BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bantun hukum dapat diberikan oleh sesorang yang memahami hukum,
atau yang disebut penasehat hukum, seperti pengecara dan Alvokat. Dalam perkara
Pidana Pemberi Bantuan hukum disebut pembela, yang dileksanakan oleh penasehat
hukum yang disebut Advokat. Seoranf Alvokat adalah penasehat hukum yang tidak
saja dapat bertindak sebagai pengecara dalam perkara perdata tapi juga dapat
dalam bertindak sebagai perkara pidana. Menurut pasal 186 RO lama Advokat itu
diangkat Menteri Kehakiman dan disaratkan berkelar Sarjana Hukum.
Didalam perkara pidana tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selam dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan perkara. Untuk mendapatkan penasehat hukum
tersaangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 54-55
KUHAP). Bagi tersangka dan terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan mati, yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasehat
hukum sendiri, maka pejabat bersangkutan wajib menunjuk penasehat hukum bagi
mereka yang memberikan bantuan hukumnya dengan Cuma-Cuma (pasal 56 KUHAP).
Dalam meleksanakan tugasnya memberikan bantuan hukum penasehat
hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk kepentingan pembelaan setiap waktu
penasehat hukum dapat menghubungi dan
berbicara dengan tersangka (pasal 69-70 KUHAP). Dengan berhubungan dengan
tersangka penasehat penasehat hukum diawasi oleh penyidik (polisi), penuntut
umum (jaksa) atau petugas lembaga permasyarakatan (petugas penjara) tanpa mendengar isi
pembicaraannya, kecuali dalam hal kejahatan keamanan Negara (pasal 71 KUHAP).
Untuk kepentingan pembelaan penasehat hukum dapat meminta turunan
berita acara pemeriksaan kepada pejabat bersangkutan (pasal 72 KUHAP). Untuk
keperluan pembelaan tersebut penasehat hukum tidak boleh dikurangi kebebasannya
berhubungan dengan tersangka (pasal 74 KUHAP).[1]
1.2 Rumusan
Masalah
a. Bagaimanakah kedudukan advokat dalam
sistem peradilan pidana?
b. Apa kendala-kendala untuk menempatkan
advokat sebagai sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana?
c. Bagaimanakah peranan advokat dalam
memberikan bantuan hukum mampu mendukung terwujudnya sistem peradilan pidana
terpadu?
1.3
Tujuan Penulisan
Dari materi yang kami
sajikan dalam makalah ini mengenai Kedudukan Bantuan Hukum dalam System
Peradilan Agama mudah-mudahan dapat dijadikan suatu rujukan pada pembelajaran Advokasiini.
Kemudian juga dengan materi ini ilmu kita akan semakin bertambah dan semakin
mantap mengenai topik tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan
Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam
praktek penegakan hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan
main yang formal.[2] Seorang advokat adalah seorang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan undang-undang Nomor
18 tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU Advokat tersebut ditegaskan bahwa
seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin
oleh hukum dan peraturan perundangundangan.
Penempatan advokat sebagai sub sistem
dalam sistem peradilan pidana sejajar dengan subsistem yang lain (kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan langkah maju dan
sangat penting artinya bukan saja bagi pencari keadilan (Justisiabel), tetapi juga demi kepentingan kelancaran proses itu
sendiri. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah para advokat harus
diberi peluang yang cukup baik melalui pengaturan maupun dalam praktek
pemberian bantuan hukum untuk akses secara penuh dalam proses peradilan pidana.[3] Sebagaimana ditegaskan
dalam UU No.18 tahun 2003 bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak
hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian, wacana memasukkan profesi Advokat atau
Penasihat hukum dalam Sistem Peradilan Pidana menjadi sub sistem bukanlah
sesuatu yang mudah. Hal tersebut, tidak lepas dari hambatan-hambatan.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU
Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satusatunya
wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat,
yaitu Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang
bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini dengan
maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Oleh karena itu,
Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti
luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan
fungsi Negara.
