuk men- + dasar membentuk verba taktransitif, maka pasangannya dengan sufiks -kan, -i, merupakan verba ekatransitif. Jika bentuk meng- + dasar membentuk verba ekatransitif maka pasangannya dengan sufik -kan tergolong verba dwitransitif. Jika bentuk meng- + dasar adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan akhiran -i umumnya tetap ekatransitif.
9.      Frasa Verbal dan Fungsinya
Frasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini merupakan klausa. Jenis-jenis frasa verba seperti frasa endosentrik atributif, frasa endosentrik koordinatif. Frasa endosentrik atributif terdiri dari inti verba dan pewata (modifier) yang ditempatkan di muka atau di belakang verba inti.  Frasa endosentrik koordinatif ialah dua verba yang di gabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Fungsi verba dan frasa verba yaitu verba dan frasa verba sebagai predikat, verba dan frasa verba sebagai subjek, verba dan frasa verbal sebagai objek, verba dan frasa verbal sebagai pelengkap, verba dan frasa verbal sebagai keterangan, verba yang bersifat atributif, dan verba yang bersifat apositif.
10.  Daftar Contoh Dasar Verba dan Verba
Disini dapat diuraikan contoh dasar verba yang telah dijelaskan sebelumnya. Contoh dasar verba dan verba yaitu dasar terikat (misalnya, acu, ajar, dan lain-lain), verba asal (misalnya, ada, bangkit, dan lain-lain), verba turunan. Karena verba turunan dapat diturunkan dari pelbagai dasar sesuai dengan prefiks atau sufiks yang dipakai (misalnya, berdasarkan, berjalan, berjualan, dan lain-lain).
Bab V Adjektiva
1.      Batasan dan Ciri Adjektiva
            Adjektiva memiliki batasan dan ciri, adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus  tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Adjektiva ini berfungsi sebagai predikat dan adverbial kalimat. Fungsi predikat dan adverbial itu dapat mengacu ke suatu keadaan (misalnya, mabuk, sakit, basah, baik, dan sadar).
2.      Adjektiva Dari Segi Perilaku Semantisnya
Adjektiva dilihat dari segi perilaku semantisnya, dari segi ini adjektiva menunjukkan dua tipe pokok yaitu adjektiva bertaraf dan adjektiva tidak bertaraf.  Adjektiva bertaraf terdiri dari, adjektiva pemeri sifat, adjektiva ukuran, adjektiva warna, adjektiva waktu, adjektiva jarak, adjektiva sikap batin, dan adjektiva cerapan. Adjektiva tak bertaraf menempatkan acuan nomina yang diwatisinya di dalam kelompok atau golongan tertentu.
3.      Adjektiva Dari Segi Perilaku Sintaktisnya
Akjektiva dilihat dari segi perilaku sintaktisnya yaitu mempunyai fungsi, seperti fungsi atributif, fungsi predikat, dan fungsi adverbial atau keterangan. Fungsi atributif merupakan adjektiva yang merupakan pewatas dalam frasa nominal yang nominanya menjadi subjek, objek, atau pelengkap. Sedangkan fungsi predikat adalah adjektiva yang menjalankan fungsi predikat atau pelengkap dalam klausa. Sedangkan fungsi adverbial atau keterangan merupakan adjektiva yang mewatasi verba (atau adjektiva) yang menjadi predikat atau klausa.
4.      Pertarafan Adjektiva
Adjektiva mempunyai pertarafan adjektiva  yang menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas dan berbagai tingkat bandingan. Berbagai tingkat kualitas secara relatif menunjukkan tingkat intensitas yang lebih tinggi atau rendah. Ada beberapa bagian tingkat kualitas atau intensitas terdiri dari (1) Tingkat positif memberikan kualitas atau intensitas maujud yang diterangkan, dinyatakan oleh adjektiva tanpa pewatas, contohnya Indonesia kaya akan hutan. (2) Tingkat intensif yang menekankan kadar kualitas atau intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas benar, betul, atau sungguh, contohnya pask asep setia benar dalam pekerjaannya. (3) Tingkat elatif yang menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi, dinyatakan dengan memakai pewatas amat, sangat, atau sekali, contohnya sikapnya sangat angkuh ketika menerima kami. (4) Tingkat eksesif yang mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang berlebih, atau yang melampaui batas kewajaran, dinyatakan dengan memakai pewatas terlalu, terlampau, dan kelewat, contohnya mobil itu terlalu mahal. (5) Tingkat augmentatif yang menggambarkan naiknya atau pertambahan tingakat kualitas atau intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas makim…..makin…, atau semakin…, contohnya sutarno menjadi semakin kaya. (6) Tingkat atenuatif yang memberikan penurunan kadar kualitas atau pelemahan intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas agak dan sedikit, contohnya gadis yang agak malu itu diterima jadi pegawai.
            Adapun tingkat bandingan yang terdiri dari tiga yaitu, (1) tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau hampir sama, dengan peranti bahasa yang digunakan ialah bentuk klitik se- yang ditempatkan di depan adjektiva, contohnya tuti secantik ibunya. (2) tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau kurang, pewatas yang digunakan adalah lebih….dari(pada)…., kurang…dari(pada)…., dan kalah ….dengan/dari(pada), contohnya restoran itu kurang bersih dari(pada) restoran itu. (3) tingkat superlative mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tinggi  di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan, dengan pemakaian afiks ter- dan pewatas paling dimuka adjektiva yang bersangkutan, juga diikuti dengan frasa yang berpreposisi dari, antara, di antara, dari antara beserta nomina yang dibandingkan, contohnya kamar ini yang termahal dari antara yang pernah saya sewa.
5.      Adjektiva Dari Segi Bentuknya
Ciri Adjektiva dilihat dari segi bentuknya terdiri atas adjektiva dasar yang selalu monomorfermis dan adjektiva turunan yang selalu polimorfermisa. Sebagian besar adjektiva dasar merupakan bentuk yang monomorfermis, meskipun ada yang berbentuk perulangan semu. Adjektiva turunan (polimorfermis) dapat merupakan tingkat ekuatif dengan prefiks se-, dan pada tingkat superlatif dengan prefiks ter-.
6.      Adjektiva dan Kelas Kata Lain
Adjektiva dan kelas kata lain mempunyai proses seperti adjektiva deverbal dan adjektiva denominal. Verba deverbal ini pada mulanya diturunkan dari kata dasar yang dibubuhi dengan afiks-afiks tertentu. Dalam adjektiva denominal ada dua proses morfplogis yang dapa dikemukan, yaitu nomina yang berprefiks pe(r)- atau peng seperti pemalas, dan nomina berkonfiks ke-an yang mengalami reduplikasi.
Bab VI Adverbia
1.      Batasan dan Ciri Adverbia
            Batasan adverbial adalah kata yang menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. Ciri adverbial ini yaitu berfungsi sebagai predikat. Selain itu adverbia juga menerangkan kata atau bagian kalimat yang tidak berfungsi sebagai predikat. Oleh sebab itu ada beberapa adverbia yang selaindapat menerangkan verba, adjektiva, dan adverbial lain, juga dapat menerangkan nomina dan frasa proposisional.
