Sabtu, 07 Januari 2017

Etika PR, Etika PR Dalam Advertising, Etika E-PR, dan Etika PR dalam Penggunaan New Media



Etika PR, Etika PR Dalam Advertising, Etika E-PR, dan Etika PR dalam Penggunaan New Media
Mata Kuliah: Etika Profesi PR
Dosen Pengampu: Yuahari Fitri Andesy, S.I.Kom, M.I.Kom


Disusun Oleh:
Kelas: VII PR D

WAMARAMAITA
NIM: 11343200260

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUSKA RIAU
2016
ETIKA PROFESI PUBLIC RELATIONS
A.    Etika PR
1.      Aksiologi Etika Komunikasi
            Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu:
Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another. Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy (1994) bahwa para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society.[1] Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?[2]
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
  1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)
  2. Pesan (mengatakan apa?)
  3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
  4. Komunikan (kepada siapa?)
  5. Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu.
            Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain.
Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum Tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika.
Istilah etika berasal dari kata ethikus (latin) dan dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan buruk tingkah laku manusia.
Jadi, etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat.

2.      Logika
a.       Arti logika
            Istilah logika berasal dari bahasa yunani, logos, yang artinya sabda, pikiran, ilmu. Secara etimologis, logika adalah ilmu tentang pikiran atau ilmu menalar. Sejak zaman dahulu, logika diajarkan disekolah-sekolah dan universitas-universitas sebagai peangangan dan bekal dalam usaha menggali ilmu serta meningkatkan kemandirian intelektual dan rohani seseorang.
            Selain itu kata logika diturunkan dari kata “logike” (bahasa yunani), yang berhubungan dengan kata benda logos, suatu yang menunjukkan kepada kita adanya hubungan yang erat dengan pikiran dan kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Jadi, secara etimologi, logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran melalui bahasa. Logika juga bisa dikatakan penarikan  kesimpulan dari apa yang dianggap benar dari suatu proses penalaran.
            Logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Logika itu adalah cara berpikir manusia yang disusun berdasarkan pola tertentu. Berpikir adalah objek material logika. Berpikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir, manusia ‘mengolah’, ‘mengerjakan’ pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan ‘mengolah’ dan ‘mengerjakannya’ ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu dengan penegertian yang lainnya.
            Logika sering didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum pemikiran. Namun, seperti dikemukan oleh irving M. Copi, definisi ini tidak akurat. Ada dua Alasan yang dikemukannya. Pertama, pemikiran merupakan suatu proses yang dipelajari oleh para pakar psikologi. Logika bukan merupakan ilmu tentang hukum- hokum pemikiran, karena psikologi juga merupakan ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum pemikiran. Lagi pula, logika bukan merupakan suatu cabang psikologi. Lapangan studi logka berbeda dengan lapangan studi psikologi.
            Contohnya penerapan ilmu logika dalam kehidupan misalnya pada manusia yang mengalami penyakit serak pada tenggorokan maka pengobatannya dapat dilakukan dengan minum air putih logikanya air putih adalah cairan yang diperlukan manusia untuk menjaga keseimbangan tubuh, memberi kekuatan kepada leukosit untuk menjalankan tugasnya menghasilkan makrofag untuk membunuh patogen yang masuk, menjadikan kekebalan tubuh meningkat sehingga luka yang dihinggapi bakteri akan sembuh dan akhirnya tenggorokan menjadi lapang dan dikatakan sembuh.
b.      Macam-Macam logika
Logika dapat dibedakan atas dua macam, yaitu logika kodratiah dan logika ilmiah
1)      Logika kodratiah
            Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dengan akal budinya manusia melakukan kegiatan berpikir dalam rangka mencari kebenaran. Dalam hal ini, akal budinya dpat bekerja menurut huku-hukum logikayang bersifat spontan.
            Akan tetapi, mengandalkan logika kodratiah saja tidaklah cukup bagi kita, terutama ketika kita menghadapi masalah-masalah yang sulit untuk dipecahakan, apalagi dalam meilai sesuatu, kita cenderung dipengaruhi oleh perasaan-perasaan subjektif, yang membuat kita mudah jatuh dalam kesesatan atau kesalahan. Padahal dalam diri manusia selalu timbul dorongan untuk mencari kebeneran.

2)      Logika Ilmiah
            Untuk menghindari kesesatan dan untuk memperoleh kebenaran dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan diperlukan logika ilmiah. Lohika ilmiah membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus dan mempertajam pikiran. Dengan demikian, pikiran atau akal budi kita dapat bekerja secara lebih tepat, lebih mudah, dan lebih aman. Logika ilmiah inilah yang bperlu kita pelajari secara sistematis.
             
3.      Etika
a.       Pengertian Etika
            Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas moral yang di pakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya perilaku manusai atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia.[3] Ahmad Amin mengartikan etika ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oeh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[4] Etika mengacu pada sistem nilai dengan apa orang menentukan apa yang benar dan apa yang tidak benar, yang adil dan tidak adil, yang jujur dan tidak jujur. Etika terungkap dari perilaku moral dalam situasi terterntu. Peran etika dalam kehidupan pribadi dan praktisi sendiri juga sama pentingnya.
Effendy (1998) menyebutkan istilah etika  mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian secara luas dan pengertian secara sempit. Secara luas dilihat dari istilah  bahasa inggris yakni ethics. Secara etimologi berasal dari yunani ethica yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain etika adlaah filsafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak.[5]
Etika dalam arti sempit atau dalam bahasa inggris ethic (tanpa “s”) secara etimologis berasal dari bahasa latin “ethicus” atau bahasa yunani “ethicos  yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral.
Pendapat Kenneth E. Anderson, yang disitir oleh Effendy (1998), yang didefinisikan etika sebagai: suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi dan penerapannya.[6]
Contoh etika yang terjadi baru baru ini adalah berita mengenai Luna Maya dengan Ayu ting-ting, yang mana Luna Maya dan Ayu Ting-ting terikat kerja sama dalam sebuah usaha, namun luna maya menganggap ayu ting-ting tidak tau etika karena telah menandatangani kontrak bersama pihak lain, tanpa sepengetahuan luna. Jika ini memang terjadi maka ayu melanggar etika yang mana telah berkerja sama dengan pihak lain tanpa tidak mengkonfirmasi terhadap luna.
Contoh etika lainnya yaitu mengucapkan salam ketika masuk rumah, makan menggunakan tangan kanan dan sebagainya.
b.      Teori-teori Etika
1.      Etika Deontologi
            Istilah Deontologi berasal dari kata Yunani deon”,yang berarti kewajiban, sedangkan logos” berarti pengetahuan. Menurut Etika Deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Suatu tindakan baik secara moral, sehingga menjadi kewajiban kita untuk melakukan. Sebaliknya suatu tindakan buruk secara moral, maka menjadi kewajiban kita untuk menghindari atau tidak melakukannya.