Eksistensi Advokat sesungguhnya telah ada
pada sekitar satu setengah abad yang lalu. Namun pengakuan terhadap Advokat
tidak diatur dalam suatu peraturan seperti hal nya Undang-undang namun hanya
tertuang secara sporadis pada pasal-pasal puluhan peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan sejak masa pemerintah kolonial Belanda sampai masa kemerdekaan
sekarang ini.
Secara akademis dan (praktis) ternyata
masih ada perbedaan pandangan terhadap kedudukan advokat ini. Sebagian kalangan
berpendirian bahwa komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini,
terutama instansi atau badan yang terdiri dari kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu dipihak lain ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa para penasihat hukum juga bisa ditambahkan
sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana.
Kalau diselidiki lebih jauh, baik secara
normatif maupun dalam kenyataan Lembaga Penegak Hukum tidak hanya terdiri dari
tiga lingkungan jabatan tersebut di atas, bahkan dari perspektif pemecahan
masalah dan pembaharuan penegak hukum, kalau hanya disebut tiga lingkungan
jabatan tersebut, bukan saja tidak lengkap tetapi misleading yang menyebabkan bias.[4]
Atau bisa dikatakan penegak hukum lainnya
seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi dimana eksistensi mereka sangat kuat
dibuktikan dengan adanya Undang-undang yang mengatur tentang profesi mereka
yang dituangkan secara rinci dan sistematis. Hal inilah yang kemudian
manjadikan profesi Advokat itu menjadi dipandang sebelah mata oleh penegak
hukum lainnya. Sehingga ketika berhadapan antara Advokat dengan penegak hukum
lainnya kedudukan Advokat bisa dikatakan lebih rendah. Namun keadaan dan
situasi sekarang telah berbeda terutama sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat. Dimana di dalam Undangundang tersebut kedudukan Advokat
adalah juga sebagai salah satu penegak hukum, bahkan merupakan satu-satunya
penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan sehingga menjadikan sama kedudukannya dengan penegak hukum
lainnya. Hal ini juga telah diakuinya sebutan Catur Wangsa penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat). Maka
harapan yang kemudian muncul dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 adalah
menjadikan eksistensi Advokat menjadi diakui dan tidak lagi dipandang sebelah
mata sehingga dalam menjalankan kewajibannya berkaitan dengan profesinya,
seorang Advokat dapat melaksanakannya dengan baik, tanpa tekanan, dan bisa
memperjuangkan keadilan menurut dasardasar hukum yang baik sebagai landasannya
serta sesuai dengan prosedur beracara di dalam persidangan maupun di luar
persidangan.
Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2003 memberikan
definisi Advokat sebagai orang yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU. Lingkup
jasa hukum ternyata cukup luas. Pasal 2 menyatakan bahwa Konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan klien adalah merupakan bentuk dari jasa
hukum. Karenanya, sejak klien datang dan kemudian melakukan konsultasi hukum
kepada Advokat, maka Advokat tersebut sudah melakukan jasa hukum. Mengenai
bantuan hukum adalah berbeda dengan jasa hukum. Perbedaan ini dilihat dari segi
hak dan kewajiban yang melekat antara Advokat dan klien. Memang pada dasarnya
hak dan kewajiban antara Advokat dan kliennya adalah sama berkaitan dengan jasa
hukum dan bantuan hukum.
Dalam jasa hukum seorang Advokat berhak
menentukan besar/nilai dari jasa yang akan diberikannya, namun bantuan hukum
adalah jasa yang diberikan secara cumacuma. Artinya, tidak ada kewajiban bagi
klien untuk membayar sejumlah biaya (lawyer fee, success fee, dll). Dan ini
hanya dikenakan kepada klien yang tidak mampu (Pasal 1 angka 9) dimana
ketidakmampuan ini bisa dibuktikan dengan surat keterangan yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang. Menurut Pasal 5, Advokat berstatus sebagai penegak
hukum. Jika dahulu hanya dikenal tiga elemen penegak hukum, namun sejak
diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 maka Advokat juga mempunyai status yang
sama sebagai penegak hukum. Maka kemudian dikenal apa yang disebut Catur
Wangsa. Karena selain Hakim, Jaksa, dan Polisi ada Advokat yang sekarang juga
berstatus sebagai penegak hukum. Artinya kedudukan Advokat sekarang sejajar
dengan penegak hukum lainnya karena dijamin sepenuhnya oleh Undang-undang.
Bahkan Advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri sehingga
bebas dari intervensi dari pihak manapun. Selain itu wilayah kerja Advokat juga
luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
2.2Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem
Peradilan Pidana
Menempatkan suatu lembaga hukum menjadi
sub sistem dari suatu sistem bukanlah suatu hal yang mudah. Begitupun Advokat/
Penasihat hukum untuk ditempatkan sebagai sub sistem dari sistem peradilan
pidana memiliki beberapa kendala yang cukup menghambat sehingga profesi ini hingga
kini mengalami perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi, apakah ia
dapat masuk menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana atau tidak. Adapun
hambatan-hambatan yang dapat dirasakan dan dilihat adalah sebagai berikut:
a)
Masalah peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan tidak hanya
cukup dengan lahirnya UU Advokat semata melainkan harus didukung dengan
peraturan perundang-undangan yang lainnya terhadap kedudukan Advokat itu
sendiri, seperti peraturan perundang-undangan yang ada di sistem maupun di sub
sistemnya yang lainnya. Seperti KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan lain
sebagainya. Sehingga peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub
sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar
dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal.
b) Konflik
intern dalam organisasi advokat itu sendiri
Organisasi advokat adalah organisasi
profesi yang didirikan berdasarkan undangundang. Fenomena yang cukup hangat
beberapa waktu yang lalu adalah konflik intern di dalam tubuh organisasi
Advokat, di mana konflik yang mempermasalahkan keabsahan organisasi tunggal
advokat yang mewadahi 8 organisasi advokat yang diakui oleh undang-undang.
Konflik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam faktor membawa profesi ini
cukup goyah sebagai lembaga penegak hukum di mata masyarakat. Meskipun dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No.014/PUU-IV/2006
tanggal 30 November 2006,13 telah menyatakan salah satu organisasi
advokat yang sedang berseteru tersebut sebagai satu-satunya wadah profesi
advokat yang sah, namun pada dasarnya organisasi advokat tersebut adalah organ
negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”.
Namun fenomenanya adalah organisasi yang merasa tidak diakui keberadaanya
tersebut tetap saja tidak mengakui organisasi advokat yang sah sebagai
organisasi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Sehingga fenomena semakin
mempersulit profesi advokat sebagai lembaga penegak hukum untuk menjadi bagian
sub sistem dari sistem peradilan pidana. Karena jika ditempatkan pun sebagai
sub sistem, organisasi manakah yang harus masuk. Maka dari itu, konflik intern
yang belum kunjung berakhir sebaiknya diselesaikan sesegera mungkin.
c)
Honorarium profesi advokat
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa
seorang Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan
dari kliennya. Hal mana besarnya honorarium atas jasa hukum tersebut ditetapkan
secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak sebagaimana keberadaan
honorarium atas hak jasa hukum seorang advokat tersebut dilindungi oleh
undang-undang advokat. Permasalahan muncul adalah apabila Advokat ditempatkan
menjadi bagian dari sub sistem dari sistem peradilan pidana, bagaimanakah
pengaturan honorariumnya? Sementara sub sistem dari sistem peradilan pidana
lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan
masuk dalam Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah memiliki
pengaturannya yang pasti baik dari jumlah maupun waktu penerimaannya. Sementara
advokat selama ini lebih bersifat wiraswasta, bisa mendapatkan jumlah yang
sangat besar bisa juga jauh lebih kecil dari gaji PNS, hal inilah menjadikan
perdebatan dikalangan advokat itu sendiri. Selain itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah perlunya analisa ekonomi terhadap pengeluaran anggaran negara
untuk profesi advokat jika memang disetujui honornya bagian dari APBN, lalu
bagaimana mekanismenya? Hal tersebut perlu kajian yang lebih dalam lagi.
2.3 Peranan
Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem
Peradilan Pidana Terpadu
Hadirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang
advokat secara yuridis normatif, substantif bantuan hukum yang diatur dalam
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-undang
No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dikonstruksikan sebagai suatu hak, bantuan hukum ini
mendapat dukungan dalam hukum positif dengan harapan dapat dilaksanakan secara
konsekuen. Sehingga kebutuhan akan bantuan hukum tersebut disamping demi
kepentingan mereka yang terlibat suatu perkara (tersangka atau terdakwa) juga
untuk kepentingan sistem peradilan pidana itu sendiri yaitu dalam rangka
membantu mencari kebenaran meteriil atas suatu perkara pidana. mendapatkan
kebenaran materiil adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh hukum acara
pidana, yang pelaksanaanya dilakukan dengan sistem yang dinamakan sistem
peradilan pidana.
Sistem Peradilan Pidana adalah suatu
komponen (sub system) peradilan pidana yang saling terkait atau tergantung satu
sama lain dan bekerja untuk satu tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan
sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Dari pengertian ini sudah
menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub system yang ada dalam
peradilan. Sedangkan kata terpadu dalam sistem peradilan terpadu disini adalah
adanya kesamaaan prosedur (sub sistem dalam peradilan pidana pada posisi
masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ ditentukan
di dalam undang-undang), persepsi (adanya pemahaman/ pengetahuan yang sama
antara sub-sub system terhadap perkara/ kasus yang ada), dan tujuan (sub-sub
sistem peradilan harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan
hingga batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.)[5]
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
peradilan pidana terpadu dalam hal ini adalah sistem peradilan pidana yang
didukung oleh pengaturan hak bantuan hukum yang memungkinkan komponen advokat
mampu secara penuh dalam proses peradilan pidana. perkataan “terpadu” disini
dimaksudkan untuk memberi tekanan pada aspek koordinasi dan kerja sama antar
komponen dalam sistem peradilan pidana terpadu di mana komponen advokat terkait
di dalamnya.[6]
Maka oleh karena itu, untuk menuju sistem
peradilan pidana terpadu maka diperlukanlah seorang advokat yang profesional,
bukan seorang advokat “asal-asalan”. Dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat
telah diatur secara jelas dengan dilengkapi peraturan-peraturan lainnya tentang
kualifikasi dan persyaratan-persyaratan yang ketat untuk seseorang dapat
diangkat menjadi seorang advokat. Secara umum, seseorang dapat diangkat menjadi advokat adalah seorang
sarjana hukum yang telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang
dilaksanakan oleh organisasi advokat dengan segala persyaratan lanjutannya
seperti pemagangan 2 tahun dan lain sebagainya yang kemudian disumpah sebelum
menjalankan profesinya serta ketika ia telah sah menjadi advokat maka ia
terikat dengan hak dan kewajiban, kode etik profesi dalam menjalankan
profesinya dibawah pengawasan organisasi advokat.
Profesi Advokat disini termasuk ke dalam
golongan Lembaga Penegak Hukum non pro justitia di luar pemerintahan yang juga
berperan penting dalam dan menentukan pelaksanaan dan wajah penegakan
hukummeskipun belum menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana. Bantuan hukum oleh advokat sangat erat
kaitannya dengan usaha pencari keadilan. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum
sebagai salah satu hak asasi manusia sangat didambakan oleh semua orang yang
tersangkut suatu perkara. Dalam hukum positif Indonesia ketentuan mengenai
bantuan hukum ini diketemukan antara lain dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam pasal-pasal
37, 38, 39 dan 40. Disamping itu juga terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP yaitu pasal-pasal sebagai berikut:
1.
Bab VI
Tentang tersangka atau terdakwa, pasal 54-57; Pasal 60-62.
2.
Bab VII
Tentang bantuan hukum, pasal 69-74
3.
Bab XIV
tentang Penyidikan, yaitu pasal 114 dan 115.
Ketentuan tersebut di atas bisa dikatakan
sebagai perwujudan dan penjabaran lebih lanjut dari asas persamaan di muka
hukum (equality before the law)
seperti yang tersirat dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Bentuk bantuan hukum, yang berkembang di
sekitar satu atau dua model dasar, banyak persamaaannya dengan perkembangan di
tempat-tempat lain, tetapi tujuannya bermacam ragam menurut landasan berfikir
yang menjadi tumpuannya. Jenis umum bantuan hukum, yakni perwakilan profesional
secara gratis yang dilakukan oleh pengacara/ advokat tunjukkan pengadilan,
dianggap sebagai koreksi terhadap distribusi sumber daya hukum yang timpang
antara orang yang berada dan orang miskin. Terutama bila lingkupnya dibatasi
pada tuntutan pidana, bantuan hukum merupakan tanggapan minimal, sering juga
sebagai pemantas, terhadap kegagalan mitos bahwa semua orang sama di mata
hukum.[7]
Bantuan Hukum dikonsepsikan sebagai:
1. Suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap subjek hukum
bilamana ia memerlukannya dan pemenuhannya merupakan kewajiban;
2. Bantuan hukum merupakan pekerjaan profesional yang
memerlukan pendidikan dan keahlian khusus;
3. Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan
pemberian jasa hukum dari seorang ahli hukum kepada mereka yang membutuhkan dan
memerlukannya.
Namun demikian, seiring berjalannya proses
perubahan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap bekerjanya hukum
dalam masyarakat bukan hanya faktor internal dalam sistem hukum itu sendiri
(hukum, aparat, organisasi dan fasilitas), tapi juga faktor-faktor eksternal
diluar sistem hukum, seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bahkan
dalam era globalisasi sekarang ini, pengaruh faktor tata pergaulan
Internasional tidak dapat diabaikan.[8] Pemikiran untuk
memaksimalkan peran advokat dalam proses peradilan pidana, tampaknya merupakan
pemikiran yang realistis, sebab dalam praktek pemberian bantuan hukum ternyata
masih ditemui banyak hambatan baik yang bersifat politis, sosial,
ekonomi/finansial, psikologis dan sebagainya.
Para Legal Profesional seperti Pengacara
dan Advokat memiliki prilaku yang tidak selalu sama di muka pengadilan. Marc
Galanter membedakan advokat yang tergolong “one-shooter”
dan “repeat players” yang pertama
bersifat amateuran sedang yang kedua bersifat profesional. Keduanya memiliki
perbedaan bertalian dengan cara-cara kerja, intensitas hubungan dengan
pengadilan serta jenis perkara yang ditanganinya. Hanya advokat profesional
yang setiap mendampingi klien, memiliki intelegensi yang tinggi, keahlian dan
spesialisasi, hubungan pribadi yang luas dengan berbagai instansi, berpegang
pada kode etik profesi, kredibilitas serta reputasi, bekerja secara optimal
dengan sedikit kerugian serta kemampuan litigasi yang baik.[9] Sehingga stigma-stigma buruk terhadap
profesional advokat yang disebabkan oleh beberapa oknum yang menyimpang dari
kode etik profesi advokat atau bahkan perbedaan pandang dari aspek kultural
seperti pandangan sinis yang bersifat negatif terhadap para pemberi jasa
bantuan hukum ini dapat diminimalisir dengan cara menunjukkan profesionalitas
para advokat dalam menjalankan profesinya serta kesadaran hukum masyarakat akan
hukum dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap profesi advokat sebagai
penolong masyarakat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kembali pada sistem peradilan pidana terpadu,
maka dengan besarnya peranan profesi advokat yang profesional menjadi sebuah
komponen dalam sistem peradilan pidana terpadu dimana adanya koordinasi dan
kerja sama antar komponen, maka perlunya perombakan ulang terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan sistem peradilan pidana, agar semakin
memperkokoh posisi kedudukan advokat sebagai sub sistem dari sistem peradilan
pidana itu sendiri, sehingga menjadi sub sistem yang sejajar dengan subsistem
yang lain (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan). Tidak
seperti saat ini, tanpa advokat pun proses penegakan dalam sistem peradilan
pidana itu tetap berjalan.
\
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Saat
ini, kewenangan Advokat dalam kelembagaan negara adalah sebagai Lembaga Penegak
Hukum di luar Pemerintahan. Namun dalam Sistem peradilan Pidana, Advokat belum
menjadi sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana. Pelbagai subsistem ini berupa
kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat
peranannya yang semakin besar, seharusnya advokat dapat pula dikategorikan
sebagai sub sistem.
Peranan
seorang advokat yang profesional ketika memberikan bantuan hukum bagi para
pencari keadilan sangat diperlukan dalam rangka menuju sistem peradilan pidana
terpadu hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia. Sistem
peradilan pidana yang didukung oleh pengaturan hak bantuan hukum yang
memungkinkan komponen advokat mampu secara penuh dalam proses peradilan pidana.
Hal mana seorang peranan advokat profesional yang setiap mendampingi klien,
memiliki intelegensi yang tinggi, keahlian dan spesialisasi, hubungan pribadi
yang luas dengan berbagai instansi, berpegang pada kode etik profesi, kredibilitas
serta reputasi, bekerja secara optimal dengan sedikit kerugian serta kemampuan
litigasi yang baik. Sebagai sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat
struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif
dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan
efektivitas yang maksimal.
3.2 Saran
Dalam
penulisan makalah ini sudah barang tentu akan terdapat kesalahan, baik
kesalahan dalam pengetikan maupun kesalahan dalam memasukkan data-data yang
berkenaan dengan penulisan makalah ini. Karena fitrah kami sebagai manusia memungkinkan kesalahan dan kekhilafan
atas diri kami. Karena tidak ada gading yang tak
retak seperti itu juga kami. Oleh karena itu kepada pembaca dan khusus kepada dosen pembimbing Mata
Kuliah Advokasi ini kami meminta saran dan kritikan untuk perbaikan makalah
kami di waktu mendatang
DAFTAR
PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2013. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: PT Alumni
Sutiyoso, Bamban. 2010. Refarmasi
Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press.
Rusli, Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana
Terpadu. Yogyakarta: UII Press.
Rahardjo,Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bagir, Manan. Kedudukan Penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia, Varia Peradilan ke XXI No.243
Februari 2006
M. Sanjono. Lembaga bantuan Hukum dan Arah
pergeseran strategi gerakan, Jurnal Hukum, Vol.4, No.2
September 2001
[2]Bambang
Sutiyoso, Refarmasi Keadilan dan
Penegakan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 4.
[3]Muhammad Rusli, Sistem Peradilan Pidana Terpadu,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 58.
[4]Bagir Manan, Kedudukan Penegak hukum dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan ke XXI No.243 Februari
2006, hlm. 7
[5]Muhammad
Rusli, Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 80.
[6]Muhammad Rusli, 2011, Op.Cit.
[7]M. Sanjono, Lembaga bantuan Hukum dan Arah pergeseran
strategi gerakan, Jurnal Hukum, Vol.4, No.2 September 2001, hlm. 232.
[8]Bambang
Sutiyoso, Refarmasi Keadilan dan
Penegakan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 111.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....
How to find your favorite casino games in Michigan? - DRMCD
BalasHapusHow 대구광역 출장마사지 to find your favorite 포항 출장안마 casino 전라남도 출장샵 games in Michigan? Play online slots and table games at one of the 밀양 출장안마 most convenient and secure casinos online. 서산 출장샵