2.      Adverbia Dari Segi Bentuknya
Macam adverbia dari segi bentuknya yaitu adverbia tunggal dan adverbia gabungan. Adverbia tunggal dapa dibagi dari advebia yang berupa kata dasar, yang berupa kata berafiks, serta berupa kata ulang. Sedangkan adverbia gabungan terbagi atas dua adverbia yang berdampingan dan adverbia yang tidak berdampingan.
3.      Adverbia Dari Segi Perilaku Sintaktisnya
Macam adverbial dari segi perilaku sintaktisnya mempunyai posisi-posisi, seperti adverbia yang mendahului kata yang diterangkan, adverbia yang mengikuti kata yang diterangkan, adverbia yang mendahului atau mengikuti kata yang diterangkan, dan adverbia yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan. Berdasarkan lingkup strukturnya, terdapat perbedaan dari bentuk yang mengacu pada tataran frasa disebut juga adverbia intraklausal dan bentuk yang mengacu pada tataran kalimat disebut juga dengan adverbia ekstraklausal.
4.      Adverbia Dari Segi Perilaku Semantisnya
Jenis adverbia dari segi   perilaku semantisnya yaitu adverbia kualitatif, adverbia kuantitatif, adverbia limitatif, adverbia kuantitatif, adverbia kewaktuan, adverbia kecaraan, adverbial konstrantif dan adverbia keniscayaan. Adverbia kualitatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dekat tingkat, derajat, atau mutu. Adverbia kuntitatif yaitu menggambarkan makna yang berhubungan dengan jumlah. Adverbia limitif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan pembatasan. Adverbia frekuentatif adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbia tersebut. Adverbia kecaraan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan bagaimana peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu berlangsung atau terjadi. Adverbia konstrastif adalah adverbia yang menggambarkan pertentangan dengan makna kata atau hal yang dinyatakan sebelumnya. Adverbial keniscayaan adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan kepastian tentang berlangsung atau terjadinya hal atau peristiwa yang dijelaskan adverbial itu.

5.      Adverbia Konjungtif
Macam adverbia sebagai konjugatif adalah adverbia yang menghubungkan satu klausa atau kalimat dengan klausa atau kalimat lainnya. Posisinya dalam kalimat berstatus bebas. Tetapi biasanya, adverbia konjungtif digunakan pada awal kalimat. Adapun contoh adverbia yaitu “biarpun demikian/ begitu” merupakan menyatakan pertentangan dengan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya. “Kemudian, setelah itu, sesudah itu, selanjutnya”,merupakan kelanjutan dari peristiwa atau keadaan yang dinyatakan pada kalimat sebelumnya.  Tambahan pula, lagi pula, selain itu”, merupakan menyatakan hal, peristiwa, atau keadaan di samping hal, peristiwa, atau keadaan yang telah disebutkan sebelumnya. “Sebaliknya”, adverbia ini mengacu ke kebalikan dari yang telah dinyatakan sebelumnya. “Sesungguhnya dan bahwasannya”, adverbia ini menyatakan bahwa yang digambarkan oleh prediksi kalimat adalah benar. “Malahan dan bahkan”, adverbia yang menyatakan penguatan terhadap peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya. “(Akan) tetapi dan namun), adverbia yang menyatakan pertentangan dengan peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyataka sebelumnya. “Kecuali itu”, adverbia yang menyatakan keeksklusifan dan keinklusifan. “Dengan demikian”, adverbia yang menyatakan konsekuensi. “Oleh karena itu/sebab itu”, adverbia yang menyatakan akibat. ”Sebelum itu”, adverbia yang menyatakan kejadian yang mendahului peristiwa, hal, atau keadaan yang dinyatakan sebelumnya.
6.      Adverbia pembuka Wacana
Macam adverbia sebagai pembuka wacana yaitu mengawali suatu wacana. Hubungannya dengan paragraf sebelumnya didasarkan pada makna yang terkandung pada paragraf sebelumnya itu. Adapun pembuka wacana seperti adapun, akan hal, masih sering dipakai. Sedangkan pembuka paragraf seperti alkisah, seberluma, syahdan, umumnya terdapat pada naskah sastra lama.


7.      Adverbia dan Kelas Kata Lain
Ciri adverbia  dan kelas kata lain dapat dikategori dasarnya dibagi atas beberapa adverbia  deverbal, adverbia  deadajektival, adverbia denominal, dan adverbia denumeral. Adverbia deverbal adalah bentuk dari dasar yang berkategori verba, misalnya kira-kira, sekiranya, terlalu dan tahu-tahu. Adverbia deadjektival adalah adverbia diturunkan dari adjektiva, baik melalui reduplikasi maupun afiksasi. Adverbia denominal adalah adverbia yang dibentuk dari dasar berkategori nomina. Dan adverbia denumeral adalah adverbia yang terbentuk dari numeralia.
8.      Daftar Adverbia
Daftar adverbia terbagi atas adverbia tunggal, adverbia gabungan, adverbia konjugatif, dan konjungtor wacana. Macam-macam adverbia tunggal seperti adverbial dasar (contohnya yaitu amat, bahkan, barang), dan lain-lain, adverbia berafiks (contohnya agaknya, sebaiknya, sebenarnya), dan adverbia kata ulang  (contohnya, diam-diam, malam-malam, gelap-gelapan, setinggi-tinggi). Macam-macam adverbia gabungan seperti berdampingan (contohnya, belum pernah, belum lagi, dan lain-lain), dan yang tidak berdampingan (contohnya, belum…lagi, belum…kembali, dan lain-lain). Contoh adverbia konjungtif akan tetapi, bahkan, dengan demikian, dan lain-lain.contoh konjungtor pembuka wacana adapun, alkisah, syahdan, dan lain-lain.
Bab VII Nomina, Pronominal, dan Numeralia
1.      Nomina
            Nomina sering disebut juga kata benda. Nomina dapat dilihat dari tiga segi  yaitu segi semantis, segi sintaksis dan segi bentuk. Dari segi  semantis , nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Nomina dari segi perilaku sintaksisnya, ini akan memukakan berdasarkan posisi  atau pemakaiannya pada tataran frasa. Sedangkan dari segi bentuknya  nomina terdiri dari dua macam yaitu nomina yang berbentuk kata dasar dan nomina turunan. Nomina dasar terbagi atas nomina dasar umum dan nomina dasar khusus. Sedang nomina turunan  terbagi atas afiks dalam penurunan nomina, morfofonemik afiks nomina. Morfologi dan semantik nomina penurunan yang menyatakan penurunan nomina dengan ke-, pel-, per-, pe-, peng-, -an, peng-an, per-an, ke-an, kontras antarnomina, nomina dengan dasar polimorfermis, penurunan nomina dengan -el-, -er-, -em-, -in-, -wan, -wati, perulangan nomina, pemajemukan nomina dan idiom. Frasa nominal adalah sebuah kata yang dapat diperluas dari kanan maupun kiri.
2.      Pronomina
            Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Pronomina mempunyai ciri yaitu bahwa acuannya dapat berpindah-pindah karena tergantung kepada siapa menjadi pembicara/ penulis, siapa yang menjadi pendengar/ pembaca, atau siapa/ apa yang dibicarakan. Pronomina terdiri dari tiga macam yaitu pronomina  persona, pronomina petunjuk, dan pronomina penanya. Gambaran pernomina persona ada tiga yaitu pertama persona petama seperti saya, aku, dan daku. Yang kedua persona kedua seperti engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan -mu. Sedangkan yang ketiga yaitu mempunyai dua macam persona ketiga tunggal yaitu (1) ia, dia, atau -nya, dan (2) beliau. Pronomina pentunjuk terbagi tiga macam yaitu pronominal petunjuk umum, pronomina petunjuk tempat, dan pronomina penanya.
3.      Numeralia
            Numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang) dan konsep. Dalam bahasa Indonesia pada dasarny numeralia ada dua macam yaitu numeralia pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok adalah bilangan dasar yang menjadi sumber dari bilangan yang lain. Numeralia tingkat adalah numeralia yang diubah dengan cara dengan menambahkan ke- di muka bilangan yang bersangkutan. Selain itu terdapat macam numeralia  pecahan yaitu tiap bilangan pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yaitu dengan cara memakai per- di antara bilangan pembagi dan penyebut. Numeralia terdapat frasa, yaitu frasa yang dibentuk dengan menambahkan kata penggolongan.
4.      Penggolongan Nomina: Orang, Buah, dan Ekor
            Bahasa Indonesia memiliki sekelompok kata yang membagi-bagi nomina maujud dalam kategori tertentu. Manusia, misalnya, disertai oleh penggolongan orang, binatang oleh penggolong ekor, dan surat oleh penggolong pucuk. Manusia dan binatang mendapat kedudukan khusus dengan adanya penggolongan orang dan ekor. Selain itu buah, misalnya untuk buah-buahan.
5.      Konsep Tunggal, Jamak, dan Generik
Dalam bahasa Indonesia konsep tunggal itu ditandai oleh pemakaian kata seperti satu, suatu atau esa, se-. Pengolongan yang menyatakan ketunggalan seperti sebuah, seekor, dan seorang dalam konteks tertentu dapat dihilangkan tanpa berbedaan arti. Pada konteks yang lain, penghilangan penggolong itu mengubah arti kalimat. Sedangkan jamak umumnya dinyatakan dengan pengulangan. Misalnya dalam sebuah kalimat “murid-murid sedang membaca buku-buku”, konsep jamaknya terdapat pada kata murid-murid dan buku-buku. Sedangkan konsep generiknya yaitu kata baca dalam membaca. Pengertian mengenail ketunggalan, kejamakan, dan kegenerikan tersebut di pengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk jenis verba yang digunakan dalam kalimat. Pada umumnya pengertian kejamakan dan ketunggalan dinyatakan dalam wujud yang berbeda, dalam hubungannya dengan verba tertentu perwujudan itu tidak dpegang teguh. Adapun untuk menyatakan konsep kegenerikan, bentuk reduplikasi tidak dipakai.
Bab VIII Kata Tugas
1.      Batasan dan Ciri Kata Tugas
Kata tugas mempunyai ciri yaitu hampir semuanya tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata lain. Kata seperti dan, ke, karena, dan dari termasuk dalam kata tugas. Kata tugas mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan dengan kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Berlaiman dengan kelas kata lain, kata tugas merupakan kelas kata yang tertutup.
2.      Klasifikasi Kata Tugas
Kata tugas dapat diklasifikasi menurut peranannya menjadi lima kelompok yaitu preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula dan partikel penegas. Ditinjau dari segi bentuknya terbagi menjadi dua macam yaitu proposisi tunggal yang juga berbentuk kata dasar dan kata berafiks, dan preposisi preposisi gabungan yang terdiri atas dua preposisi yang berdampingan dan dua proposisi yang berkolerasi. Preposisi mempunyai peran semantis yaitu sebagai penanda hubungan seperti: tempat, peruntukan, sebab, kesertaan atau cara, pelaku, waktu, ihwal (peristiwa) dan milik.
Klasifikasi kata tugas konjungtor, konjungtor ini juga dinamakan dengan kata sambung, adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat. Dilihat dari perilaku sintaktisnya dalam kalimat, konjugtor terbagi menjadi empat kelompok yaitu, konjungtor koordinatif, konjugtor korelatif, konjungtor subordinatif, dan konjungtor antar kalimat yang berfungsi pada tataran wacana. Konjungtor koordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama.konjungtor relatif adalah  konjungtor yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaktis yang sama. Konjungtor subordinatif adalah konjungtor yang menghubungkan dua klausa, atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status sintaktis yang sama. Konjungtor antarkalimat adalah konjungtor yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain.
3.      Interjeksi
            Klasifikasi kata tugas interjeksi, interjeksi juga dinamakan dengan kata seru, adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Secara truktural interjeksi tidak bertalian dengan unsure kalimat yang lain. Menurut bentuknya, ada yang berupa bentuk dasar dan bentuk turunan. Berbagai jenis interjeksi dapat dikelompokkan menurut persaan yang diungkapkan seperti interjeksi kejijikan (misalnya, bah, cih, cis, ih dan idih), interjeksi kekesalan (misalnya, brengsek, sialan, buset dan keparat), interjeksi kekaguman atau kepuasan (misalnya, aduhai, amboi, dan asyik), interjeksi kesyukuran (misalnya, syukur dan Alhamdulillah), interjeksi harapan (misalnya, insya Allah), interjeksi keheranan (misalnya, aduh, aih, ai, lo, duilah, eh, oh dan ah), interjeksi kekagetan (misalnya, astaga, astagfirullah, masyaallah), interjeksi ajakan (misalnya, ayo dan mari), interjeksi panggilan (misalnya, hai, he, eh, dan halo), dan interjeksi simpulan (misalnya, nah).
4.      Artikula
            Klasifikasi kata tugas artikula yaitu kata tugas yang membatasi makna nomina. Dalam bahasa Indonesia terdapat kelompok artikula yaitu, artikula yang bersifat gelar, artikula yang mengacu ke makna kelompok dan artikula yang menominalkan. Artikula yang bersifat gelar pada umumnya bertalian dengan orang atau hal yang dianggap bermartabat. Artikula yang mengacu ke makna kelompok atau makna kolektif adalah artikula yang mengisyaratkan ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak dinyatakan dalam bentuk kata ulang. Artikula ini menggunakan kata para. Artikula yang menominalkan, artikula ini adalah artikula yang menominalkan dapat mengacu ke makna tunggal atau generik. Artikula ini menggunakan kata si.
5.      Partikel Penegas
            Klasifikasi kata tugas partikel penegas adalah kategori partikel penegas meliputi yang tidak tertakluk pada peubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diringinya. Ada empat macam partikel penegas yaitu -kah, -lah, -tah, dan pun. Tiga yang pertama berupa klitika, sedangkan yang keempat tidak. Macam partikel penegas -kah  adalah partikel yang berbentuk klitika dan bersifat manasuka dapat menegaskan kalimat interogatif. Macam partikel -lah adalah partikel yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat imperative atau kalimat deklaratif. Macam partikel -tah adalah pertikel yang juga termasuk berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat interogatif. Sedangkan macam partikel pun adalah partikel yang hanya dipakai dalam kalimat deklaratif dan dalam bentuk tulisan dipisahkan dari kata mukanya.
Bab IX Kalimat
1.      Batasan dan Ciri-Ciri Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan maupun tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Ciri-ciri kalimat pada wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadi perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun preoses fonologis lainnya. Ciri kalimat dalam bentuk tulisan adalah kalimat dimulai dengan huruf capital dan akhiri dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru. Sementara itu, di dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti, koma, titik dua, tanda pisah dan spasi.
2.      Bagian-Bagian Kalimat
            Kalimat mempunya beberapa bagian yaitu kalimat dan klausa, konstituen kalimat, unsur wajib dan unsur tak wajib,  dan keserasian unsur-unsur kalimat. Bagian kalimat dan klausa tidak banyak hal yang membedakan antara keduanya. Kalimat maupun klausa merupakan konstruksi sintaktis yang mengandung unsur prediksi. Dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa keduanya terdiri atas unsure predikat dan subjek dengan atau tanpa objek, pelengkap, atau keterangan. Bagian unsur wajib dan tidak wajib adalah unsur wajib maupun tidak kehadirannya dalam sebuah kalimat, kadang-kadang ada kata atau kelompok kata yang dihilangkan. Bagian keserasian unsur-unsur kalimat dapat dikemukan dari kedua segi, yaitu keserasian makna dan keserasian bentuk.
3.      Struktur Kalimat Dasar
Kalimat dasar adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa, unsur-unsurnya lengkap, susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Kaliamat dapat dibedakan dalam kategori sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran semantis unsur-unsur kalimat. Setiap bentuk kata, atau frasa, yang menjadi konstituen kalimat termasuk dalam kategori kata atau frasa tertentu dan masing-masing mempunyai fungsi sintaksis serta peran  semantis tertentu pula.
4.      Fungsi Sintaksis Unsur-Unsur Kalimat
Beberapa fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat yaitu fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Adapun penjelasanya yaitu, fungsi predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri, dan jika ada, konstituen objek, pelengkap, atau keterangan wajib di sebelah kanan. Fungsi subjek umumnya berupa nomina, frasa nominal, atau klausa. Adapun fungsi objek, objek artinya konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif, objek ini berupa nomina atau frasa nominal. Fungsi pelengkap mempunyai kesamaan dengan fungsi objek karena terdapat kemiripan, tetapi terdapa berbedaan yaitu objek berwujud frasa nominal (klausa), sedangkan pelengkap berwujud frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa preposisional, atau klausa. Fungsi keterangan merupakan fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya, yaitu dapat berada di akhir , di awal, dan bisa diletakkan di tengah kalimat.
5.      Peran Semantis Unsur Kalimat
Sebuah kalimat mengandung subjek menyatakan pelaku, predikat yang menyatakan perbuatan, objek yang menyatakan peserta sasaran perbuatan, dan pelengka yang menyatakan peserta peruntung yang memperoleh manfaat dalam peristiwa tersebut. Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dinyatakan oleh verba predikat. Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa yang dinyatakan predikat. Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan perdikat. Selain itu kalimat terdapa peran semantis keterangan seperti keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan alat, dan keterangan sumber.
6.      Jenis Kalimat
Jenis kalimat dapat dikelompokan berdasarkan jumlah klausanya, bentuk sintaksisnya, kelengkapan unsurnya, dan susunan subjek dan predikatnya. Berdasarkan jumlah klausanya kalimat terbagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat mejemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih.
Berdasarkan bentuk sintaksisnya kalimat terbagi atas kalimat deklaratif, kalimat introgatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Kaliamat deklaratif  umumnya digunakan pembicara/penulis untuk membuat pernyataan sehingga isinya merupakan berita bagi pendengar atau pembaca. Jenis kalima imperatif yaitu suatu kalimat perintah atau suruhan dan permintaan. Sedangkan kalimat introgatif yaitu kalimat yang akhiran dengan tanda Tanya atau dinamakan kalimat Tanya dengan ditandai dengan adanya kata Tanya yaitu, apa, siapa, berapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Adapun kalimat eksklamatif yaitu kalimat yang ditandai dengan adanya tanda seru atau secara formal ditandai oleh kata alangkah, betapa, atau bukan main pada kalimat predikat adjektivalnya.
            Selain itu terdapat jenis kalimat taklengkap, yaitu kalimat yang tidak ada subjek dan predikatnya. Kalimat taklengkap juga dinamakan dengan kalimat minor. Hal itu biasanya terjadi di dalam wacana karena unsur yang tidak muncul itu sudah diketahui atau disebutkan sebelumnya. Contoh kalimat taklengkap yaitu “kita merdeka atau kita mati”.
            Kalimat inversi adalah kalimat yang urutannya terbalik, umumnya mensyaratkan subjek yang takdefinif. Urutan P-S  adalah kalimat mensyaratkan pula subjek yang takdefinif. Kalimat inversi di sini dapat dibedakan dari kalimat permutasi. Kalimat mengharuskan urutan P-S, sedang permutasi hanyalah merupakan salah satu gaya yang dapat dipilih dari urutan yang baku.
7.      Perluasan Kalimat Tunggal
Dari segi struktur, kehadiran unsur takwajib itu memperluas kalimat dan dari segi makna takwajib itu membuat informasi yang terkandung dalam kalimat lebih lengkap. Perluasan kalimat tunggal itu dapat dilakukan dengan penambahan seperti unsur keterangan, unsur vokatif, dan konstruksi aposisi. Katerangan dalam kalimat tunggal digunakan untuk member keterangan sebuah kalimat itu seperti member keterangan waktu, tempat terjadinya sebuah kalimat maupun alatnya yang digunakan. Dalam bahasa Indonesia keterangan terdiri dari Sembilan keterangan yaitu, keterangan waktu, tempat, tujuan, penyerta, alat, pembanding atau kemiripan, sebab, dan kesalingan.
            Jenis-jenis keterangan di atas dapat diurai sebagai berikut, keterangan waktu adalah keterangan yang member informasi kapan terjadinya sebuah kejadian dalam suatu kalimat. Pada umumnya keterang waktu diletakkan dibelakang kalimat, tetapi dapat pula diletakkan dibagian tengah mapun di depan kalimat. Fingsi keterangan itu diisi berbagai bentuk yaitu kata tunggal, frasa nominal, dan frasa preposisional. Keterangan waktu yang berbentuk tunggal mencakupi kata seperti pernah, sering, selalau, kadang-kadang, biasanya, kemarin, sekarng, besok, lusa, tadi, dan nanti. Keterangan yang berbentuk frasa nominal dapat berupa pengulangan kata seperti pagi-pagi, malam-malam, siang-siang, dan sore-sore, atau macam gabungan seperti sebentar lagi, kemarin dulu, dan tidak lama kemudian. Keterangan yang berbentuk preposisional yaitu di, dari, sampai, pada sesudah, sebelum, ketika, sejak, buat, dan untuk, setelah kata-kata ini di ikuti dengan kata keterangan frasa nominal seperti pukul, tanggal, tahun, minggu, zaman, hari, bulan, masa, permulaan, akhir pertunjukkan, subuh, dan hari raya mapun Natal. Selain itu ada keterangan tempat, yaitu keterangan yang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa atau keadaan yang terjadi. Keterangan ini disi dengan frarasa preposisional yaitu ke, dari, sampai, dan pada atau kata yang mempunyai cirri tempat yaitu di sini, di sana, di situ, dari sana, dari sini, ke mana, dari situ, dan sebagainya. Adapun keterangan tujuan adalah keterangan yang menyatakan arah, jurusan, atau maksud perbuatan atau kejadian, kata yang digunakan yaitu demi, bagi, guna, untuk dan buat. Keterangan cara adalah keterangan yang menyatakan jalannya suatu peristiwa berlangsung, menggunakan kata seperti seenaknya, semaumu, secepatnya, dan sebaliknya. Keterangan penyerta adalah keterangan yang menyatakan ada tidaknya orang yang menyertai orang lain dalam melakukan suatu perbuatan. Keterangan alat adalah keterangan yang dinyatakan ada tidaknya alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan. Keterangan pembandingan (kemiripan) adalah keterangan yang dinyatakan kesertaan atau kemiripan antara suatu kejadian, atau perbuatan dengan keadaan, kejadian, atau perbuatan yang lain. Keterangan sebab adalah keterangan yang menyatakan sebab atau alasan terjadinya suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan. Keterangan kesalingan adalah keterangan yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dilakukan secara berbalas-balasan.
            Adapun bentuk perluasan kalimat tunggal nomina vokatif, yaitu konstituen tambahan dalam ujaran berupa nomina atau frasa nomina yang menyatakan orang yang disapa. Cirri intonasi yang paling lazim bagi unsur vokatif adalah intonasi naik. Vokatif awal sering juga mempunyai intonasi turun-naik. Fungsi utama nomina vokatif adalah minta perhatian orang yang disapa, terutama jika ada pendengar lain.
            Kalimat tunggal dapat juga diperluas dengan cara menambahkan unsur tertentu yang beraposisi dengan salah satu unsur kalimat yaitu nomina. ”Presiden Indonesia adalah pertama adalah tokoh pendiri gerakan nonblok” adalah jenis kontruksi aposisi yaitu aposisi penuh. Pada umumnya frasa nominal yang terdiri atas gelar, pangkat, atau jabatan yang diikuti nama diri tergolong aposisi mewatasi atau aposisi restriktif. Dan jika kalimat berfungsi hanya sebagai penjelasan atau keterangan tambahan pada unsur pertama, pernyataan ini dinamakan dengan aposis takmewatasi atau aposisi takrestriktif.
8.      Pengingkaran
Pengingkaran (negasi) adalah proses atau konstruksi yang mengungkapkan pertentangan isi makna suatu kalimat, dilakukan dengan penambahan kata ingkar pada kalimat. Adapun pengingkaran kalimat dilakukan dengan cara penambahan kata ingkar yang sesuai dengan frasa predikatnya, misalnya kata tidak pada kalimat “tuti tidak akan datang nanti”. Salah satu jenis pengingkaran unsur kalimat adalah pengingkaran pengontrasan. Kata ingkar yang digunakan  untuk pengingkaran bagian kalimat ini adalah bukan, bukan …. melainkan …, tidak … tetapi …. Contohnya seperti “dia tiba bukan kemarin melainkan tadi pagi”.
BAB X Hubungan Antarklausa
1.      Pendahuluan
Dalam penjelasan ini menyangkut berbagai hubungan yang terdapat antara satu klausa dengan klausa yang lain di dalam kalimat setara atau bertingkat. Hubungan antarklausa yang disebut di atas dapat ditandai dengan kehadiran konjungor (kata hubung) pada awal salah satu klausa tersebut. Hubungan antarklausa dapat dilihat dengan adanya pelesapan bagian dari klausa, khususnya subjek.
2.      Hubungan Koordinasi dan Subordinasi
Hubungan antar klausa ditandai dengan kehadiran konjungtor (kata hubung) pada awal salah satu klausa tersebut. Contohnya: pardi tinggal di daerah kumuh dan kakaknya tidak bisa mambantunya. Pada kalimat ini, klausa Pardi tinggal di daerah kumuh di hubungkan dengan klausa kakaknya tidak bisa membantunya dengan mempergunakan konjungtor. Hubungan antara klausa juga dapat dilihat dengan adanya pelepasan bagian dari klausa khususnya subjek. Contoh: Engkau harus menjadi orang pintar, harus tetap beribadat supaya mendapat rejeki yang bersih dan halal.kalimat ini terdiri dari tiga klausa, yaitu (I) engkau harus menjadi orang pintar. (II) (engkau) harus tetap beribadat, dan (III) (engkau) mendapatkan rejeki yang bersih dan halal. Subjek ketiga klusa itu sama yaitu engkau. Engkau di hubungkan konjuktor supaya.
Ada dua cara untuk menghubungkan klausa dalam sebuah kalimat majemuk yaitu dengan koordinasi dan subordinasi. Hubungan koordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih yang masing masing mempunyai kedudukan yang setara dalaam struktur konstituen kalimat. Hasilnya adalah satuan yang sama kedudukannya. Secara diagramatik  bahwa konjungtor tidak termasuk dalm klausa mana pun,tetapi merupakn konstituen tersendiri. Hubungan subordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih sehingga terbukti kalimat majemuk yang salah satu klausa menjadi bagian dari klausa yang lain. Jadi klausa klausa dalam kalimat majemuk yang disusun dengan cara subordinasi ini tidak mempunyai kedudukan yang setara. Dengan kata lain, dalam kalimat majemukyang disusun secara subordinatif ,terdapat klausa yang berfungsi sebagai konstituen klausa yang lain.
3.      Ciri-Ciri Hubungan Koordinasi dan Subordinasi
Ciri-ciri hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri sintaksik hubungan koordinasi  yaitu hubungan koordinasi menggabungkan dua klausa atau lebih ,salah satu klausa yang dihubungkan oleh konjungtor koordinatif dapat berupa kalimat majemuk, pada umumnya posisi klausa yang diawali oleh coordinator dan,atau, dan tetapi tidak dapat diubah.apabila posisinya diubah,perubahan itu mengakibatkaan munculnya kalimat majemuk setara yang tidak berterima, urutan klausa yang tetap dalam hubungan koordinasi yang telah dibicarakan erhubungan erat dengan pronominalisasi. Acuan kataforis ( pronominal yang mendahului nomina yang di acunya) tidak dproleh dalam hubungan koordinatif, dan sebuah koordinator dapat didahului oleh koordinator lain untuk memperjelas atau mempertegas antara kedua klausa yang di gabungkan. Sedangkan ciri-ciri sintaksis hubungan subordinasi yaitu subordinasi menghubungkan dua klausa dan salah satu diantaranya merupakan bagian dari klausa yang lain. Salah satu klausa yang dihubungkan oleh konjungtor subordinatif dapat pula berupa kalimat majemuk, pada umumnya  posisi klausa yang diawaali oleh subordinator dapat berubah, dan hubungan subordinatif memungkinkan adanya acuan kataforis. Adapun ciri-ciri semantis hubungan koordinasi yaitu ciri semantis dalam hubungan koordinasi ditentukan oleh makna dari macam koordinator yang kita pakai dan makna lesikal ataupun gramatikal dari kata dan klausa yang kita bentuk. Sedangkan ciri-ciri semantis hubungan subordinasi Yaitu dalam hubungan subordinasi, klausa yang mengikuti subordinator memuat informasi atau pernyataan yang di anggap sekunder oleh pemakai bahasa, sedangkan klausa yang lain memuat pesan utama kalimat tersebut.
4.      Hubungan Semantis Antarklausa dalam Kalimat Majemuk Setara
Antarklausa dalam kalimat majemuk setara mempunyai beberapa hubungan semantis yaitu hubungan penjumlahan, hubungan perlawanan,  dan hubungan pemilihan. Hubungan penjumlahan adalah hubungan yang menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa, atau proses. Hubungan penjumlahan dapat menyatakan sebab-akibat, urutan waktu, pertentangan, dan perluasan. Sedangkan hubungan perlwanan adalah hubungan yang menyatakan bahwa apa yang dinyatakan dalam klausa pertama berlawanan, atau tidak sama, dengan apa yang dinyatakan dalam klausa kedua. Hubungan perlawanan ini dapat menyatakan penguatan, implikasi, dan perluasan. Adapun hubungan pemilihan adalah hubungan yang menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan atau lebih yang dinyatakan oleh klausa-klausa yang dihubungkan.
5.      Hubungan Semantis Antarklausa dalam Kalimat Majemuk Bertingkat
Hubungan semantis antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat antara lain hubungan waktu, hubungan syarat, hubungan pengandaian, hubungan tujuan, hubungan pembandingan, hubungan penyebab, hubungan hasil, hubungan cara, hubungan alat, hubungan komplementasi, hubungan atributif, hubungan perbandingan, dan hubungan optatif. Hubungan waktu adalah klausa subordinatif yang menyatakan waktu terjadinya peristiwa keadaan yang dinyatakan dalam klausa utama.  Hubungan pengandaian  yang terdapat dalam kalimat majemuk  yang klausa subordinatifnya menyatakan andaian terlaksananya apa yang dinyatakan klausa utama. Hubungan tujuan yang terdapat dalam kalimat yang klausa subordinatif menyatakan suatu tujuan atau harapan dari apa yang disebut dalam klausa utama. Hubungan konsesif terdapat dalam kalimat yang klausa subordinatifnya mengandung pernyataan yang tidak akan mengubah apa yang dinyatakan dalam klausa utama. Hubungan perbandingan terdapa dalam kalimat majemuk yang klausa subordinatifnya menyatakan perbandingan, kemiripan, atau preferensi antara apa yang dinyatakan pada klausa utama dengan dinyatakan pada klausa subordinatif itu. Hubungan penyebab terdapat dalam kalimat yang klausa subordinatifnya menyatakan sebab atau alasan terjadinya apa yang dinyatakan dalam klausa utama. Hubungan hasil  
Bab XI Wacana
1.      Pendahuluan
Pada bab–bab yang terdahulu,kita telah melihat bahasa berdasarkan tata bunyi (fonologi),b entuk kata (morfologi), struktur kalimaat (sintaksis), bahkan berdasarkan kandungan maknanya  (semantik) sehingga seolah-olah mengangap bahasa merupakan suatu yang dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan komponennya  merupakan satu kesatuanyang saling berhubungan di dalaam konteks pemakaiannya.dalam kenyataannya bahasa kita gunakan sebagai alat komunikasi . Dengan demikian, bahasa tidak lagi dipandang sebagai alat komunikasi yang diperinci dalam bentuk bunyi, frasa ataupun kalimatnya secara terpisah-pisah.
2.      Konteks Wacana
Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peritiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.tiga unsur dari wacana tersebut perlu mendapat penjelasa. Bentuk amanat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat terwujud pembicaraan bersemuka atau lewat telepon, surat, dan televisi.


3.      Kohesi dan Koherensi
Kohesi adalah keserasian hubungan antar unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren, serta kepaduan bentuk yang ditandai keterkaitan dari kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam suatu kalimat. Kohesi merupakan hubungan berkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara ekspilisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana atau kepaduan makna dalam wacana. Sedangkan koherensi juga merupakan perkaitan antarproposisi, tetapi kaitan tersebut tidak secara ekspilit atau hanya dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya. Kohesi dapat pula dilihat  berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur kalimat itu dihubungkan melalui penggunaan sebuah konjungtor.
4.      Topik, Tema, dan Judul
Sebuah wacana yang baik pasti mempunyai topik, topik adalah proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Tema adalah ide pokok suatu wacana, biasanya tema tidak jauh berbeda dengan judul. Sedangkan judul adalah permulaan dalam suatu wacana yang memberikan informasi tentang apa wacana tersebut, sehingga orang yang membacanya tidak bertanya-tanya tentang apa wacana itu ditulis oleh penulis. Topik, tema, dan judul adalah hal yang penting dalam sebuah wacana, karena dari ketiga hal tersebut dapat memberi informasi tentang hal yang dibahas dalam wacana tersebut tanpa terlebih dahulu membacanya.
5.      Referensi dan Inferensi Kewacanaan
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam wacana seperti pelaku perbuatan, penderita, perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan. Unsur itu sering kali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh sebab itu, pemilihan kata serta penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga coheren. Berbeda dengan pengacuan, Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memeahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
6.      Skemata: Representasi Pengetahuan
Skemata adalah teori tentang pengetahuan, bagaimana pengetahuan disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberikan kemudahan dalam memahami pengetahuan itu. Suatu skema merupakan struktur data yang mewakili konsep-konsep generik yang tersimpan dalam ingatan. Skemata juga berfungsi sebagai pentas struktur intern suatu skema pada dasarnya sesuai dengan naskah suatu pentas. Pentas kecil itu menyerupai skema yang mendasari pemahaman tentang konsep “membeli” atau juga “menjual”. Terdapat variable-variabel yang sesuai dengan isi pementasan yaitu pembeli, penjual, uang, dagangan, dan tawar menawar. Adapun struktur pengendalian skemata yaitu bagaimana memperoleh kofigurasi skemata yang memadai dan bagaimana menilai kecocokan atau kesesuaian. Suatu peristiwa terjadi pada panca indra. Terjadinya persitiwa itu secara otomatis akan mengaktifkan skmata tertentu. Skemata bawahan itu, pada gilirannya, akan mengaktifkan berdasarkan data skemata atasan tertentu, yang merangkum skema tersebut sebagai bagiannya. Skemata sebagai sarana pemahan wacana ialah proses menemukan konfigurasi schemata yang menawarkan uraian yang memadai tentang bacaan yang bersangkutan. Dalam mempelajari wacana kita berkenalan dengan berbagai model mental sebagai sarana memahami bacaan.
C.     KOMENTAR PENULIS TENTANG LAPORAN BUKU
Pada bagian ini di paparkan mengenai isi buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2010) dengan judul “Tata Bahasa Baku Bahasa Indoneisa” dan memandingkan dengan beberapa isi buku lainnya. Buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) membahas tata bahasa baku. Buku ini berisi sebelas bab dan dilengkapi dengan beberapa subbab. Bab 1 membahas tentang “Pendahuluan” yan membahas mengenai konsep dasar bahasa Indonesia seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam bahasa, cirri situasi diglosia, pembakuan bahasa, bahasa baku, fungsi bahasa baku, bahasa yang baik dan benar, dan hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Bab II yang dibahas “Berbagai Pengertian Dasar” yang membahas mengenai beberapa pengertian di pelbagai bagian yang berisi mengenai tata bunyi, dan pembentukan kata, kemudian mejelaskan mengenai pengertian mengenai kalimat dan pengertian mengenai wacana. Bab III yang dibahas mengenai “Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi” yang  membahas mengenai pengertian tentang bunyi bahasa, jenis bunyi bahasa dan tata bunyi bahasa Indonesia. Bab IV yang dibahas mengenai “ Verba” yang membahas mengenai batasan dan ciri verba, verba dari segi perilaku semantisnya, verba dari segi perilaku sintaktisnya, verba dari segi bentuknya, morfologi dan semantik verba transitif, morfologi dan semantik verba taktransitif, verba majemuk, hubungan ketransitifan dengan afiksasi, frasa verbal dan fungsinya, daftar contoh dasar verba dan verba. Bab V yang dibahas mengenai “Adjektiva” yang membahas mengenai batasan dan ciri adjektiva, adjektiva dari segi perilaku semantisnya, adjektiva dari segi perilaku sintaktisnya, pertarafan adjektiva, adjektiva dari segi bentuknya, dan adjektiva dan kelas kata lain. Bab VI yang dibahas mengenai “Adverbia” yang membahas mengenai batasan dan ciri adverbia, adverbia dari segi bentuknya, adverbia dari segi perilaku sintaktisnya, adverbia dari segi perilaku semantisnya, adverbia konjungtif, adverbia pembuka wacana, adverbia dan kelas kata lain, dan daftar adverbia. Bab VII yang dibahas mengenai “ Nomina, pronominal, dan Numeralia” yang membahas mengenai  nomina, pronomina, dan numeralia termasuk bagian-bagiannya. bab VIII yang dibahas mengenenai “Kata Tugas” yang membahas mengenai batasan dan ciri kata tugas, klasifikasi kata tugas, interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Bab IX yang dibahas mengenai “Kalimat” yang membahas mengenai batasan dan ciri kalimat, bagian-bagian kalimat, struktur kalimat dasar, fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat, peran semantik unsur kalimat, jenis kalimat, perluasan kalimat tunggal, dan pengingkaran. Bab X yang dibahas mengenai “Hubungan Antarklausa” yang membahas mengenai pendahuluan, hubungan koordinasi dan subordinasi, ciri-ciri hubungan koordinasi, hubungan semantis antarklausa dalam kalimat majemuk setara, hubungan semantis antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat, dan pelesapan. Bab XI yang dibahas mengenai “Wacana” yang mempunyai sub-subbab seperti, pendahuluan, konteks wacana, kohesi dan koherensi, topik, tema, dan judul, referensi dan inferensi kewacanaan, dan skemata: representasi pengetahuan.
Selanjutnya, akan dibandingkan isi buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dengan sebuah isi buku yang bertopik sama. Sebuah isi buku yang dimaksud tersebut adalah buku yang ditulis Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta Timur: PT Bumi Aksara. Yang bandingannya yaitu, Buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) membahas tata bentuk bahasa indonesia secara mendasar. Namun ada beberapa perbedaan pada buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003). Hasan Alwi, dkk (2003) memberikan pemahaman konsep secara umum mengenai tata bahasa baku bahasa indonesia. Selain itu juga, pembahasannya dilaukan secara terperinci, dan bahkan disertai dengan contoh yang lengkap. Dengan adanya contoh-contoh yang dibuat memberikan penekanan bahwa konsep yang dinyatakan benar-benar diterima oleh pembaca. Kemudian buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dapat memberikan pemahaman yang konsep terhadap seseorang yang ingin melakukan penelaahan secara mendalam mengenai tata bahasa baku, dan bagaimana cara menerapkan atau menggunakan bahasa baku, serta bagaiamana menguji kita untuk menulis tulisan yang berkategori sudah baku.
Selanjutnya, lebih jelas lagi kita paparkan perbandingan antara buku Hasan Alwi, dkk (2003) dengan buku Masnur Muslich  (2010) yaitu Buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) membahas mengenai tata bentuk bahasa indonesia secara mendasar. Namun ada beberapa perbedaan pada buku Hasan Alwi, dkk (2003). Hasan Alwi (2003) memberikan pemahaman konsep secara umum mengenai tata bahasa baku bahasa Indonesia. Selain itu juga, pembahasannya dilakukan secara terperinci, lengkap, dan bahkan diserta dengan contoh-contoh disetiap pembahasannya yang dapat memberikan pemahaman lebih kepada pembaca. Dengan adanya contoh-contoh yang diberikan maka pembaca tidak bertanya-tanya bagaimana bentuknya. Kemudian buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) dapat memberikan pemahaman yang konsep terhadap seseorang yang ingin melakukan penelaahan secara mendalam mengenai tata bahasa baku bahasa indonesia, dan bagaimana cara menerapkan dalam menulis.
Hal ini berbeda dengan buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) yang hanya membahas dan membicarakan tata bentuk bahasa indonesia secara sempit. Pada buku ini tidak dibahas apakah konsep tata bentuk bahasa indonesia. Secara umum buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) berisi dua belas bab dengan disertainya dengan berbagai subbab, yaitu Bab 1 membahas tentang mengenal bentuk linguistis berisi tentang konsep dasar bentuk linguistik, morfem, morf, alomorf, kata, prosedur dan prinsip pengenalan morfem, wujud morfem, dan unsur. Pada Bab 2 membahas tentang “Jenis Morfem Bahasa Indonesia”, yaitu membahas mengenai jenis morfem berdasarkan kemampuan berdistribusi, produktivitasnya, relasi antarunsurnya, sumbernya, jumlah fonem yang menjadi unsurnya, keterbukaannya bergabung dengan morfem lain, dan berdasarkan bermakna tidaknya suatu morfem.
            Pada Bab 3 menjelaskan tentang “Distribusi Morfem Bahasa Indonesia”, yaitu membahas distribusi morfem imbuhan, ulang, dan dalam bentuk majemuk. Pada Bab 4 Bab ini menjelaskan tentang “Konsep Dasar Proses Morfologis”, yaitu membahas tentang pengertian morfologis, ciri suatu kata yang mengalami proses morfologis, macam proses morfologis, dan pembentukan kata di luar proses morfologis. Pada Bab 5 membahas mengenai “Proses Pembubuhan Afiks” yang di bahas mengenai pengertian proses pembubuhan afiks, pengertian afiks, dan perubahan fonem akibat proses pembubuhan afiks. Pada Bab 6 menjelaskan mengenai “Proses Pengulangan (Reduplikasi)”, yang dijelaskan adalah pengertian proses pengulangan, ciri bentuk dasar kata ulang, dan jenis pengulangan.
            Pada Bab 7 yang dibahas mengenai “Proses Pemajemukan (Komposisi)”, yaitu membahas mengenai pengertian proses pemajemukan, ciri kata yang mengalami proses pemajemukan, dan jenis pemajemukan dalam bahasa Indonesia. Pada Bab 8 yang dijelaskan mengenai “Arti Morfem Imbuhan, Morfem Ulang, dan Morfem Konstruksi Majemuk”, menjelaskan mengenai arti morfem imbuhan, arti morfem ulang, dan arti morfem konstruksi majemuk. Pada Bab 9 yang dijelaskan tentang “Fungsi Morfem Imbuhan, Morfem Ulang, dan Morfem Konstruksi Majemuk” yang menjelaskan fungsi masing-masing dari ketiganya.
Pada Bab 10 yang dibahas mengenai “Perubahan Bentuk Kata” yang membahas mengenai anologi, adaptasi, kontaminasi, hiperkorek, varian, asimilasi, disimilasi, adisi, reduksi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis, haplologi, dan kontraksi. Pada Bab 11 yang dijelaskan tentang “Penjenisan Kata” yang menjelaskan mengenai berbagai versi tentang jenis kata dan pengujian jenis kata. Pada Bab 12 yang dibahas mengenai “Problema Morfologis dalam Bahasa Indonesia” yang membahas mengenai problema akibat bentukan baru, problema akibat kontaminasi, problema akibat unsur serapan, problema akibat analogi, problema akibat perlakuan kluster, problema akibat proses morfologis unsur serapan, dan problema akibat perlakuan bentuk majemuk.
D.    PENUTUP
Pada bagian ini dikemukakan mengenai: (1) pandangan penulis tentang buku yang dilaporkan, serta (2) manfaat dan kritik dari hasil buku yang dilaporkan. Lebih jelas berikut akan dikemukakan hal-hal yang dimaksud.
1.      Pandangan Penulis tentang Buku yang Dilaporkan
Penulis memandang mengenai buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk  (2003) merupakan buku yang dapat digunakan dalam melakukan pemahaman konsep mengenai tata bahasa baku bahasa Indonesia, serta bagaimana cara membuat/menulis kata, kalimat maupun wacana sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) memberikan pengetahun pengantar atau pendahuluan bagi pembaca untuk melakukan pemahaman awal mengenai tata bahasa baku bahasa Indonesia. Oleh sebab itu sebelum kita mengetahui tata bahasa baku tersebut, kita telah mengetahui bagaimana konsep dasar bahasa Indonesia itu sendiri, seperti kedudukan bahasa Indonesia, ragam bahasa apa itu bahasa baku dan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, buku ini memudahkan kita untuk memahami informasi karena pembahasan dijelaskan dengan ciri dari bab ke sub-subbabnya. Setelah mempelajari buku ini, kita akan tahu bagaimana cara berbahasa yang sesuai kaidah, unsur, dan struktur dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya. Pembahasan disajikan dengan lengkap, seperti pemahaman melalui contoh. Oleh sebab itu kita bisa lebih paham apa yang dijelaskannya.
Selain itu, buku yang dikemukan oleh Hasan Alwi, dkk (2003) mempunyai beberapa kelemahan yaitu tidak disebutkannya tentang apa sub-sub bab tersebut, apakah itu cirinya, bentuknya, jenis atau macam-macamnya. Oleh karena itu pembaca kesulitan mengambil informasi yang sebenarnya. Selain itu buku ini menjelaskan pembahasan terlalu banyak sub-sub dalam sub-subbab, sehingga sulit untuk meringkas atau meresensi buku ini.
            Berbeda dengan buku yang ditulis Masnur Muslich (2010) dengan judul “tata bentuk bahasa Indonesia: ke arah tata bahasa deskriptif” menjelaskan pembahasan secara terpisah tidak memakai sub-sub bab terlalu banyak oleh sebab itu pembaca mudah untuk memahami pembahasan yang dipaparkannya. Menurut saya lebih mudah meresensi buku Masnur Muslich (2010) ini. Dan buku ini dilengkapi dengan bahan diskusi, sehingga kita mengetahui lebih dalam yang dijelaskannya.
2.      Manfaat dan Kritik
Berdasarkan manfaatnya, buku yang ditulis  Hasan Alwi, dkk (2003) merupakan salah satu buku yang dapat dijadikan sebagai referensi terhadap penelaahan tata bahasa baku bahasa Indonesia dan bagaimana mempelajari serta mendalami bagaimana pembahasan ini. Adanya buku ini memberikan  pemahaman kepada pembaca bagaimana bentuk atau tata bahasa baku bahasa Indonesia tersebut, sehingga pembaca dapat menerapkan memalui bahasa sehari-hari ataupun dalam kegiatan menulis. Setelah membaca dan mempelajari buku ini kita mengetahui pembahasan yang dijelaskan seperti, apa itu verba, adjektiva, nomina, kalimat, wacana, dan lainya. Buku yang ditulis Hasan Alwi, dkk (2003) memberikan pengetahuan pengantar maupun penjelasan lanjut bagi pembaca untuk melakukan penelaahan terhadap  tata bahasa baku yang dijelaskan pada buku ini. Buku ini menuntut kita untuk mengetahui bagaimana cara membuat kata, kalimat, atau wacana dengan baik dan benar artinya sesuai dengan struktur dan bentuk sesuai dengan kaidah dan unsur dalam bahasa Indonesia. Penjelasan dalam buku ini juga disertai dengan contoh sehingga para pembaca bisa mengerti maksud dari apa yang dijelaskan. Jika ditinjau dari penggunaan bahasa buku sudah dikategorikan sudah memenuhi unsur bahasa Indonesia.
Selain itu, buku ini dapat bermanfaat secara praktis dan teoretis. Berdasarkan manfaat praktisnya, buku ini diharapkan dapat memberikan masukan, pertimbangan, dan pemahaman dalam memahami tata bahasa baku bahasa indonesia dan bagaiamana melakukan pengaplikasian pengetahuan dan menguji sebuah pengetahuan menjadi suatu ilmu. Adapun manfaat secara teoretis buku ini mampu menimbulkan konsep tentang  tata bahasa baku secara umum, memperkaya teori-teori pembaca mengenai bahasa baku dan bagaimana menguji bagaimana seseorang dalam membuat kata, kalimat dan wacana secara baik dan benar. Selain hal tersebut,  buku ini jika ditinjau dari cara penyusunan sub-sub babnya sulit dipahami karena hal yang dibahas tidak ditentukan apakah sub-subbab tersebut adalah jenis, macam, bentuk ataupun ciri-cirinya.
E.     DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai  Pustaka
Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta Timur: PT Bumi Aksara