2.      Etika Teleologi
            Teleologi berasal dari kata Yunani “telos”, yang berarti tujuan. Etika Teleologi berbeda dengan Etika Deontologi, karena Etika Teleologi tidak menilai perilaku atas dasar kewajiban, tetapi atas dasar tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Jadi Etika Teleologi menilai suatu tindakan baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat yang baik. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk, apabila bertujuan atau berakibat buruk.
Etika Teleologi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaituegoisme etis dan utilitarianisme.
·         Egoisme etis menilai bahwa suatu tindakan dianggap baik, apabila bertujuan atau berakibat baik bagi dirinya sendiri
·         Utilitarianisme menilai suatu tindakan baik, berdasarkan penilaian apakah perbuatan tersebut membawa akibat yang baik bagi banyak orang..

3.      Etika Keutamaan
            Berbeda dengan dua teori etika di atas, Etika Keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan.Etika Keutamaan juga tidak mengacu kepada norma-norma dan nilai-nilai universal untuk menilai moral. Etika Keutamaan lebih memfokuskan pada pengembangan watak moral pada diri setiap orang.
c.       Etika sebagai Cabang Filsafat
1.      Moralitas: Ciri Khas Manusia
            Banyak perbuatan manuia berkaitan dengan baik atau buruk, tapi tidak semua. Ada juga perbuatan yang netral dan etis. Contoh dalam halnya memakai sepatu, memakai sepatu yang kanan, setelah itu baru yang kiri atau sebaliknya. Perbuatan seperti itu tidak memiliki baik dan buruknya. Cara memakai sepatu seperti itu adalah suatu kebiasaan seseorang. Perbuatan itu boleh disebut “amoral”, dalam arti seperti itu sudah dijelaskan: tidak mempunyai revalansi etis.
2.      Etika: Ilmu tentang Moralitas
            Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Suatu cara lain untuk merumuskan etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Tetapi ada pelbagai cara untuk untuk mempelajari moralitas atau pelbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Pendekatan itu adalah:
a.       Etika Deskriptif
            Etika deskriptif melukiskam tingkah lau moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebuadayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukisakan, ia tidak member penilaian.
b.      Etika Normatif
            Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang di mana yang berlangsung diskusi diskusi yang paling menarik tentang masalah masalah moral. Etika normatif langsung melibatkan diri dengan memngemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
            Etika normatf dapat dibagi lebih lanjut dalam etika umum dan etika khusus.
1.      Etika umum memandang tema-tema umum sseperti: apa norma etis? Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungan satu sama lain?  Mengaoa norma moral mengikat kita? Apa itu nilai dan apakaha kekhususan nilai moral? Bagaiamana hubungan antara tanggup jawab manusia dan kebebasannya? Dapat dipastikan bahwa manusia sungguh-sungguh bebas? Apakah yang dimaksud dengan hak dan ke wajban dan bagaimana perkaitannya satu sama lain syarat-syarat mana harus dipenuhi agar manusia dapat dianggap sungguh-sungguh baik dari sudul moral? Tema-tema seperti itulah menjadi obyek penyelidikan etika umum.
2.      Etika khusus berusaha menerpakan prinsip-pinsip etis yang umum Atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika dpaat juga di premis normative berkaitan dengan premis faktual untuk sampai pada kesimpulan yang etis bersifat normatif juga. Etika khusus mempunyai tradisi panjang dalam sejarah filsafat moral. Kini tradisi ini kerap kali dilanjutkan dengan memakai suatu nama baru, yaitu “etika terapan” (applied ethicts).
c.       Metaetika
            Cara lain mempraktekan etika sebagai ilmu adakah metaetika. Awalan meta- (dalam bahasa yunai) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi dari pada perilaku etis, yaitu taraf “bahasa etis”. Atau bahasa yang kita pergunakan dibidang moral. Dapat dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan etis.
4.      Estetika
            Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasa dari kata yunani aesthesis, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual (Intelectual understanding), atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu atau kecakapan.
            Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang di terjemahkan kedalam bahasa inggris dengan judul (Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karya yang berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758). 67[7]
            Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normative meempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologism dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
            Contoh estetika seperti perasaan senang dalam sebuah kesenian yang menurutnya indah bagus.
5.      Etika PR Statement Bersifat Konotatif
             Sesuai dengan acuan Kode Etik Profesional Humas secara praktik dalam mengeluarkan statement press atau pernyataan pers untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada publiknya, humas mengacu pernyataan-pernyataan yang bernada positif, yaitu melalui “Avoid negative news, and with drawal publication” Artinya, yang bersangkutan tidak akan mengeluarkan berita bersifat negatif, sekaligus tidak akan menyebarluaskan publikasi yang tidak menguntungkan, dan menghindari pernyataan Humas (PR Statement) yang menimbulkan salah pengertian (misunderstanding), konotatif, kontroversial, dan polemic berkepanjangan dengan berbagai pihak lainnya.. Pejabat humas yang berfungsi sebagai Spokesman dikenal dengan nama jubir (juru bicara). Untuk mengeluarkan suatu pernyataan, seorang spokesman harus berpedoman pada:
  • Berita
  • Pemberitaan
            Hal yang harus dihindarkan bagi spokesman untuk membantah suatu pernyataan yaitu jangan mengatakan “ no comment ” atau “off the record” Hendaknya humas dapat tetap memberikan pernyataan yang diplomatis dan argumentative rasional
            Fungsi juru bicara dilihat dari kelembagaan, metode komunikasi dan profesional adalah:
  • Penyampaian keputusan atau kebijaksanaan (intermediator)
  • Mewakili “tokoh” untuk berbicara (communicator).
  • Penyelenggara hubungan baik (relationship).
  • Melindungi nama baik lembaga (back up management).
  • Nara sumber dan menciptakan nama baik (good news resource and image maker).
  • Profesional (bertindak sesuai dengan kode etik dan etika profesional)
            Pedoman bagi pejabat humas sebagai spokesman yang dikenal dengan jubir (juru bicara), secara etis pernyataan positif tersebut, pertama untuk berita, publikasi atau pesan-pesan yang bersifat positif, maka pihak humas (Public Relations Officer) dapat mengungkapkan secara terbuka kepada publiknya (aspek publikasi positif). Selanjutnya yang kedua, untuk pemberitaan publikasi atau pesan-pesan yang bernada negatif atau tidak menguntungkan nama baik perusahaan, lembaga/institusi atau tokoh yang diwakilinya, di sinilah peranan Public Relations Statement untuk melindunginya (demi mempertahankan citra baik). Mengingat hal tersebut tidak dapat diungkapkan secara terbuka kepada publiknya, apalagi terhadap pihak pers (media massa). Hal itu untuk.-menghindari berita kontroversi, sensasional hingga polemik yang tidak menguntungkan nama atau citra baik pihak yang diwakili oleh jubir bersangkutan.
            Sebagai contoh, seorang pejabat humas atau juru bicara (spokesman) suatu institusi atau organisasi tidak dibenarkan menyangkut suatu isu konflik yang terjadi atau secara sengaja ingin dipaparkan kepada publik tanpa seijin pihak yang berkepentingan. Termasuk tidak dibenarkan untuk menutup-nutupi isu dan informasi "bermasalah" (to kill the information), konflik atau krisis yang terjadi di suatu lembaga atau organisasi yang mencuat ke permukaan, khususnya di media massa atau yang sudah menjadi rahasia umum di mata publiknya, yaitu dengan cara memberikan pernyataan yang mengelabui publiknya, bahkan berupaya memelintir pernyataan (spinning of statement) dari narasumbernya dengan memutarbalikkan fakta yang ada demi kepentingan sepihak.
            Sebagai juru bicara, tugasnya hanya menyampaikan pesan (intermediator or communicator) yang berasal dari narasumbernya. Kemudian, apa pun alasannya tidak mengeluarkan pendapat pribadinya (melakukan interpretasi) sehingga dapat merugikan pihak lain, apalagi seolah-olah bertindak sebagai pembuat berita (news maker).
            Namun, pernyataan humas (spokesman) untuk menganulir atau membantah isu negatif dan masalah isu yang kurang menguntungkan tersebut tidak dibenarkan melalui ucapan No Comment, atau Off the Record atau apa pun bentuknya yang bernada To kill the information dengan cara mengalihkan perhatian ke pihak lain. Hal seperti ini banyak terjadi di saluran pusat informasi atau berita di seputar kekuasaan pemerintah atau eksekutif perusahaan yang berupaya melakukan "GTM" alias gerakan tutup mulut dengan tidak mau memberikan keterangan pers sehingga pihak pers berupaya mencari sumber lain (news resources other). Konsekuensinya dapat menciptakan berita yang tidak terkontrol (uncontroling news) dan sensasional yang berdampak merugikan nama (citra) baik bersangkutan, menyebabkan timbulnya kontroversi dan polemik yang berkepanjangan. Biasanya kalau sudah muncul berita negatif di media massa yang bersifat memojokkan, merugikan nama baik, dan reputasi narasumber atau organisasi/lembaga, maka yang dianggap salah adalah pihak pers.
