Dosen Pembimbing Tugas
Kelompok
Drs. H.Suhaimi.D.
M.Si Komunikasi
Lintas Budaya
KOMUNIKASI DAN BUDAYA
(PENDEKATAN ANTROPOLOGI)
KELAS
PUBLIC RELATIONS D
SEMESTER 5
Disusun oleh:
Kelompok 3
KURNIA GUSTI SISWARDI
LISA MELFIA
WAMA RAMAITA
JURUSAN ILMU
KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Komunikasi merupakan proses
dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan
orang lain melalui penggunaan simbol sehingga tidak ada batasan antara budaya
dan komunikasi . Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan
kata lain, ketika membahas budaya dan
komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana yang menjadi
gemanya. Alasannya adalah karena ketika mempelajari budaya melalui komunikasi
dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya.
Kemudian antropologi merupakan
studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap
tentang keanekaragaman manusia. Antropologi budaya, cabang antropologi yang
mengkhususkan diri pada pola- pola kehidupan masyarakat (budaya).
B.
Rumusan
Masalah
Agar dalam pembuatan makalah ini tidak terlalu kompleks maka
dirumuskan masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan Antropologi?
2.
Apakah yang dimaksud dengan bahasa?
3.
Bagaimanakah kontak fisik itu?
4.
Bagaimanakah lima dimensi waktu itu?
5.
Apakah yang dimaksud dengan tempat?
6.
Bagaimanakah pengaruh status atas komunikasi?
7.
Apakah persepsi itu?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
komunikasi lintas budaya
2.
Untuk memperluas ilmu pengetahuan
D.
Manfaat
1. Makalah
ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi semua yang membacanya
2. Makalah
ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pendekatan antropologi
3.
Makalah ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai bahasa, kontak fisik, lima dimensi waktu, tempat,
pengaruh status atas komunikasi dan persepsi dalam kehidupan kita sehari- hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
KOMUNIKASI DAN BUDAYA (PENDEKATAN ANTROPOLOGI)
A.
Menerapkan Pengetahuan Antropologi
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi budaya, cabang antropologi yang mengkhususkan diri pada pola- pola
kehidupan masyarakat (budaya). (Haviland, 1992:324).
Hubungan antar dua budaya dijembatani oleh perilaku-
perilaku komunikasi antar administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-
orang yang mewakili budaya lain. Bila komunikasi mereka efektif, maka saling
pengertian tumbuh yang diikuti dengan kerja sama. Bila komunikasi tersebut
salah, maka tak ada pengetahuan tentang budaya dalam buku manapun yang dapat
menjamin tindakan yang efektif.
Budaya dalam hal ini melukiskan kadar dan tipe kontak fisik
yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi yang menyertainya.
Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Budaya
juga menentukan apakah suatu kontrak tertentu, harus pertama- tama didiskusikan
dalam suatu pertemuan seharian penuh yang mengikutsertakan empat atau lima
orang dari setiap pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang
menyuguhkan kopi.
Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur- unsur sosio- budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa unsur sosio- budaya yang
berhubungan dengan komunikasi antarbudaya, yaitu bahasa, kata- kata dan makna,
nada suara, emosi dan kontak fisik, dampak waktu secara kultural, tempat,
hubungan- hubungan kelas sosial, persepsi, sistem kepercayaan, nilai dan sikap.
B.
Bahasa
Bentuk yang paling nyata dalam komunikasi adalah bahasa.
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang yang
terorganisasi, disepakati secara umum, dan merupakan hasil belajar, yang
digunakan untuk menyajikan pengalaman- pengalaman dalam suatu komunitas
geografis atau budaya.
Ketidakmampuan kita dalam berbahasa sering mengakibatkan
kerusakan hubungan dengan relasi- relasi kita di seluruh dunia. Perbendaharaan
kata, tata bahasa dan fasilitas verbal, tidaklah memadai kecuali bila memahami
isyarat halus yang implisit dalam bahasa,
gerak- gerik, dan ekspresi, ia tidak hanya akan menafsirkan secara salah apa
yang dikatakan padanya, ia pun mungkin akan menyinggung perasaan orang lain
tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal itu bisa terjadi.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk
menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-
orang untuk berintekrasi dengan orang- orang lain dan juga sebagai alat untuk
berpikir. Maka,bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan
sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi
persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.
1.
Kata- kata dan makna
Mengenai
makna, Devito (1997:120), isyarat mempunyai kebebasan makna(arbitry); mereka
tidak memeliki karakteristik atau sifat dari benda atau hal yang mereka
gambarkan. Kata anggur tidak lebih lezat ketimbang bulgur.Suatu kata memiliki
arti atau makna yang mereka gambarkan karena kitalah yang secara bebas
menentukan arti atau maknanya.
Dalam
beberapa budaya lain, kata- kata dan makna kata- kata tersebut tidak mempunyai
hubungan langsung. Orang- orang mungkin lebih memperhatikan makna kata- kata
tertentu.
2.
Nada suara dan emosi
Manusia
berkomunikasi tidak dengan kata- kata saja. Nada suaranya, ekspresi wajahnya,
gerak- geriknya, semua itu mengandung makna yang perlu diperhitungkan. Jadi, tidak
hanya bahasa yang dapat membingungkan tetapi juga gerak- gerik dan isyarat-
isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa berarti negatif bagi orang lain.
C.
Kontak Fisik (menyentuh atau tidak
menyentuh)
Kontak fisik paling umum adalah berjabat tangan, dan
dibandingkan dengan orang- orang Eropa dan Amerika, kita melakukannya lebih
sedikit. Jabat tangan adalah bentuk sapaan atau cara menyatakan perpisahan yang
paling impersonal. Di Amerika Latin, cara yang lebih ramah adalah dengan cara
meletakkan tangan kiri di atas bahu orang lain ketika berjabat tangan. Cara
yang lebih intim dan hangat adalah doble abzaro dua lelaki berpelukan dengan
meletakkan lengan mereka di atas kedua bahu masing- masing.
Edward T Hall dalam Devito (1997:197), membedakan empat
macam jarak yang menurutnya menggambarkan macam hubungan yang dibolehkan. Masing-
masing dari keempat ini mempunyai fase dekat dan fase jauh, sehingga ada delpan
macam jarak yang dapat diidentifikasi: Jarak intim (intimate distance), mulai
dari fase dekat 0 sampai 15 cm (bersentuhan) sampai ke fase jauh sekitar 15
sampai 45 cm.
Jarak pribadi (personal distance), kita semua memiliki
daerah yang kita sebut jarak pribadi. Daerah ini melindungi kita dari sentuhan
orang lain, dalam fase dekat jarak pribadi ini antara 45 sampai 75 cm, dan fase
jauh 75 sampai 120 cm.
Jarak sosial( social distance) fase dekat dari 120 sampai
210 cm adalah jarak yang digunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan
interaksi pada pertemuan bersifat sosial. Fase jauh 210 sampai 360 cm jarak
yang kita pelihara bila seorang berkata” menjauhlah agar saya dapat memandangmu”.Pada
jarak ini, transaksi bisnis mempunyai nada yang lebih resmi.
Jarak publik (public distance), fase dekat 360 sampai 450
cm pada jarak ini seseorang dapat
mengambil tindakan defensif bila terancam. Dalam bis kota atau kereta kita akan
menghindar atau mengambil jarak dari orang yang sedang mabuk atau orang yang
dianggap kurang baik. Fase jauh lebih dari 750 cm, kita melihat orang- orang
tidak sebagai individu yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari suatu
kesatuan yang lengkap. Kita kadang – kadang secara refleks menjauh ketika ada
seorang tokoh ( orang) penting lewat, terlepas dikawal atau tidak.
Meskipun demikian, terdapat budaya- budaya yang lebih
membatasi kontak fisik dari pada budaya Amerika Utara. Seorang Amerika di
sebuah pesta cocktail di jawa ia telah melanggar batas- batas budaya setempat.
Ia bermaksud mengembangkan hubungan bisnis dengan seorang Jawa terpandang, yang
tampaknya akan berjalan mulus.
D.
Lima Dimensi Waktu
Ide- ide kita tentang waktu tertanam dalam diri kita sejak
kecil. Bila gagasan- gagasan kita tentang waktu ini bertentangan dengan
perilaku orang lain, kita bereaksi dengan marah, tidak tahu apa sebabnya. Bagi
orang-orang bisnis,lima konsep waktu yang biasanya dilakukan adalah waktu untuk
bertemu, berdiskusi, berkenala, berkunjung, dan jadwal waktu.
Konsep waktu orang Amerika Latin bersifat informal, dan
berdasarkan kesadarannya waktu tersebut berjalan pelan.Biasanya mereka tidak
menjadwalkan waktu- waktu untuk bertemu. Kekeliuran budaya itu dapat
berlipatganda karena salah perhitungan.Di Amerika Serikat, orang yang selalu
terlambat dianggap tidak dapat diandalkan, dan ini merupakan suatu kesimpulan
yang masuk akal bila kita menggunakan waktu kultural kita.
Waktu berkenalan, di Amerika Latin tradisi menuntut bahwa
sebagai orang bisnis harus bertemu dengan seseorang sekurang- kurangnya tiga
kali sebelum anda dapat mendiskusikan bisnis tersebut dengannya. Berbeda di
Amerika Serikat pembicaraan yang berlangsung beberapa menit cukup untuk
memutuskan masalah- masalah harga, penyampaian barang, pembayaran, model
barang, tanpa bertele- tele.
Jadwal waktu, dalam konsep orang- orang Amerika tanpa jadwal
waktu, batas waktu akhir (deadline),
prioritas- prioritas, mereka merasa bahwa negara kita tidk dapat berjalan sama
sekali. Hal ini sering banyak memberi kesulitan kepada mereka di banyak negara.
Dalam budaya kita terdapat beberapa sanksi bagi orang yang tidak menyelesaikan
pekerjaan pada waktunya, dan juga imbalan- imbalan bagi orang yang pekerjaannya
sesuai dengan jadwal.
Ide-ide
kita tentang waktu tertanam dalam diri kita sejak kita masih kanak-kanak. Bila
gagasan-gagasan kita tentang waktu ini bertentangan dengan perilaku orang lain,
kita bereaksi dengan marah, tidak tahu pasti apa sebabnya. Bagi orang-orang
bisnis, lima konsep waktu yang penting adalah: waktu untuk bertemu, waktu untuk
berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung, dan jadwal waktu.
1.
Waktu Untuk Bertemu
Contoh konsep
waktu di Amerika Latin, konsep waktunya bersifat informal dan berdasarkan
kesadarannya waktu tersebut berjalan pelan dan karenanya orang disana lebih
suka bertemu dengan beberapa orang untuk membicarakan hal-hal yang berlainan
pada saat yang sama. Suasana seperti ini, bila ditafsirkan dengan skala waktu
dan kesopanan Amerika, tampaknya memberikan isyarat kepada orang Amerika untuk
berlalu karena ia merasa tidak diperlakukan
dengan sepatutnya dan kewibawaannya diremehkan. Sebetulnya tidak demikian. Jam
dinding boleh kelihatan sama, tapi jam tersebut memberikan makna waktu yang
berbeda.
2.
Waktu Untuk Berdiskusi
Dalam budaya
Amerika, diskusi merupakan sarana untuk suatu tujuan yaitu kesepakatan
bisnis. Bagi orang Amerika latin,
diskusi adalah bagian dari bumbu kehidupan. Sebagaimana ia cenderung cenderung
tidak terlalu peduli dengan waktu pertemuan yang telah dijanjikan pada kita, ia
pun cenderung untuk tidak secara kaku memisahkannya bersama-sama dan ingin menciptakan
suatu peristiwa sosial bagi kita, peristiwa dalam budaya kita seharusnya
merupakan peristiwa yang benar-benar bersifat bisnis.
3.
Waktu Untuk Berkunjung
Waktu untuk
berkunjung berkaitan dengan pertanyaan tentang siapakah yang menetapakan waktu
untuk suatu kunjungan. Goergo Coelho, seorang psikolog sosial asal india,
memberikan suatu ilustrasi. Seorang pengusaha Amerika menerima undangan dari
pengusaha india, “maukah anda dan keluarga anda datang dan mengujungi kami?
Datanglah kapan saja”. Beberapa minggu kemudian, orang india mengulangi
undangannya dengan kata-kata yang sama. Orang Amerika itu selalu menjawab ia
tentu saja ingiin berkunjung, tapi tak pernah melakukannya. Sebabnya jelas
kalau kita melihatnya dengan budaya Amerika. Di Amerika “Datanglah kapan saja”
hanya merupakan suatu pernyataaan keramahtamahan. Kita tidak sungguh diharapkan
datang, kecuali bila pribumi menetapkan waktu yang spesifik bagi kita untuk
datang. Sebaliknya di India, kata-kata undangan itu dimaksudkan secara harfiah,
bahkan bahwa pribumi benar benar mengharapkannya datang kapan saja tamunya itu
bisa datang. Orang inda mengatakan “kapan saja” karena memberikan waktu yang
enak bagi tamunya untuk datang, dan orang india menganggap tamunya tidak mau
datang jika tamunya tidak datang.
4.
Jadwal Waktu
Jadwal waktu
memberikan kesulitan lain kepada orang Amerika di banyak negeri di dunia. Tanpa
jadwal waktu, batas waktu akhir (deadline) dan prioritas-prioritas, kita
cenderung merasa bahwa Negara kita tidak dapat berjalan sama sekali. Tidak saja
hal-hal tersebut penting untuk merampungkan pekerjaan, tetapi juga penting
untuk proses komunikasi informal. Deadline menuntut prioritas-prioritas. Ini
semua merupakan bagian dari kehidupan kita, dan hampir tiada hari kita yang
berlalu tanpa prioritas-prioritas tersebut. contoh “Saya harus ada disana
sebelum jam 6.30.” “Bila rencanaku tidak rampung sebelum jam 5.00, rencana itu
sia-sia”.
Dalam budaya kita terdapat beberapa sanksi bagi
orang yang tidak merampungkan pekerjaan pada waktunya dan juga imbalan-imbalan
bagi orang yang pekerjaannya sesuai dengan jadwal. Anda dapat membayangkan
konflik-konflik yang akan muncul bila kita berusaha melakukan bisnis dengan
orang-orang yang lalai menepati waktu padahal kita sendiri menepatinya.
E.
Tempat
Kita mengatakan bahwa ada saatnya dan ada tempatnya bagi
segala sesuatu, namun dibandingkan dengan negeri- negeri dan budaya- budaya
lain, kita tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan tempat. Bisnis suatu hal
yang universa; hal itu dapat dibicarakan hampir dimana saja, kecuali mungkin di
gereja. Orang bahkan dapat berbicara tentang bisnis pada saat naik tangga ke
atas atau dari gereja. Politik hanya sedikit lebih dibatasi untuk dibicarakan
di tempat- tempat yang cocok untuk mendiskusikan.
Di negeri- negeri lain ada pembatasan- pembatasan tempat
untuk membicarakan bisnis dan politik. Di India tidak selayaknya berbicara
bisnis ketika sedang mengunjungi rumah seseorang.Bila anda melakukannya, akan
kehilangan kesempatan untuk mengadakan hubungan bisnis yang memuaskan . Di
Amerika Latin, meskipun mahasiswa berminat pada politik , tradisi menentukan
bahwa seorang politikus harus menghindari topik ketika berbicara di
universitas.
Seorang politikus Amerika Latin mengatakan kepada antropolog
Allan Holmberg, ia atau rekan- rekan politisi lainnya takkan berani berbicara
tentang politikmdi Universitas San Marcos, seperti yang dilakukan presiden
Nixon.Masalahnya menjadi ruwet ketika mahasiswa San Marcos mengetahui rencana
kunjungan Nixon, lebih suka Nixon tidak datang. Rektor pun tidak mengundang
Nixon sebenarnya, karena ia khawatir Nixon akan berbicara tentang politik, dan
itu memang terjadi.
F.
Pengaruh Status Atas Komunikasi
Perbedaan status dan kelas sosial menyebabkan orang- orang
yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang
dalam diskusi dan perdebatan. Budaya Amerika Latin menekankan pentingnya
hubungan- hubungan pribadi secara harmonis, meskipunhubungan tersebut bersifat
dangkal.Budaya Amerika menekankan pentingnya penyelesaian perbedaan pendapat
dengan kontak- kontak tatap muka langsung. Budaya Amerika tidak mementingkan
status. Di Amerika Latin, orang merasa sulit menyatakan perbedaan- perbedaan
mereka, status dan otoritas lebih ditekankan dari pada di Amerika Serikat.
Status dan kelas sosial juga menentukan apakah bisnis akan
terjadi antara individu atau antara kelompok. Di Amerika Serikat mungkin takkan
menemukan sekelompok penjual yang mengunjungi seorang pelanggan. Di jepang
justru pentingnya kunjungan dan pentingnya posisi orang itu ditentukan oleh siapa
yang ia ajak ikut serta. Praktik ini juga terjadi pada hierarki bisnis dan pemerintah. Bahkan seorang guru
besar universitas pun cenderung membawa serta satu atau dua pembantu dalam
urusan akademik. Kalau tidak, orang- orang mungkin berpikir bahwa ia bukan
orang penting, begitu pula urusannya.
G.
Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk
memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan darilingkungan eksternal.
Secara umum dipercaya bahwa orang- orang berperilaku sebagai hasil dari cara
mereka mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa.
Komunikasi antarbudaya, dapat dipahami sebagai perbedaan
budaya dalam mempersepsi objek- objek sosial dan kejadian- kejadia. Untuk
memahami dunia dan tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka
persepsinya. Dalam komunikasi lintas budaya,mengharapkan banyak persamaan dalam
pengalaman dan persepsi.
Ada tiga unsur sosio budaya yang berpengaruh besar, dan
langsung terhadap makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yaitu: sistem
kepercayaan ( belief), sistem nilai (Value), sistem sikap (attitude), pandangan
dunia ( world view), dan organisasi sosial ( social organization).
1. Sistem
kepercayaan, nilai, dan sikap
Kepercayaan
secara umum dapat dipandang sebagaikemungkinan subjektif, yang diyakini
individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik tertentu.
Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dan karakteristik
yang membedakannya.
Dalam
komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau salah sejauh hal- hal
tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Budaya memainkan suatu peranan penting dalam
pembentukan kepercayaan.
Bila
seseorang percaya bahwa pada hari sabtu kurang baikuntuk melakukan suatu
kegiatan, kita tidak dapat mengatakan bahwa kepercayaan itu salah, kita harus
dapat mengenal dan menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin melakukan
komunikasi yang sukses dan memuaskan (sihabudin, 1996: 56).
Nilai,
adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk membuat pilihan- pilihan,
dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai- nilai memiliki aspek evaluatif
dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi evaluatifini meliputi
kualitas- kualitas seperti, kemanfaatan, kebaikan, estetika, kebutuhan, dan kesenangan.
Kepercayaan
dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan sikap. Sikap sebagai
suatu kecenderungan yang diperoleh dengan belajar untuk merespons suatu objek
secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya, artinya
lingkungan kita membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan
akhirnya perilaku kita.
2. Pandangan
Dunia
Isu-
isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu
budaya. Seorang katolik tentu saja mempunyai pandangan dunia yang berbeda
dibandingkan dengan seorang Muslim, Yahudi atau seorang Atheis.
Pandangan
dunia orang Indian tentang kedudukan menusia dalam alam semesta tentu berbeda
dengan orang Amerika asal Eropa. Orang Indian memandang manusia bersatu dengan
alam, mereka menganggap ada suatu hubungan yang seimbang antara manusia, dan
lingkungan, suatu kerja sama (partnership) yang adil dan terhormat. Sementara
orang Amerika keturunan Eropa, mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa manusia
itu berkuasa dan terpisah dari alam.
3. Organisasi
Sosial
Persepsi
dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana
organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli padakesejahteraan
mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002).
Jika
karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanyatinggi,maka
karyawan tersebut akanmenyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke
dalam identitas diri mereka dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi
yang lebih positif terhadap organisasi tersebut. Dengan menyatunya keanggotaan
dalam organisasi dengan identitas karyawan, maka karyawan tersebut merasa
menjadi bagian dari organisasi
dan
merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan kinerja terbaiknya
pada organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002)
Dimensi Persepsi Dukungan Organisasi
Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Rhoades dan
Eisenberger (2002) mengindikasikan bahwa 3 kategori utama dari perlakuan yang
dipersepsikan oleh karyawan memiliki hubungan dengan Persepsi Dukungan
Organisasi. Ketiga kategori utama ini adalah sebagai berikut:
1. Keadilan
Keadilan
prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan bagaimanamendistribusikan
sumber daya di antara karyawan. (Greenberg, dalam Rhoades & Eisenberger
2002). Shore dan Shore (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) menyatakan bahwa
banyaknya kasus yang berhubungan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya
memiliki efek kumulatif yang kuat pada persepsi dukungan organisasi dimana hal
ini menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
karyawan.
2. Dukungan
atasan
Karyawan
mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan menilai kontribusi
mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka Kottke & Sharafinski, dalam
Rhoades & Eisenberger, 2002). Karena atasan bertindak sebagai agen dari
organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk
mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan, karyawan pun melihat
orientasi atasan mereka sebagai indikasi adanya dukungan organisasi (Levinson
dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
3. Penghargaan
Organisasi dan Kondisi Pekerjaan
Bentuk
dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah sebagai berikut:
a.
Gaji, pengakuan, dan promosi. Sesuai
dengan teori dukungan organisasi, kesempatan untuk mendapatkan hadiah (gaji,
pengakuan, dan promosi) akan meningkatkan kontribusi karyawan dan akan
meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002).
b. Keamanan dalam bekerja. Adanya jaminan bahwa
organisasi ingin mempertahankan keanggotaan di masa depan memberikan indikasi
yang kuat terhadap persepsi dukungan organisasi (Griffith dkk., dalam
Eisenberger and Rhoades, 2002).
c.
Kemandirian. Dengan kemandirian, berarti
adanya kontrol akan bagaimana karyawanmelakukan pekerjaan mereka. Dengan
organisasi menunjukkan kepercayaan terhadap kemandirian karyawan untuk memutuskan
dengan bijak bagaimana mereka akan melaksanakan pekerjaan, akan meningkatkan
persepsi dukungan organisasi (Cameron dkk., dalam Rhoades & Eisenberger,
2002).
d.
Peran stressor. Stress mengacu pada
ketidakmampuan individu mengatasi tuntutan dari lingkungan (Lazarus &
Folkman, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Stres berkorelasi negatif
dengan persepsi, dukungan organisasi karena karyawan tahu bahwa faktor-faktor
penyebab stres berasal dari lingkungan yang dikontrol oleh organisasi. Stres
terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang berkorelasi
negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu: tuntutan yang melebihi
kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu (work-overload ), kurangnya
informasi yang jelas tentang tanggung jawab pekerjaan (role-ambiguity ), dan
adanya tanggung jawab yang saling bertentangan (role-conflict ) (Lazarus &
Folkman, dalam Rhoades &Eisenberger, 2002).
4. Pelatihan.
Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang nantinya
akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Wayne dkk., dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi budaya, cabang antropologi yang mengkhususkan diri pada pola- pola
kehidupan masyarakat (budaya).
Komunikasi
merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal
mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol sehingga tidak ada batasan
antara budaya dan komunikasi . Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah
budaya. Dengan kata lain, ketika membahas
budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan
mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena ketika mempelajari budaya
melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi
budaya.
B.
Saran
Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai, bagi makalah yang telah kami buat agar kedepan nya bisa lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka. 1984. Antropologi
Sosial. Bandung: Tarsito.
Ahmad, Sihabudian. 2011.
Komunikasi Antarbudaya. Jakarta:Bumi Aksara.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Matsumoto, david. 2004. Pengantar
Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin
Rakhmat. 2003. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Samovar, Larry A, Porter, Richard E,
dan Mcdaniel, Edwin R. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I....... PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................... 1
C.
Tujuan.............................................................................................. 1
D. Manfaat........................................................................................... 2
BAB II...... PEMBAHASAN
.................. KOMUNIKASI
DAN BUDAYA (PENDEKATAN ANTROPOLOGI)
A. Menerapkan
Pengetahuan Antropologi........................................... 3
B. Bahasa............................................................................................. 4
C. Kontak
Fisik (menyentuh atau tidak menyentuh)........................... 5
D. Lima
Dimensi Waktu...................................................................... 6
E. Tempat
............................................................................................ 9
F. Pengaruh
Status Atas Komunikasi................................................ 10
G. Persepsi
......................................................................................... 10
BAB III.... PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 15
B.
Saran.............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar