Selasa, 06 Desember 2016

Makalah Advokat



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bantun hukum dapat diberikan oleh sesorang yang memahami hukum, atau yang disebut penasehat hukum, seperti pengecara dan Alvokat. Dalam perkara Pidana Pemberi Bantuan hukum disebut pembela, yang dileksanakan oleh penasehat hukum yang disebut Advokat. Seoranf Alvokat adalah penasehat hukum yang tidak saja dapat bertindak sebagai pengecara dalam perkara perdata tapi juga dapat dalam bertindak sebagai perkara pidana. Menurut pasal 186 RO lama Advokat itu diangkat Menteri Kehakiman dan disaratkan berkelar Sarjana Hukum.
Didalam perkara pidana tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selam dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan perkara. Untuk mendapatkan penasehat hukum tersaangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 54-55 KUHAP). Bagi tersangka dan terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan mati, yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat bersangkutan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka yang memberikan bantuan hukumnya dengan Cuma-Cuma (pasal 56 KUHAP).
Dalam meleksanakan tugasnya memberikan bantuan hukum penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk kepentingan pembelaan setiap waktu penasehat  hukum dapat menghubungi dan berbicara dengan tersangka (pasal 69-70 KUHAP). Dengan berhubungan dengan tersangka penasehat penasehat hukum diawasi oleh penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa) atau petugas lembaga permasyarakatan  (petugas penjara) tanpa mendengar isi pembicaraannya, kecuali dalam hal kejahatan keamanan Negara (pasal 71 KUHAP).
Untuk kepentingan pembelaan penasehat hukum dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan kepada pejabat bersangkutan (pasal 72 KUHAP). Untuk keperluan pembelaan tersebut penasehat hukum tidak boleh dikurangi kebebasannya berhubungan dengan tersangka (pasal 74 KUHAP).[1]
1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah kedudukan advokat dalam sistem peradilan pidana?
b.      Apa kendala-kendala untuk menempatkan advokat sebagai sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana?
c.       Bagaimanakah peranan advokat dalam memberikan bantuan hukum mampu mendukung terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu?

1.3    Tujuan Penulisan
            Dari materi yang kami sajikan dalam makalah ini mengenai Kedudukan Bantuan Hukum dalam System Peradilan Agama mudah-mudahan dapat dijadikan suatu rujukan pada pembelajaran Advokasiini. Kemudian juga dengan materi ini ilmu kita akan semakin bertambah dan semakin mantap mengenai topik tersebut.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana 

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal.[2]  Seorang advokat adalah seorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU Advokat tersebut ditegaskan bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan.
Penempatan advokat sebagai sub sistem dalam sistem peradilan pidana sejajar dengan subsistem yang lain (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan langkah maju dan sangat penting artinya bukan saja bagi pencari keadilan (Justisiabel), tetapi juga demi kepentingan kelancaran proses itu sendiri. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah para advokat harus diberi peluang yang cukup baik melalui pengaturan maupun dalam praktek pemberian bantuan hukum untuk akses secara penuh dalam proses peradilan pidana.[3] Sebagaimana ditegaskan dalam UU No.18 tahun 2003 bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, wacana memasukkan profesi Advokat atau Penasihat hukum dalam Sistem Peradilan Pidana menjadi sub sistem bukanlah sesuatu yang mudah. Hal tersebut, tidak lepas dari hambatan-hambatan.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satusatunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.

Eksistensi Advokat sesungguhnya telah ada pada sekitar satu setengah abad yang lalu. Namun pengakuan terhadap Advokat tidak diatur dalam suatu peraturan seperti hal nya Undang-undang namun hanya tertuang secara sporadis pada pasal-pasal puluhan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sejak masa pemerintah kolonial Belanda sampai masa kemerdekaan sekarang ini.
Secara akademis dan (praktis) ternyata masih ada perbedaan pandangan terhadap kedudukan advokat ini. Sebagian kalangan berpendirian bahwa komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini, terutama instansi atau badan yang terdiri dari kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu dipihak lain ada juga pendapat yang menyatakan bahwa para penasihat hukum juga bisa ditambahkan sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana. 
Kalau diselidiki lebih jauh, baik secara normatif maupun dalam kenyataan Lembaga Penegak Hukum tidak hanya terdiri dari tiga lingkungan jabatan tersebut di atas, bahkan dari perspektif pemecahan masalah dan pembaharuan penegak hukum, kalau hanya disebut tiga lingkungan jabatan tersebut, bukan saja tidak lengkap tetapi misleading yang menyebabkan bias.[4]
Atau bisa dikatakan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi dimana eksistensi mereka sangat kuat dibuktikan dengan adanya Undang-undang yang mengatur tentang profesi mereka yang dituangkan secara rinci dan sistematis. Hal inilah yang kemudian manjadikan profesi Advokat itu menjadi dipandang sebelah mata oleh penegak hukum lainnya. Sehingga ketika berhadapan antara Advokat dengan penegak hukum lainnya kedudukan Advokat bisa dikatakan lebih rendah. Namun keadaan dan situasi sekarang telah berbeda terutama sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dimana di dalam Undangundang tersebut kedudukan Advokat adalah juga sebagai salah satu penegak hukum, bahkan merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga menjadikan sama kedudukannya dengan penegak hukum lainnya. Hal ini juga telah diakuinya sebutan Catur Wangsa penegak hukum  (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat). Maka harapan yang kemudian muncul dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 adalah menjadikan eksistensi Advokat menjadi diakui dan tidak lagi dipandang sebelah mata sehingga dalam menjalankan kewajibannya berkaitan dengan profesinya, seorang Advokat dapat melaksanakannya dengan baik, tanpa tekanan, dan bisa memperjuangkan keadilan menurut dasardasar hukum yang baik sebagai landasannya serta sesuai dengan prosedur beracara di dalam persidangan maupun di luar persidangan.
Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2003 memberikan definisi Advokat sebagai orang yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU. Lingkup jasa hukum ternyata cukup luas. Pasal 2 menyatakan bahwa Konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien adalah merupakan bentuk dari jasa hukum. Karenanya, sejak klien datang dan kemudian melakukan konsultasi hukum kepada Advokat, maka Advokat tersebut sudah melakukan jasa hukum. Mengenai bantuan hukum adalah berbeda dengan jasa hukum. Perbedaan ini dilihat dari segi hak dan kewajiban yang melekat antara Advokat dan klien. Memang pada dasarnya hak dan kewajiban antara Advokat dan kliennya adalah sama berkaitan dengan jasa hukum dan bantuan hukum.
Dalam jasa hukum seorang Advokat berhak menentukan besar/nilai dari jasa yang akan diberikannya, namun bantuan hukum adalah jasa yang diberikan secara cumacuma. Artinya, tidak ada kewajiban bagi klien untuk membayar sejumlah biaya (lawyer fee, success fee, dll). Dan ini hanya dikenakan kepada klien yang tidak mampu (Pasal 1 angka 9) dimana ketidakmampuan ini bisa dibuktikan dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Menurut Pasal 5, Advokat berstatus sebagai penegak hukum. Jika dahulu hanya dikenal tiga elemen penegak hukum, namun sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 maka Advokat juga mempunyai status yang sama sebagai penegak hukum. Maka kemudian dikenal apa yang disebut Catur Wangsa. Karena selain Hakim, Jaksa, dan Polisi ada Advokat yang sekarang juga berstatus sebagai penegak hukum. Artinya kedudukan Advokat sekarang sejajar dengan penegak hukum lainnya karena dijamin sepenuhnya oleh Undang-undang. Bahkan Advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas dan mandiri sehingga bebas dari intervensi dari pihak manapun. Selain itu wilayah kerja Advokat juga luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
2.2Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana 
Menempatkan suatu lembaga hukum menjadi sub sistem dari suatu sistem bukanlah suatu hal yang mudah. Begitupun Advokat/ Penasihat hukum untuk ditempatkan sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana memiliki beberapa kendala yang cukup menghambat sehingga profesi ini hingga kini mengalami perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi, apakah ia dapat masuk menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana atau tidak. Adapun hambatan-hambatan yang dapat dirasakan dan dilihat adalah sebagai berikut:
     
a)      Masalah peraturan perundang-undangan. 
Peraturan perundang-undangan tidak hanya cukup dengan lahirnya UU Advokat semata melainkan harus didukung dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya terhadap kedudukan Advokat itu sendiri, seperti peraturan perundang-undangan yang ada di sistem maupun di sub sistemnya yang lainnya. Seperti KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan lain sebagainya. Sehingga peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal.

b)     Konflik intern dalam organisasi advokat itu sendiri
Organisasi advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undangundang. Fenomena yang cukup hangat beberapa waktu yang lalu adalah konflik intern di dalam tubuh organisasi Advokat, di mana konflik yang mempermasalahkan keabsahan organisasi tunggal advokat yang mewadahi 8 organisasi advokat yang diakui oleh undang-undang. Konflik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam faktor membawa profesi ini cukup goyah sebagai lembaga penegak hukum di mata masyarakat. Meskipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006,13 telah menyatakan salah satu organisasi advokat yang sedang berseteru tersebut sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang sah, namun pada dasarnya organisasi advokat tersebut adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”. Namun fenomenanya adalah organisasi yang merasa tidak diakui keberadaanya tersebut tetap saja tidak mengakui organisasi advokat yang sah sebagai organisasi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Sehingga fenomena semakin mempersulit profesi advokat sebagai lembaga penegak hukum untuk menjadi bagian sub sistem dari sistem peradilan pidana. Karena jika ditempatkan pun sebagai sub sistem, organisasi manakah yang harus masuk. Maka dari itu, konflik intern yang belum kunjung berakhir sebaiknya diselesaikan sesegera mungkin.

c)      Honorarium profesi advokat 
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa seorang Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan dari kliennya. Hal mana besarnya honorarium atas jasa hukum tersebut ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak sebagaimana keberadaan honorarium atas hak jasa hukum seorang advokat tersebut dilindungi oleh undang-undang advokat. Permasalahan muncul adalah apabila Advokat ditempatkan menjadi bagian dari sub sistem dari sistem peradilan pidana, bagaimanakah pengaturan honorariumnya? Sementara sub sistem dari sistem peradilan pidana lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan masuk dalam Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah memiliki pengaturannya yang pasti baik dari jumlah maupun waktu penerimaannya. Sementara advokat selama ini lebih bersifat wiraswasta, bisa mendapatkan jumlah yang sangat besar bisa juga jauh lebih kecil dari gaji PNS, hal inilah menjadikan perdebatan dikalangan advokat itu sendiri. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya analisa ekonomi terhadap pengeluaran anggaran negara untuk profesi advokat jika memang disetujui honornya bagian dari APBN, lalu bagaimana mekanismenya? Hal tersebut perlu kajian yang lebih dalam lagi.

2.3 Peranan Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Hadirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat secara yuridis normatif, substantif bantuan hukum yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dikonstruksikan sebagai suatu hak, bantuan hukum ini mendapat dukungan dalam hukum positif dengan harapan dapat dilaksanakan secara konsekuen. Sehingga kebutuhan akan bantuan hukum tersebut disamping demi kepentingan mereka yang terlibat suatu perkara (tersangka atau terdakwa) juga untuk kepentingan sistem peradilan pidana itu sendiri yaitu dalam rangka membantu mencari kebenaran meteriil atas suatu perkara pidana. mendapatkan kebenaran materiil adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh hukum acara pidana, yang pelaksanaanya dilakukan dengan sistem yang dinamakan sistem peradilan pidana.

Sistem Peradilan Pidana adalah suatu komponen (sub system) peradilan pidana yang saling terkait atau tergantung satu sama lain dan bekerja untuk satu tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Dari pengertian ini sudah menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub system yang ada dalam peradilan. Sedangkan kata terpadu dalam sistem peradilan terpadu disini adalah adanya kesamaaan prosedur (sub sistem dalam peradilan pidana pada posisi masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ ditentukan di dalam undang-undang), persepsi (adanya pemahaman/ pengetahuan yang sama antara sub-sub system terhadap perkara/ kasus yang ada), dan tujuan (sub-sub sistem peradilan harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.)[5]

Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana terpadu dalam hal ini adalah sistem peradilan pidana yang didukung oleh pengaturan hak bantuan hukum yang memungkinkan komponen advokat mampu secara penuh dalam proses peradilan pidana. perkataan “terpadu” disini dimaksudkan untuk memberi tekanan pada aspek koordinasi dan kerja sama antar komponen dalam sistem peradilan pidana terpadu di mana komponen advokat terkait di dalamnya.[6]

Maka oleh karena itu, untuk menuju sistem peradilan pidana terpadu maka diperlukanlah seorang advokat yang profesional, bukan seorang advokat “asal-asalan”. Dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat telah diatur secara jelas dengan dilengkapi peraturan-peraturan lainnya tentang kualifikasi dan persyaratan-persyaratan yang ketat untuk seseorang dapat diangkat menjadi seorang advokat. Secara umum, seseorang  dapat diangkat menjadi advokat adalah seorang sarjana hukum yang telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat dengan segala persyaratan lanjutannya seperti pemagangan 2 tahun dan lain sebagainya yang kemudian disumpah sebelum menjalankan profesinya serta ketika ia telah sah menjadi advokat maka ia terikat dengan hak dan kewajiban, kode etik profesi dalam menjalankan profesinya dibawah pengawasan organisasi advokat. 

Profesi Advokat disini termasuk ke dalam golongan Lembaga Penegak Hukum non pro justitia di luar pemerintahan yang juga berperan penting dalam dan menentukan pelaksanaan dan wajah penegakan hukummeskipun belum menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana.  Bantuan hukum oleh advokat sangat erat kaitannya dengan usaha pencari keadilan. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia sangat didambakan oleh semua orang yang tersangkut suatu perkara. Dalam hukum positif Indonesia ketentuan mengenai bantuan hukum ini diketemukan antara lain dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam pasal-pasal 37, 38, 39 dan 40. Disamping itu juga terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yaitu pasal-pasal sebagai berikut: 
1.             Bab VI Tentang tersangka atau terdakwa, pasal 54-57; Pasal 60-62.
2.             Bab VII Tentang bantuan hukum, pasal 69-74
3.             Bab XIV tentang Penyidikan, yaitu pasal 114 dan 115.
Ketentuan tersebut di atas bisa dikatakan sebagai perwujudan dan penjabaran lebih lanjut dari asas persamaan di muka hukum (equality before the law) seperti yang tersirat dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Bentuk bantuan hukum, yang berkembang di sekitar satu atau dua model dasar, banyak persamaaannya dengan perkembangan di tempat-tempat lain, tetapi tujuannya bermacam ragam menurut landasan berfikir yang menjadi tumpuannya. Jenis umum bantuan hukum, yakni perwakilan profesional secara gratis yang dilakukan oleh pengacara/ advokat tunjukkan pengadilan, dianggap sebagai koreksi terhadap distribusi sumber daya hukum yang timpang antara orang yang berada dan orang miskin. Terutama bila lingkupnya dibatasi pada tuntutan pidana, bantuan hukum merupakan tanggapan minimal, sering juga sebagai pemantas, terhadap kegagalan mitos bahwa semua orang sama di mata hukum.[7]
 Bantuan Hukum dikonsepsikan sebagai:
1. Suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya dan pemenuhannya merupakan kewajiban;
2. Bantuan hukum merupakan pekerjaan profesional yang memerlukan pendidikan dan keahlian khusus;
3. Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa hukum dari seorang ahli hukum kepada mereka yang membutuhkan dan memerlukannya.

Namun demikian, seiring berjalannya proses perubahan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat bukan hanya faktor internal dalam sistem hukum itu sendiri (hukum, aparat, organisasi dan fasilitas), tapi juga faktor-faktor eksternal diluar sistem hukum, seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bahkan dalam era globalisasi sekarang ini, pengaruh faktor tata pergaulan Internasional tidak dapat diabaikan.[8] Pemikiran untuk memaksimalkan peran advokat dalam proses peradilan pidana, tampaknya merupakan pemikiran yang realistis, sebab dalam praktek pemberian bantuan hukum ternyata masih ditemui banyak hambatan baik yang bersifat politis, sosial, ekonomi/finansial, psikologis dan sebagainya.

Para Legal Profesional seperti Pengacara dan Advokat memiliki prilaku yang tidak selalu sama di muka pengadilan. Marc Galanter membedakan advokat yang tergolong “one-shooter” dan “repeat players” yang pertama bersifat amateuran sedang yang kedua bersifat profesional. Keduanya memiliki perbedaan bertalian dengan cara-cara kerja, intensitas hubungan dengan pengadilan serta jenis perkara yang ditanganinya. Hanya advokat profesional yang setiap mendampingi klien, memiliki intelegensi yang tinggi, keahlian dan spesialisasi, hubungan pribadi yang luas dengan berbagai instansi, berpegang pada kode etik profesi, kredibilitas serta reputasi, bekerja secara optimal dengan sedikit kerugian serta kemampuan litigasi yang baik.[9]  Sehingga stigma-stigma buruk terhadap profesional advokat yang disebabkan oleh beberapa oknum yang menyimpang dari kode etik profesi advokat atau bahkan perbedaan pandang dari aspek kultural seperti pandangan sinis yang bersifat negatif terhadap para pemberi jasa bantuan hukum ini dapat diminimalisir dengan cara menunjukkan profesionalitas para advokat dalam menjalankan profesinya serta kesadaran hukum masyarakat akan hukum dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap profesi advokat sebagai penolong masyarakat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

 Kembali pada sistem peradilan pidana terpadu, maka dengan besarnya peranan profesi advokat yang profesional menjadi sebuah komponen dalam sistem peradilan pidana terpadu dimana adanya koordinasi dan kerja sama antar komponen, maka perlunya perombakan ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem peradilan pidana, agar semakin memperkokoh posisi kedudukan advokat sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri, sehingga menjadi sub sistem yang sejajar dengan subsistem yang lain (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan). Tidak seperti saat ini, tanpa advokat pun proses penegakan dalam sistem peradilan pidana itu tetap berjalan.












\
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Saat ini, kewenangan Advokat dalam kelembagaan negara adalah sebagai Lembaga Penegak Hukum di luar Pemerintahan. Namun dalam Sistem peradilan Pidana, Advokat belum menjadi sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana. Pelbagai subsistem ini berupa kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat peranannya yang semakin besar, seharusnya advokat dapat pula dikategorikan sebagai sub sistem.
Peranan seorang advokat yang profesional ketika memberikan bantuan hukum bagi para pencari keadilan sangat diperlukan dalam rangka menuju sistem peradilan pidana terpadu hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia. Sistem peradilan pidana yang didukung oleh pengaturan hak bantuan hukum yang memungkinkan komponen advokat mampu secara penuh dalam proses peradilan pidana. Hal mana seorang peranan advokat profesional yang setiap mendampingi klien, memiliki intelegensi yang tinggi, keahlian dan spesialisasi, hubungan pribadi yang luas dengan berbagai instansi, berpegang pada kode etik profesi, kredibilitas serta reputasi, bekerja secara optimal dengan sedikit kerugian serta kemampuan litigasi yang baik. Sebagai sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. 

3.2  Saran
Dalam penulisan makalah ini sudah barang tentu akan terdapat kesalahan, baik kesalahan dalam pengetikan maupun kesalahan dalam memasukkan data-data yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Karena fitrah kami sebagai manusia memungkinkan kesalahan dan kekhilafan atas diri kami. Karena tidak ada gading yang tak retak seperti itu juga kami. Oleh karena itu kepada pembaca dan khusus kepada dosen pembimbing Mata Kuliah Advokasi ini kami meminta saran dan kritikan untuk perbaikan makalah kami di waktu mendatang

DAFTAR PUSTAKA


Hadikusuma, Hilman. 2013. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: PT Alumni
Sutiyoso, Bamban. 2010. Refarmasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Rusli, Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Yogyakarta: UII Press.
Rahardjo,Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bagir, Manan. Kedudukan Penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan ke XXI No.243 Februari 2006
M. Sanjono. Lembaga bantuan Hukum dan Arah pergeseran strategi gerakan, Jurnal Hukum, Vol.4, No.2 September 2001



[1] Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2013), hlm. 184-185.

[2]Bambang Sutiyoso, Refarmasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 4.

[3]Muhammad Rusli, Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 58.
[4]Bagir Manan, Kedudukan Penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan ke XXI No.243 Februari 2006, hlm. 7
[5]Muhammad Rusli, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 80.

[6]Muhammad Rusli, 2011, Op.Cit.
[7]M. Sanjono, Lembaga bantuan Hukum dan Arah pergeseran strategi gerakan, Jurnal Hukum, Vol.4, No.2 September 2001, hlm. 232.

[8]Bambang Sutiyoso, Refarmasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 111.

[9]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.153.

2 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus
  2. How to find your favorite casino games in Michigan? - DRMCD
    How 대구광역 출장마사지 to find your favorite 포항 출장안마 casino 전라남도 출장샵 games in Michigan? Play online slots and table games at one of the 밀양 출장안마 most convenient and secure casinos online. 서산 출장샵

    BalasHapus