            Mereka sanggup melakukan pemberitaan tanpa check and recheck, check and balance, cover both side tanpa konfirmasi, hingga dituding membuat berita "tenden sius" atau trial by the press, dan sebagainya. Semua itu merupakan alasan pembenaran untuk menyalahkan pihak pers atau wartawan sebagai biang keroknya. Sebetulnya untuk menanggapi isu atau berkembangnya berita negatif di masyarakat tersebut, khususnya menghadapi konfirmasi dari pihak pers, merupakan perkara yang tidak sulit. Artinya, tetap memberikan pernyataan, tetapi gunakan jawaban (pernyataan) yang diplomatis dan argumentatif-rasional. Biasanya kesulitan itu timbul karena pihak humas atau pejabat bersangkutan sudah "emotif dan apriori" atau "curiga" terlebih dahulu terhadap media massa. Kadang-kadang pihak pejabat tinggi, pengusaha, atau eksekutif "bermasalah" tersebut secara over acting memasang atau dikelilingi oleh pengawalpengawalnya (body guard) untuk menghindari serbuan pers (press attact) yang sering kita saksikan di layar kaca TV yang sering pontang-panting dengan wajah penuh ketakutan untuk menghindari kejaran para wartawan. Hal ini merupakan suatu tindakan yang memprihatinkan karena "ketidakmengertiannya" tentang fungsi dan peranan pers mencari berita (news hunter) yang sekaligus mewakili kepentingan hak publiknya.
            Menurut pengalaman di lapangan, perlu disadari bahwa kesulitan sering terjadi karena pernyataan dari narasumber, seperti praktisi PR/Humas, pejabat eksekutif, militer, praktisi hukum, elite politisi, dan anggota legislatif lainnya yang bergerak di bidang sosial dan politik tersebut lebih banyak menimbulkan tanggapan konotatif (tanggapan negatif) dari pihak publik atau masyarakat luas yang merespon ucapan atau pernyataan dari narasumber tersebut. Lain halnya bahasa teknisi atau matematika yang bersifat teknis (kamus) dan jarang menimbulkan “bahasa bias” atau salah pengertian karena ditanggapi dengan persepsi dan pemahaman yang sama atau pasti antara narasumber (communicator) dengan komunikannya.
            Kemudian muncul banyak pertanyaan mengenai fungsi dan peranan jubir (spokesman) tersebut. Khususnya berkaitan dengan kegiatan Jubir Lembaga Kepresidenan, baik dilihat dari kelembagaan (PR as state being), sebagai metode komunikasi (methode of communication), dan profesional (PR Professional). Pertama fungsinya sebagai penyampaian (intermediator) keputusan atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh lembaga resmi atau pejabat yang diwakilinya, kedua bertindak mewakili “tokoh” untuk berhadapan atau berbicara (communicator) kepada public melalui media pers, ketiga menyelenggarakan hubungan baik (relationship) dengan berbagai kalangan publik (internal and external public relations), keempat berupaya melindungi nama baik atas lembaga yang diwakilinya (back up management), kelima sebagai narasumber dan menciptakan citra baik (good news resource and image maker), keenam secara profesional, maka pejabat humas (jubir) bersangkutan harus mampu bertindak secara etis, sesuai dengan kode etik dan etika profesional. Kalau dilihat semasa pemerintahan Orde Baru, secara structural kelembagaan, pejabat jubir presiden sering diwakili oleh pejabat setingkat menteri, yaitu Menpen RI Harmoko dan Mensesneg Moerdiono yang merupakan “wacana sacral” yang sangat hati-hati dalam tugas penyampaian “pernyataan Presiden” kepada media massa, dan jauh dari upaya “pemelintiran ucapan” (spinning of words). Misalnya diawali dengan ucapan “sesuai dengan petunjuk bapak presiden” atau “arahan dari bapak presiden” dan sebagainya. Walaupun kelihatannya terlalu berlebih-lebihan, namun tindakan tersebut merupakan yang paling tepat secara profesional dan sekaligus proporsional sebagai pejabat Jubir Lembaga Kepresidenan, di mana statement (ucapan), keputusan, atau kebijakan yang dikeluarkan dari pusat kekuasaan tersebut sangat berpengaruh luas terhadap kehidupan sosial, politik, ketertiban, dan keamanan hukum serta ekonomi suatu negara.
6.      Etika PR Pemerintah
A.    Pengertian PR (Humas) Pemerintah
Menurut Onong Uchjana Effendy (2006:23) Hubungan Masyarakat (Humas) adalah komunikasi dua arah antara organisasi dengan publik secara timbal balik dalam rangka mendukung fungsi dan tujuan manajemen dengan meningkatkan pembinaan kerjasama dan pemenuhan kepentingan bersama.[8] Humas saat ini banyak dipraktekkan di berbagai organisasi dalam rangka menunjang organisasi untuk mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Profesi Humas bukan hanya mengkliping berita dan atau mengirim surat, tetapi sebenarnya posisi Humas adalah posisi yang strategis dengan banyak criteria yang harus dimiliki seseorang yang akan bergerak sebagai praktisi Humas suatu instansi atau organisasi. Menurut Frank Jefkins, kroteria seorang Humas adalah: ability to communicate, ability to organize, ability to get on with people, personality integrity dan imagination. Pelaksanaan PR dalam organisasi dititik beratkan pada ketrampilan membina hubungan antara manusia didalam organisasi untuk mengatasi timbulnya masalah. Meskipun belumada standarisasi mengenai definisi tentang Humas/PR, berkut ini sedikitnya ada tiga pengertian tentang Humas/PR, yaitu:
a)      Public Relation sebagai method of communication  yaiatu merupakan rangkaian kegiatan komunikasi atau system kegiatan berkomunikasi secara kusus.
b)      Public relations sebagai state of being yaitu perwujudan kegiatan komunikasi (Efendi, 1989: 94).[9]
c)      Public relations adalah seni membina pribadi seseorang hingga taraf yang memungkinkan ia mampu menghadapi keadaan darurat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam bidang psikologi, seni melaksanakan tugas yang sama untuk bisnis, lembaga, pemerintah, baik yang menimbulkan keuntungan atau tidak (Roy Blumenthal dalam bukunya The Practic of Public Relation yang dikutip Efendi).
Dalam pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PR hanyalah terdapat dalam suatu organisasi yang jelas strukturnya danjelas adanya pemimpin dan yang dipimpin, namun dalam suatu organisasi yang tidak dilengkapi dengan bagian PR, tidak berarti tidak ada kegiatan kehumasan. Seluruh anggota organisasilah yang melaksanakan kegiatan kehumasan. PR sebagai sebuah metode komunikasi mempunyai makan bahwa setiap pemimpin dari suatu organisasi, bagaimanapun kecilny dapat melaksanakan organisasi PR suati kegiatan komunikasi yang khas mempunyai cirri-ciri dan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a.       Komunikasi yang dilaksanakan dua arah secara timbale balik.
b.      Kegiatan yang dilakukan terdiri atas penyebaran informasi, pelaksanaan persuasi dan pengkajian opini public.
c.       Tujuan yang dicapai adalah tujuan organisasi sendiri.
d.      Sasaran yang dituju adalah publik di dalam dan publik di luar.
e.       Efek yang diharapkan adalah terjadinya hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publik (Efendi, 1989: 95)[10]
Landasan bagi hubungan masyarakat yang efektif ialah  kebijaksanaan dan kegiatan yang terpercaya demi kepentiangan publik. Komunikasi hubungan masyarakat merupakan suatu proses yang mencakup suatu pertukaran fakta, pendangan dan gagasan diantara organisasi dengan publik-publiknya untuk saling pengertian. Salah satu unsur dasar PR adalah komunikasi timbal balik. Melalui kominikasi kepada publiknya, manajemen mengumumkan,menjelaskan dan mempertahankan atau mempromosikan kebijakannya denganmaksud untuk mengukuhkan pengerttian dan peneriamaan.
B.     Keberadaan Humas Dalam Pemerintahan
        Eksistensi Humas dalam suatu lembaga/instansi pemerintah merupakan keharusan secara fungsional dan operasional. Kelengkapan ini dianggap sangat penting karena falsafah Negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat seperti yang dikehendaki dalam bentuk Negara yang menganut system demokrasi. Sebagai Negara demokrasi Humas berfungsi melayani rakyat, karena rakyat turut mengawasi setiap kegiatan pemerintah, apabila tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, rakyat secara cepat akan mengeritiknya. Disinilah Humas berfungsi untuk mengelola informasi dan opini public. Informasi mengenai kebijaksanaan pemerintah disebarluaskan, opini ublik dikaji dan diteliti seefektif mungkin untuk keperluan pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan selanjutnya.
        Humas pemerintah menurut Sam Black (Effendy, 1999:37) diklasifikasikan menjadi Humas pemerintah pusat dan Humas Pemerintah daerah.[11] Kedua-duanya menurutnya mempunyai tugas yang sama, walaupun ruang lingkupnya berbeda. Tugas Humas pemerintah disini; pertama menyebarkan informasi secara teratur mengenai kebijaksanaan perencanaan dan hasil yang telah dicapai, kedua menerangkan dan mendidik mengenai perundang-undangan, peraturan-peraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rakyat sendiri.
        Melalui Humasnya pemerintah dapat menyampaikan informasi atau menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan tertentu serta aktivitas dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban kepemerintahannya. Terdapat beberapa hal untuk melaksanakan tugas utamanya:
1.      Mengamati dan mempelajari tentang hasrat, keinginan-keinginan dan aspirasi yang terdapat dalam masyarakat (learning about public desires and aspiration)
2.      Kegiatan memberikan nasehat atau sumbang saran untuk menanggapi atau sebaliknya dilakukan oleh instansi/lembaga pemerintah seperti dikehendaki publiknya (advising the public about what is should desires)
3.      Kemampuan untuk mengusahakan terjadinya hubungan memuaskan yang diperoleh antara hubungan public dan aparat Pemerintahan (ensuring satifactory contac between and government official)
4.      Memberikan penerangan dan informasi tentang apa yang telah diupayakan oleh suatu lembaga/instansi Pemerintahan yang bersangkutan (informing and about what an agency is doing) Ruslan, 1999:297)[12]

B.     Etika PR dalam Advertesing
1.      Pengertian Periklanan (Advertesing)
            Menurut Kotler (1997) iklan adalah segala sesuatu presentasi dan promosi non-personal suatu produk yang dibayar dan disponsori oleh sponsor yang jelas.[13] Satntin (1994) menyatakan bahawa iklan terdiri dari segala kegiatan yang dilibatkan dalam mempresentasikan suatu kepada audiens secara non-personal, dengan sponsor yang jelas dan biaya suatu pesan tetang produk atau organisasi.[14] Definisi Advertising (Periklanan) Menurut Dunn & Barban (1996) Advertising atau Periklanan adalah komunikasi non-personal melalui beragam media yang dibayar oleh perusahaan,organisasi non-profit dan individu-individu dengan menggunakan pesan iklan yang diharapkan dapat menginformasikan atau membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut.
            Etika adalah ilmu tentang hal yang baik maupun hal yang buruk dan tentang hak dan kewajiban dalam bermoral ( Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ). Bisa juga diartikan pada kasus ini, etika dalam periklanan adalah ilmu yang membahas tentang baik atau buruk , hak dan kewajiban yang berkaitan dengan periklanan.
            Ada tiga unsur yang dapat menetukan apakah sebuah iklan itu baik atau tidak yaitu :
a)      Etis (berkaitan dengan kepantasan sebuah iklan )
b)      Estetis ( berkaitan dengan kelayakan, apakah iklan tersebut layak untuk target marketnya dan apakah jadwal tayangnya iklan tersebut layak )
c)      Artistik ( mengandung nilai seni yang tinggi sehingga mengundang perhatian masyarakat.

2.      Contoh Iklan yang berkaitan dengan Etika :
1.      Iklan rokok yang tidak menampilkan orang yang secara langsung merokok, tapi menggunakan penggambaran lain. Contohnya iklan Gudang Garam Internasional yang mengusung tema"Pria Punya Selera".
2.      Iklan pembalut wanita yang tidak terang - terangan menampilkan daerah kewanitaan yang ditampung dengan pembalut. Contohnya iklan Charm body fit night, hanya menampilkan bagaimana sistem penyerapan pembalut itu dengan 3D dan hanya menampilkan seorang wanita yang tidur dengan nyaman sampai keesokan harinya tanpa takut kebocoran berkat pembalut tersebut.
3.      Iklan sabun mandi yang tidak menampilkan orang yang sedang mandi secara utuh. contohnya iklan sabun mandi Lux atau biore yang hanya menampilkan orang yang mandi ditutupi busa secara keseluruhan, hanya pundak dan bagian belakang punggung yang terlihat.
Etika yang harus diterapkan di dalam iklan adalah sebagai berikut :
1.      Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan produknya, atau lebih ke arah melebih - lebihkan iklan yang sebenarnya apa yang dilebih - lebihkan tidak ada dalam produk.
2.      Tidak memicu SARA, terlebih karena Indonesia memiliki ragam suku,adat, dan budaya sehingga penayangan iklan diusahakan tidak ada yang menyindir kalangan masyarakat di pelosok manapun. harus disesuaikan agar dapat diterima dimana saja.
3.      Tidak mengandung pornografi.
4.       Tidak bertentangan dengan norma - norma yang berlaku.
5.      Tidak melanggar etika dalam berbisnis . contohnya saja iklan minuman bersoda yang menyindir / menjatuhkan produk minuman bersoda lainnya (pepsi menjatuhkan coca cola atau telkomsel menjatuhkan XL )
6.       Tidak adanya unsur plagiat.
C.    Etika E-PR
1.      Fokus Utama E-PR
            Menurut Bob Julius Onggo, E-PR adalah inisiatif PR yang menggunakan media internet sebagai sarana publisitasnya. Di Indonesia inisiatif PR ini lebih dikenal dengan istilah Cyber Public Relations. Jika diuraikan, E-PR dapat diartikan sebagai berikut:[15]
1.      E adalah elektronik.
            “E” di dalam E-PR sama halnya dengan “e” sebelum kata mail atau commerce yang mengacu pada media elektronik internet. Mengingat popularitas dan multifungsi media internet, media ini dimanfaatkan pula oleh para pelaku PR untuk membangun merek (brand) dan memelihara kepercayaan (trust).
2.      P adalah public.
            “Public” di sini mengacu bukan hanya pada public, namun pasar konsumen.Public juga tidak mengacu hanya pada satu jenis pasa konsumen, namun pada berbagai pasar atau public audiens.Media internet bisa memudahkan kita untuk menjangkau mereka dengan lebih cepat atau sebaliknya, memudahkan mereka untuk menjangkau kita, mulai dari komunitas mikro atau niche market hingga hipermarket.
3.      R adalah relations.
            “Relations” merupakan hubungan yang harus dipupuk antara pasar dan bisnis.Itulah kunci kepercayaan pasar agar suatu bisnis berhasil.Menariknya, melalui media internet hubungan yang sifatnya one-to-one dapat dibangun dalam waktu yang cepat karena sifat internet yang interaktif.Hal ini berbeda dengan public konvensional.Pelaku PR harus menjangkau mereka dengan sifat one-to-many. Itulah sebabnya internet merupakan media pembangun hubungan yang paling ampuh dan cepat serta luas hingga saat ini
            Menurut Bob Jilius Onggo, Fokus utama E-PR adalah membidik media online, misalnya berita tradisional yang juga memiliki status online tersohor dan publikasi berorientasi web (baik itu untuk kalangan konsumen maupun bisnis).[16]
            Akan tetapi, jika tidak digabungkan dengan agen PR offline untuk  meningkatkan liputan berita, aktivitas E-PR juga dapat dimaksimalkan untuk  menggunakan penyampaian elektronik kepada organisasi media lokal,  nasional, regional, dan internasional. Selain itu,  fokus lain E-PR adalah agar  produk atau bisnis disebutkan di bagian  editorial yang ada di situs web atau ezine lain yang terkenal.[17]
2.      Etika dalam Berinternet (Netiket)
Netiket atau Nettiquette, adalah etika dalam berkomunikasi menggunakan internet yang ditetapkan oleh IETF (The internet Engineering Task Force). IEFT adalah sebuah komunitas masyarakat internasional yang terdiri dari para perancang jaringan, operator, penjual dan peneliti yang terkait dengan evolusi arsitektur dan pengoperasian internet. Berikut salah satu contoh etika yang telah ditetapkan oleh IETF:
a.      Netiket pada one to one communications
Yang dimaksud dengan one to one communications adalah kondisi dimana komunikasi terjadi antar individu “face to face” dalam sebuah dialog. Sebagai contoh adalah komunikasi via electronic mail. Di bawah ini adalah beberapa hal tentang netiket pada komunikasi dengan email.
1.      Jangan terlalu banyak mengutip
Ketika ingin member tanggapan terhadap posting seseorang dalam satu forum, maka sebaiknya kutiplah bagian terpentingnya saja yang merupakan inti dari hal yang diinginkan untuk ditanggapi dan buang bagian yang tidak perlu. Jangan sekali-kali mengutip seluruh isinya karena itu bisa membebani bandwith server yang bersangkutan dan bisa berakibat kecepatan akses ke forum tersebut menjadi terganggu. Ini berlaku juga untuk fasilitas reply pada e-mail. Jika harus mengutip pesan seseorang dalam jawaban e-mail, usahakan menghapus bagian-bagian yang tidak perlu, dan ambillah (sebagai kutipan) bagi yang relevan dengan jawabannya saja.
2.      Perlakukan email secara pribadi
Jika seseorang mengirim informasi atau gagasan secara pribadi (private message), maka tidak sepatutnya mengirim atau menjawabnya kembali ke dalam forum umum. Kelompok grup atau milis.
3.      Hati-hati dalam menggunakan huruf kapital
Seperti halnya membaca surat kabar, atau surat, membaca pesan e-mail yang menggunakan huruf besar/kapital yang berlebihan tidak enak dilihat. Karena penggunaan karakter huruf bisa dianalogikan dengan suasana hati penulis. Huruf kapital mencerminkan penulis yang sedang emosi, marah atau berteriak. Tentu sangat tidak menyenangkan ketika anda dihadapkan dengan lawan bicara yang penuh dengan emosi. Walau begitu, ada kalanya huruf kapital dapat digunakan untuk member penegasan maksud. Dengan catatan digunakan untuk beberapa kata saja, jangan sampai seluruh kalimat/paragraph.
4.      Jangan membicarakan orang lain
Jangan membicarakan orang atau pihak lain, apalagi kejelekannya. Berhati-hatilah terhadap apa yang Anda tulis. E-mail memiliki fasilitas bernama ‘Forward’, yang mengizinkan si penerima untuk meneruskannya (forward) ke orang lain.


5.      Jangan gunakan CC
Ketika mengirim e-mail ke sejumlah orang, jangan cantumkan nama-nama pada kolom CC (carbon copy). Jika Anda melakukan hal itu, ini bisa disebut cross posting, semua orang yang menerima e-mail orang lain. Umumnya orang tidak suka bila alamat e-mailnya dibeberkan di depan umum. Gunakanlah selalu BCC (blind carbon copy). Dengan cara ini setiap orang hanya bisa melihat alamat e-mail sendiri.

6.      Jangan gunakan format HTML
Jika Anda mengirim sebuah pesan penting ke teman, jangan gunakan format HTML tanpa meyakini bahwa program e-mail teman anda bisa membaca kode HTML. Jika tidak pesan Anda sama sekali tidak terbaca atau kosong. Sebaliknya gunakan format plain text.

7.      Jawablah secara masuk akal
Jawablah setiap pesan e-mail secara masuk akal. Jangan menjawab dua, tiga pertanyaan dalam satu jawaban. Apalagi, saat menjawab pesan e-mail yang sangat panjang, Anda hanya menggunakan kata yang sangat singkat itu hanya akan mengesalkan si penerima.
8.      Jujur dalam mencantumkan sumber atau penulis
Jangan sekali-kali mengakui tulisan orang lain sebagai hasil karya pribadi Anda. Walaupun tulisan itu telah Anda revisi sedemikian rupa, namun mau tidak mau Anda telah mengadaptasi dari milik orang lain. Oleh karena itu, Anda harus mencantumkan sumber referensi tersebut. Bila Anda mengutip dari sebuah situs, maka cantumkanlah nama/alamat situs tersebut. Begitupun bila situs itu ternyata juga mengutip dari sumber lain yang merupakan penulis aslinya, maka harus dicantumkan kedua sumber tersebut, penulis asli dan situs tempat Anda mengutip.
b.      Netiket pada one to many communications
            Konsep komunikasi one to many communications adalah bahwa satu orang bisa berkomunikasi kepada beberapa orang sekaligus. Hal itu seperti yang terjadi pada mailing list dan netnews. Dibawah ini adalah beberapa netiket untuk berkomunikasi bagi pengguna (user) mailing list atau netnews.
a)      Baca terlebih dahulu mailing list atau netnews satu atau du bulan data diskusi, sebelum memutuskan untuk melakukan posting surat yang pertama kali kepada mailing list tersebut. Hal itu akan membantu kita untuk mengerti lingkungan mailing list yang akan dimasuki tersebut.
b)      Berhati-hatilah dengan kata-kata yang akan ditulis. Karena kata-kata tersebut akan disimpan di suatu lokasi yang bisa diakses oleh orang banyak dan akan tersimpan untuk jangka waktu yang lama.
c)      Tidak boleh mengirim artikel yang berbau spoofing (pemalsuan) dan forgeries (lelucon), kecuali mailing list yang memang bernuansa humor.
d)     Jika dalam melakukan komunikasi terjadi selisih paham atau perdebatan secara pribadi dengan peserta lain, sebaiknya perdebatan tersebut dilanjutkan melalui jalur pribadi (email to email). Jika memang point perdebatan perlu dikonsumsi oleh peserta mailing list, berikan ringkasan hasil perdebatan tersebut ke komunitas mailing list ataupun netnews.
e)      Tidak etis dan tidak diperbolehkan mengirimkan teks yang berbau seksual dan rasialis mengingat bahwa anggota yang berbeda pada komunitas tersebut memiliki budaya, lifestyle dan keyakinan yang berbeda-beda

D.    Etika PR dalam Penggunaan New Media
Ashadi Siregar  dalam tulisannya “Media Baru Dalam Perspektif Hukum dan Etika” menjelaskan hukum dan etika  membawa standar normatif  dalam tindakan sosial bermedia. Masing-masing menjadi acuan yang berbeda, yaitu dalam lingkup struktural dan cultural. Hukum mengatur keberadaan instutusional media dalam konteks struktural, sedang etika merupakan acuan bagi tindakan personal dalam konteks cultural.  Dengan kata lain, norma dalam posisi institusional media membawa kepada konteks negara (state), sedang posisi personal dalam tindakan bermedia masyarakat sipil (civil society).
Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang norma dalam penyelenggaraan media, boleh jadi berasal dari kerancuan berpikir dalam menghadapi norma. Kerancuan ini akibat ketidakjelasan batas taksanomi sebagai pangkal disiplin berpikir, sebab tumpang-tindih nomenklatur membawa ketidakpastian norma. Kejelasan batas dari norma dan konteksnya dapat dikenali sumber nilai dan sanksi.  
Nomenklatur masyarakat (bersifat sosiologis) dan negara (bersifat politis), ditandai dengan perbedaan norma dan penerapannya. Etika sosial dalam interaksi sosial di satu sisi, dab hukum dan kebijakan publik institusi negara pada sisi lain. Masing-masing menjadi sumber norma bagi warga negara dalm tertib sosial (sosial order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidk diperlukan peran negara. Sebaliknya banyaknya konflik di antara warga negara yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam masyarakat sipil.
Ketaatan atas norma merupakan dialektika dari norma kesadaran etis bersifat cultural dan dari faktor imperatif hukum yang bersifat struktural. Binatang berpolitik (zoon politicon) memerlukan adanya kekuasaan negara untuk mengendalikan, melalui sanksi yang menyakitkan mulai dari kematian, isolasi sosial, dan pembayaran materi. Level berikutnya, norma ditaati manakala sanksi yang secara langsung bersifat pragmatis (gaji ditunda, tidak naik jabatan, atau pemecatan). Selanjutnya, penaatan atas norma kalau ada rasa keterhormatan (shameful feeling). Level-level tersebut bersifat imperatif. Yang terakhir penaatan yang bersifat personal dan otonom berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan untuk memiliki rasa bersalah (guilty feeling).
Menganalisis kondisi masyarakat kekinian, mendefinisikan bahwa masyarakat yang terbentuk dalam kenyataan virtual yang dikenal sebagai masyarakat cyber (cyber society). Dari sini kemudian dikenal adanya ruang cyber (cyber-space) sebagai ajang yang memungkinkan adanya hubungan antar manusia. Karena pengkaji ilmu sosial (termasuk cultural) pada dasarnya akan menghadapi hubungan sosial dalam 3 macam dimensi kenyataan “real” (empiris), simbolik, dan virtual. pertanyaan yang menggugat adalah pertalian di antara ketiga dimensi kenyataan ini, sehingga dikenali adanya masyarakat empiris, simbolik dan cyber. Sejauh mana ketiga jenis masyarakat ini menjadi ruang hidup bagi manusia , agaknya akan menjadi pertanyaan epistemologis yang menantang. Interkonekstual ketiga macam kenyataan ini tidak pelak akan menuntut perombakan dalam orientasi dan landasan epistemology cabang-cabang ilmu sosial.
Sejak diundangkannya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, domain komunikasi bermediasi komputer.CMC telah diatur oleh negara. Dengan begitu struktur sosial yang melingkupi CMC diatur oleh kekuasaan negara. Untuk itu perlu dilihat sejauh mana nanti negara dapat menjadi faktor CMC, apakah bersifat positif bagi kemajuan atau sebaliknya.
Lebih dari itu, pertanyaan besar bagi kita adalah, pakah sistem negara kita (pemerintah) memiliki kemampuan teknologi dan sistem dunia virtual, hingga mampu menegakkan hukum yang ada. Karena tidak akan ada artinya sebuah undang-undang, jika pemerintah tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menegakkkanya (pegang kendali). Karena dunia virtual adalah dunia siapa pegang kendali. Dan dunia virtual adalah bicara mengenai siapa yang pegang kendali, mengendalikan kekuasaan, legitimasi, kepercayaan, catatan dan keamanan kehidupan modern.
Menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep new media, Leah A. Lievrouw and Sonia Livingstone dalam bukunya yang berjudul Handbook of New Media berkata bahwa untuk bisa disebut sebagai new media, sebuah medium harus memiliki 4C dan tiga elemen dasar. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:[18]

1.      4C
a)      Computing and Information Technology: Untuk bisa disebut New Media, sebuah medium (media massa) setidaknya harus memiliki unusr information, communication, dan Technology di dalam tubuhnya. Tidak bisa hanya salah satunya saja.
Contoh: Internet
b)      Communication Network: Sebuah New Media harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunannya.
Contoh: Forum diskusi di situs internet.
c)      Digitised Media and Content: Yang tergolong relevan untuk disebut sebagai new media saat ini adalah apabila media massa tersebut mampu menyajikan sebuah medium dan konten yang sifatnya digital.
Contoh: E-paper, Youtube.
d)     Convergence: New media harus mampu berintegrasi dengan media-media lain (baik tradisional maupun modern) karena inti dari konvergensi adalah integrasi antara media yang satu dengan media yang lain
Contoh: Situs Internet yang mampu menampilkan siaran TV dan Radio.

2.      Tiga Elemen Dasar New Media
a)      Piranti atau medium yang memudahkan, mengefektifkan, mengefisiensikan, dan memperluas komunikasi antar penggunannya
b)      Membentuk aktivitas komunikasi yang melibatkan penggunaan medium atau piranti (new media) dalam prosesnya.
c)      Membentuk sebuah jaringan komunikasi (organisasi) yang melibatkan penggunaan medium atau piranti (new media) dalam prosesnya.

Selain 4C dan tiga elemen dasar di atas, Terry Flew dalam bukunya yang berjudul An Introduction to New Media juga menjelaskan bahwa cukuplah relevan apabila saat ini kita menyamakan New Media dengan Digital Media. Hal ini disebabkan karena unsur New Media pada dasarnya sama dengan Digital Media yaitu:[19]
·         Meliputi berbagai wujud konten media yang mengintegrasikan data, text, audio, dan visual.
·         Berada dalam wujud digital, bukan manual.
·         Konten didistribusikan melalui sebuah jaringan komunikasi yang terstruktur seperti jaringan broadband fibre optic, satelit, dan gelombang microwave
·         Memiliki konten atau informasi yang bisa diubah dan dimanipulasi sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi.
·         Memiliki konten yang bisa disebarkan atau dipertukarkan kepada khalayak secara bersamaan.
·         Memiliki konten yang bisa disimpan dengan mudah meski dalam media penyimpanan berkapasitas kecil sekalipun.
·         Memiliki konten yang ukurannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan (Compressible) agar tidak terlalu banyak memakai kapasitas media penyimpanan.

Contoh: Etika Penggunaan Media Sosial (Media Baru)

            Berinteraksi dalam media sosial tidak jauh berbeda dengan berinteraksi dalam dunia sosial seperti biasanya, oleh karena itu berkomunikasi dalam media sosial tentunya juga harus memperhatikan etika yang baik. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi dalam media sosial :
  • Hargai Orang lain.
  • Gunakan bahasa yang baik.
  • Berhati-hati dalam mempublish sesuatu yang bersifat pribadi.
  • Hindari Overposting.
  • Pikirkan dengan matang tentang sesuatu yang akan dipublikasikan.
  • Jadilah pribadi diri sendiri.
  • Perhatikan waktu yang digunakan dalam media sosia


DAFTAR PUSTAKA
Soemirat, Soleh. Elvinaro Ardianto. 2012. Dasar – Dasar Public Relation. Bandung: Rosda.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Julius Onggo, Bob. 2004. Cyber Public Relations. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Raga Maran, Rafael. 2007. Pengantar Logika. Jakarta: Grasindo
Ruslan, Rosady. 2004. Etika Kehumasan Konsepsi & Aplikasi. Jakarta: PT Grafindo Persada
Hendrik Rapar, Jan. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Bertens. K. 2007. Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anindya, Rahma. “Etika Profesi”. 01 Juni 010.http://rahmaanindya.blogspot.co.id/2010/06/etika-profesi.html Di Akses Pada Tanggal 29/10/2016 pukul 06.45 WIB
Putri Pradian, Rizky. “Definisi Public Relations Menurut Para Ahli”. 04 Juni 2013 http://pr-teoridanpraktik.blogspot.co.id/2013/06/definisi-public-relations-menurut-para.html Di Akses Pada Tanggal 30/10/2016 Pada Pukul 02.09
Penalaran, Logika, Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah”. https://ikamakoto.wordpress.com/kuliah-ku/filsafat-ilmu/c-penalaran-logika-deduktif-induktif-dan-metode -ilmiah/ Di Akses Pada Tanggal 05/11/2016 Pukul 07.45 WIB
Putri Pradian, Rizky. “Definisi Humas (Hubungan Masyarakat)”. 11 November 2014. http://pr-teoridanpraktik.blogspot.co.id/2014/11/definisi-humas-hubungan-masyarakat.html Di Akses Pada Tanggal 15/11/2016 pukul 08.20 WIB
Hubungan Komunikasi dan kehumasan Pemerintahan”. 19 Desember 2014. http://mawtaublogaddres.blogspot.co.id/2014/12/hubungan-komunikasi-dan-kehumasan-dalam.html Di Akses pada tanggal 15/11/2016 pukul 08.45 WIB
Simamora, Bilson. 2003. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
“Etika Penggunaan Internet dan Media Sosial”. Juli 2014. http://raitosun.blogspot.co.id/2014/07/etika-penggunaan-internet-dan-media.html Di Akses pada tanggal 26/11/2016 Pukul 06.24 WIB
Sodikin, Ali. “Etika dan Regulasi dalam siber dan Media Baru”. 20 Desember 2013. http://angintimur147.blogspot.co.id/2013/12/etika-dan-regulasi-dalam-siber-dan.html Diakses pada tanggal 6/11/2016 pukul 6.35 WIB
Yennie, Ayee. “Etika dan Tata Krama dalam Periklanan”. 04 Juni 2013. http://yenniechempluk.blogspot.co.id/2013/06/etika-dan-tata-krama-dalam-periklanan.html Diakses pada tanggal 6/11/2016 pukul 07.00 WIB
Marta, Adini. “Etika dan Profesi PR”. Maret 2012. http://strategikomunikasi.blogspot.co.id/2012/03/etika-dan-profesi-public-relations.html Diakses pada tanggal 6/11/2016 pukul 07.45 WIB
“Etika Profesi Public Relations”, 28 januari 2014 https://dinarjamaudin07.wordpress.com/2014/01/28/etika-profesi-public-relations/ Di Akses pada Tanggal 27/11/2016 pukul 06.29 WIB
Prakosa, Adi, “Pengertian Komunikasi”, 01 September 2008 http://adiprakosa.blogspot.co.id/2008/09/pengertian-komunikasi.html, Di Akses Pada Tanggal 28/11/2016 pukul 08.15
Etika, Belajar.” New Media, Media Convergence, dan Kesiapan Indonesia”. 26 Mei 2010, http://belajaretika.blogspot.co.id/2010/05/new-media-media-convergencedan.html Di Akses pada Tanggal 29/11/2016 Pukul 05.00


            [1]Prakosa, Adi, “Pengertian Komunikasi”, 01 September 2008 http://adiprakosa.blogspot.co.id/2008/09/pengertian-komunikasi.html, Di Akses Pada Tanggal 28/11/2016 pukul 08.15


                [2] Ibid
                [3] Soemirat, Soleh. Elvinaro Ardianto, Dasar – Dasar Public Relation, (Bandung: Rosda, 2012), hlm: 170
                [4] M. Yatimin Addullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hlm: 7
                [5] Ibid
                [6] Ibid
                [7] Hendrik Rapar, Jan. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), Hlm: 67

                [8] Putri Pradian, Rizky. “Definisi Humas (Hubungan Masyarakat)”. 11 November 2014. http://pr-teoridanpraktik.blogspot.co.id/2014/11/definisi-humas-hubungan-masyarakat.html Di Akses Pada Tanggal 15/11/2016 pukul 08.20 WIB


                [9] “Hubungan Komunikasi dan kehumasan Pemerintahan”. 19 Desember 2014. http://mawtaublogaddres.blogspot.co.id/2014/12/hubungan-komunikasi-dan-kehumasan-dalam.html Di Akses pada tanggal 15/11/2016 pukul 08.45 WIB


            [10] Ibid

            [11] Ibid

                [12] Ibid
                [13] Simamora, Bilson, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran  Efektif dan Profitabel, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 003), hlm: 305
                [14] Ibid
                [15] Julius Onggo, Bob,  Cyber Public Relations, ( Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), hlm: 1-2
                [16] Ibid, hlm: 7
                [17] Ibid
            [18] Etika, Belajar.” New Media, Media Convergence, dan Kesiapan Indonesia”. 26 Mei 2010, http://belajaretika.blogspot.co.id/2010/05/new-media-media-convergencedan.html Di Akses pada Tanggal 29/11/2016 Pukul 05.00

                [19] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar